Senin, 21 Desember 2009

BIAYA POLITIK DAN ARUS PERUBAHAN DALAM PIL”GUB”KADA PROP JAMBI (Cost Politik berbanding terbalik dengan Aspirasi masyarakat)

By Syamsul Bahri, SE (syamsul_12@yahoo.co.id)
 
PIL”GUB”KADA Prop Jambi yang kemungkinan besar tetap dilaksanakan tahun 2010 merupakan PIL”GUB”KADA yang ke dua kali untuk “Bumi sepucuk Jambi sembilan lurah”, sebuah pesta demokrasi, jika dilihat  berdasarkan pengalaman 1 kali Pil”gub”kada  Tahun 2005, dan berapa Pil”bup” kada di beberapa wilayah Kabupaten/kota dalam Propinsi Jambi

Dengan fakta politik saat ini dalam dinamika politik terutama dalam PIL”GUB”KADA tahun 2010, telah memunculkan beberapa bekal calon gubernur sebanyak (data sementara) sebanyak 9 (sembilan) orang (sesuai pemantauan penulis), baik bacagub yang berasal dari Incumbent (bupati aktif), seperti Hasan Basri Agus (HBA), Zulfikar Ahmad (ZA), Madjid Mu’az (MM), Safrial (Sf), Abdullah Hich (ABH) dan Politisi seperti Zurman Manaf (ZM), Ahamd Murady Drmansyah (AMD), serta pengusaha seperti Hajrin Nurdin (HN) dan Ahamd Murady darmansyah (AMD), serta Sudirman M Johan (SMJ) dari Akademisi dan ini merupakan sesuatu yang sangat luar biasa dibandingkan dengan PIL”GUB”KADA Kabupaten/kota lain di Indonesia, disamping banyaknya calon, secara persyaratan untuk menjadi balon gubenrnur, secara umum beluam ada, karena secara konkrit Perahu Parpol pengusung belum ada kesepakatan yurudis, termasuk akan memakai jalur perorangan, tetapi gaung perahu saat ini semakin santer dan bergema dengan berbagai trik dan startegi, tanpa memperhatikan apa yang diinginkan masyarakat, bahkan membentur mekanisme  dan komitmen yang disepakati dan dibuat sendiri oleh masing-masing parpol.
Terkesan apa yang terjadi, untuk menyeleksi serta berkoalisi antar Parpol, terkesan mengabaikan azas dan flat form partai yang selama ini menjadi roh dan jiwa gerakan parpol secara nasional, jika dimungkin untuk berkoalisi, tentunya terjadi “koalisi semu”, yang kompak dalam rangka PIL”GUB”KADA saja, namun diyakinkan akan bercerai berai bahkan terpecah belah setelah masa bulan madu nantinya. Dengan melihat proses dan fakta sementara yang terjadi, pemilihan bacagub oleh parpol memiliki kecenderungan adalah (1). Take and give, baik financial maupun non financial; (2).komitmen kesepakatan untuk parpol bersakala 5 tahun  kedepan; (3). Mengabaikan flat form dan jiwa serta roh partai; (4). Menghianati komitmen dan kesepakatan yang dibuat sendiri, koalisi semu dan hanya terbatas pada proses untuk pemenangan, sehingga akan terpecah setelah itu, karena azas dan flat form yang sangat berbeda, bahkan visi dan misi sang “bacagub” tidak begitu menjadi bagian persyaratan seleksi, namun lebih diutamakan transkasi untuk Parpol untuk jangka waktu 5 tahun, sunggu ironis
Kondisi ini diperparah tarik ulur calon pedamping, kecenderungan apa yang terjadi di tingkat seleksi untuk bacagub, akan lebih diperluas dalam kontek penentuan bacawagub, sehingga penggabungan 2 personal dengan jiwa yang berbeda dalam sebuah visi dan misi dalam satu pasangan terkesan terpaksa dan dipaksakan nantinya, walaupun visi dan misi merupakan visi dan misi bacagub, namun sebagai bacawagub juga harus sealing pemahaman dan mengerti dalam aplikasinya, kalaupun bisa menyatu nantinya dalam waktu yang singkat sebuah hal yang sangat istimewa, sehingga tidak terkesan hanya untuk memenuhi kebutuhan administrative saja, sehingga secara tahapan proses penentuan bacagub dan bacawagub memberi kesan hanya sebuah ambisius kekuasaan, tidak melalui proses yang komprehensif, kondisi ini menjadi sebuah catatan bagi masyarakat pemilih.
Secara mekanisme pasangan bacagub / bacawagub menjadi cagub / cawagub melalui proses pendaftaran ke KPU, tentunya dengan dukungan Partai Politik sesuai ketentuan kursi yang dimiliki atau melalui jalur perorangan dengan prosentase dukungan yang telah ditetapkan, mesin politik yang diserahkan ke calon melalui mekanisme dan prosedur yang telah ditentukan oleh Parpol, untuk melakukan konsolidasi dan sosialisasi dan kampanye pemenangan, namun pendayung perahu tsb masih berada di Kekuatan elit Parpol atau pengurus partai.
Dari semua tahapan dan kegiatan yang dilakukan, baik pra, proses, maupun saat pelaksanaan pencontrengan, semuanya dibutuhkan biaya atau cost politik yang mungkin dalam tahap pra (sosialisasi) beberapa bacagub menghabiskan dana milyaran rupiah, apalagi sampai pada saat pencontrengan, diperkirakan setiap pasangan cagub dengan dukungan parpol setingkat “kapal pesiar” mungkin akan menghabiskan lebih 100 milyar, apakah dana tersebut merupakan uang hilang atau uang habis, dan justru sangat tidak benar bahwa uang tersebut apakah cost politik dan/atau money politik merupakan uang habis, dari kajian ekonomi itu merupakan investasi jangka pendek selama 5 tahun yang spekulatif.
Dengan cost politik dan/atau money politik sebesar tersebut, yang secara hukum ekonomi tidak mungkin merupakan capital lose atau capital fligt, namun merupakan Capital Investation, sehingga disadari, bahwa masyarakat dan para individu masih memiliki hati nurani serta memiliki tanggung jawab moral untuk memperbaiki dan membangun Jambi yang akan datang, yang terakumulasi dalam “arus perubahan”, secara hitungan matematika ekonomi, keinginan calon untuk membangun dan membawa arus perubahan berbanding terbalik dengan cost politik. Hal ini disadari oleh masyarakat bahwa dibanyak daerah, semakin besar biaya yang dikeluarkan calon dalam proses PIL”GUB”KADA semakin kecil perubahan positif yang didapat oleh masyarakat. Disadari atau tidak disadari bahwa cost politik adalah investasi bagi calon, setiap investasi tentu sudah memperhitungkan rugi laba, walaupun investasi financial dan non financial dalam PIL”GUB”KADA lebih cenderung investasi spekulasi dengan resiko yang cukup tinggi.
Fakta yang factual bahwa sistim dan mekanisme menggiring untuk jabatan public harus diperebutkan melalui uang yang kadang jumlahnya tidak masuk akal itu, maka konsekuensinya adalah terjadinya penyimpangan-penyimpangan di dalam dunia birokrasi. Hukum bisnis akan berlaku. Uang yang telah dikeluarkan sebelumnya untuk mendapatkan jabatan tersebut harus bisa kembali. Jika untuk menjadi caleg, bupati, wali kota atau gubernur dan seterusnya harus mengeluarkan uang, maka selesai menduduki jabatan itu, sejumlah uang tersebut harus kembali semuanya, dan bahkan harus lebih banyak lagi jumlahnya, agar bisa disebut beruntung. Sebagai akibatnya, sebagaimana yang banyak terjadi akhir-akhir ini, banyak pejabat sepert Gubernur dan wakil gubernur.
Memang berebut itu biayanya sangat mahal, apalagi berebut kekuasaan di zaman sekarang. Tidak sedikit wilayah public, di negeri ini, yang menuntut beaya tinggi bagi calon pejabatnya. Mereka harus menyediakan modal besar. Rakyat pun juga tahu semua itu. Akhirnya jabatan itu di mata public juga tidak terlalu dianggap mulia dan terhormat. Hal itu disebabkan karena, mereka menjadi pejabat bukan karena prestasi yang mulia, semisal lebih pandai, lebih arif dan juga berakhlak mulia, melainkan sebatas karena ditopang oleh uang. Lantas dengan begitu, rakyat akan menganggap bahwa jabatan itu tidak lebih hanya sebatas permainan untuk mendapatkan kekuasaan dan uang belaka.
Masyarakat Jambi membutuhkan sebuah Perubahan yang merupakan arus yang sangat kuat di tengah-tengah masyarakat, baik di akar rumput maupun di level menengah ke atas, arus ini menjadi sesuatu yang akan dimanfaatkan oleh para Calon, dan isu ini meupakan factor penentu kemenangan dalam proses PIL”GUB”KADA Jambi nantinya, bahwa pemimpin Jambi yang akan datang, harus sesuai dengan keinginan dan kebutuhan Pembangunan globalisasi, maka masyarakat Jambi mengingin terjadinya perubahan pada tahun kepemimpinan 2010-2015, dengan kriteria antara lain, memilki kemampuan Internasional dan Nasional serta Lokal, Arief dalam ekonomi dan Lingkungan, bisa memahami dan mendengarkan kebutuhan serta memenuhi kebutuhan masyarakat berdasarkan skala prioritas, Bebas KKN dan Berkepribadian sebagai panutan.
Mudahan-mudahan, Jambi masa depan akan lebih baik, sipapun yang menjadi Pemimpin Jambi dan mengusung arus perubahan akan membawa Jambi lebih baik, amin. 

Minggu, 20 Desember 2009

Tokoh Kerinci Harus Segera Bersatu Sikapi Pilgub

Jambi Global | Politik
JAMBI - Wakil Ketua DPD PAN Kabupaten Kerinci Dedi Masyuni SE yang juga anggota DPRD Provinsi Jambi daerah pemilihan Kerinci berharap tokoh-tokoh Kerinci baiik yang ada di Kerinci maupun di luar Kerinci untuk bersatu dalam menyikapi ajang pemilihan gubernur (Pilgub) Jambi 2010. Dedi berkeyakinan dengan bersatunya tokoh-tokoh Kerinci maka siapa pasangan Cagub-Cawagub yang didukung berpotensi untuk keluar sebagai pemenang di Pilgub Jambi periode 2010-2015. ''Harapan saya selaku wakil rakyat Provinsi Jambi daerah pemilihan Kerinci-Sungaipenuh agar tokoh-tokoh Kerinci dan Kota Sungaipenuh ataupun elit-elit Kerinci dan Kota Sungaipenuh untuk bersatu. Beliau-beliau tersebut harus bersedia duduk satu meja membahas dan mendiskusikan siapa yang sebaiknya dan selayaknya didukung untuk memimpin Jambi lima tahun ke depan,'' kata Dedi Masyuni yang juga Sekretaris Komisi III DPRD Provinsi Jambi kepada jambiglobal, Minggu, 13/12/2009.

Disebutnya, jumlah pemilih yang berada di Kerinci dan Kota Sungaipenuh relatif besar yakni mencapai 254.123 orang ditambah lagi dengan warga Kerinci yang berada di luar Kerinci dalam Provinsi Jambi. Sedangkan total pemilih di Provinsi Jambi pada Pilpres 2.198.902 orang. ''Di era pemilihan langsung ini kan suara rakyat sangat berarti karena mereka yang langsung memilih. Oleh karena itu posisi tawar Kerinci sangat besar dan srategis. dan ini harus diawali dengan para tokoh itu sendiri,'' kata Dedi Masyuni.
Siapa figur tokoh Kerinci yang sebaiknya diusung maju di Pilgub Jambi? Dedi enggan menyebutkannya. ''Silahkan di kalangan pra tokoh yang membahasnya,'' katanya.
Meski Dedi enggan menyebutkan tokoh Kerinci yang layak dan pantas dimunculkan, namun sejauh ini nama yang muncul antara lain Ami Taher (mantan anggota DPR RI) , Prof Dr Sudirman, M Rahman (Wakil Bupati Kerinci), Muradi Darmansyah (anggota DPR RI dari hanura). Selain itu ada pula tokoh Kerinci lainnya Rizal Djalil, Nuzran Joher, Fauzi Siin, Rafli Nur , Nur Kamal dan lainnya. Perlunya tokoh Kerinci segera menyikapi Pilgub engan cara duduk satu meja juga diungkapkan Khaidirman yang selama ini masuk dalam tim sukses Prof. DR Sudirman. ''Sangat perlu para tokoh Kerinci duduk satu meja mendisukusikan siapa tokoh asal Kerinci yang akan didukung,'' kata Khaidirman yang berdomisili di Kota Jambi kepada Jambiglobal, Minggu, 13/12/2009. (janewar www.jambiglobal.com)

Selasa, 15 Desember 2009

KERINCI SEBLAT PENGHASIL TAKSOL SATU-SATUNYA DI INDONESIA

Kerinci Seblat Penghasil Taksol Satu-satunya di Indonesia

S I A R A N P E R S
Nomor: S.660/PIK-1/2009

KERINCI SEBLAT PENGHASIL TAKSOL SATU-SATUNYA DI INDONESIA

Penemuan senyawa kimia taksol telah memberikan harapan baru bagi pasien yang terserang virus kanker. Senyawa taksol mempunyai keaktifan yang dapat membunuh virus penyebar berbagai kanker, seperti kanker payudara dan kanker rahim. Taksol adalah senyawa kimia dipertenoid tipe taksan yang telah diisolasi dari spesies taxus. Taxus sumatrana atau dikenal dengan Sumatran yew (Cemara Sumatra) merupakan satu-satunya jenis Taxus yang tumbuh di Indonesia, yaitu di Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). Jenis ini tumbuh secara alami di TNKS pada ketinggian 1400 mdpl – 2300 mdpl pada punggung-punggung bukit atau tepian jurang. Kulit, daun, cabang, ranting dan akar dari Genus Taxus merupakan sumber Taxane, dimana paclitaxel atau lebih dikenal dengan merk dagang Taxol diekstraksi, sebagai obat yang sangat sukses digunakan dalam pengobatan kemoterapi untuk berbagai jenis kanker. Seiring dengan tingginya tingkat eksploitasi yang dilakukan untuk memperoleh bahan aktif taxane di dunia farmasi, maka populasi taxus di dunia telah menurun secara drastis. Permintaan fenomenal terhadap bahan aktif paclitaxel dan berbagai senyawa golongan taxane lainnya berlangsung mulai tahun 1990-an dan sampai saat ini paclitaxel merupakan obat anti kanker paling dicari di dunia. Sejak tahun 2005 Genus Taxus telah dimasukkan ke dalam Appendix II CITES.

Tidak seperti jenis Taxus lainnya yang tumbuh di Eropa dan Amerika yang sudah banyak diteliti, Taxus sumatrana yang tumbuh di Indonesia hanya mendapatkan sedikit perhatian. Padahal jenis ini merupakan salah satu jenis yang potensial untuk dikembangkan baik untuk tujuan konservasi maupun produksi. Salah satu penelitian yang telah dilakukan untuk jenis ini adalah dari aspek keragaman genetik dan uji stek. Berdasarkan hasil penelitian, meskipun habitat alami Taxus sumatrana di Indonesia hanya diketahui ada di kawasan Kerinci Seblat namun jenis ini memiliki keragaman genetik dalam populasi yang cukup tinggi, sedangkan keragaman genetik antar populasi tergolong sedang. Perbanyakan vegetatif jenis ini berhasil dilakukan dengan media terbaik adalah cocopit; sekam pada perbandingan 2:1 v/v dengan menggunakan metode pengkabutan. Persentase stek hidup dan berakar mencapai 66,7%. (#)

Jakarta, 15 Desember 2009
Kepala Pusat Informasi Kehutanan,
ttd.
M a s y h u d
NIP. 19561028 198303 1 002

Sumber http://www.dephut.go.id/index.php?q=id/node/5990

Kamis, 03 Desember 2009

Tingkat Kesejahteraan Petani Jambi Terendah

Kamis, 3 Desember 2009 | 03:33 WIB

JAMBI, KOMPAS - Tingkat kesejahteraan petani di Provinsi Jambi secara nasional berada pada urutan terendah. Tingginya laju pertumbuhan ekonomi daerah tersebut ternyata tidak berbanding lurus dengan tingkat kesejahteraan petaninya. Ini terjadi karena laju pertumbuhan ekonomi Jambi lebih banyak digerakkan oleh tingginya tingkat konsumsi rumah tangga.

Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Jambi Dyan Pramono Effendi, Rabu (2/12), menyatakan, rendahnya tingkat kesejahteraan petani di Provinsi Jambi tersebut diukur dari nilai tukar petani (NTP). NTP diperoleh dari perbandingan indeks harga yang diterima petani terhadap indeks harga yang dibayar petani.

”Dengan kata lain, biaya hidup ditambah biaya produksi yang dikeluarkan petani di Provinsi Jambi lebih besar dibanding pendapatan yang diterimanya. Artinya, daya beli petani lebih rendah dibanding harga-harga kebutuhan hidupnya,” kata Dyan.

Dalam perhitungan NTP, jika pendapatan petani sama dengan jumlah biaya hidup ditambah biaya produksi, maka skornya 100. Jika di bawah 100, artinya pendapatan petani lebih rendah dibanding harga-harga kebutuhan hidup dan biaya bertani.

Berdasarkan data BPS, NTP Provinsi Jambi selama Agustus sampai Oktober 2009 berada di urutan terendah di antara 33 provinsi se-Indonesia. Pada bulan Oktober, misalnya, NTP Provinsi Jambi adalah 93,66. Sementara itu, NTP rata-rata Indonesia adalah 100,79.

Rendahnya NTP Provinsi Jambi itu terjadi di semua subsektor. NTP tanaman pangan sebesar 94,45, NTP hortikultura (97,21), NTP tanaman perkebunan rakyat (90,64), NTP peternakan (98,13), dan NTP perikanan sebesar 91,6.

Terpuruk

Sepanjang Januari hingga Oktober 2009, NTP Provinsi Jambi terus terpuruk di bawah 100. Hal yang sama terjadi di enam bulan pada tahun 2008, yakni Januari, Februari, September, Oktober, November, dan Desember.

Wakil Sekretaris Himpunan Kerukunan Tani Indonesia Provinsi Jambi Doni Parasaribu menyatakan, rendahnya kesejahteraan petani di Jambi akibat sistem pertanian termasuk pola distribusi penjualan secara keseluruhan tidak berpihak pada kepentingan petani. Ini, misalnya, sangat jelas dialami petani plasma di perkebunan karet yang hanya dijadikan alat produksi perusahaan.

Peran Pemerintah Provinsi Jambi dan daerah tingkat dua sebagai fasilitator dinilai tidak jalan, malah yang marak adalah suburnya pungutan liar oleh oknum aparat dan birokrat sehingga menyebabkan biaya produksi membengkak. Ujung-ujungnya, perusahaan menekan pengeluaran yang berkaitan dengan kesejahteraan petani.

Secara terpisah, Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Jambi Tagor Nasution menyatakan, pihaknya menyangsikan validitas data BPS tersebut. Alasannya, laju pertumbuhan ekonomi Jambi yang 70 persen masyarakatnya adalah petani tergolong tinggi.

”Saya kurang percaya kepada data itu karena pertumbuhan ekonomi Jambi termasuk tinggi di Sumatera,” kata Tagor.

Berdasarkan data BPS, laju pertumbuhan ekonomi Provinsi Jambi pada triwulan ketiga sebesar 2,01. Ini, menurut Dyan, termasuk tinggi.

Namun, tingginya laju pertumbuhan ekonomi tersebut lebih banyak disebabkan tingginya tingkat konsumi rumah tangga sehingga tidak berbanding lurus dengan peningkatan kesejahteraan petani. (LAS)

sumber http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/12/03/03333421/tingkat.kesejahteraan.petani.jambi.terendah

Rabu, 25 November 2009

UJIAN NASIONAL DAN KELULUSAN SISWA (Penciptaan generasi intelektual Semu ???)

UJIAN NASIONAL DAN  KELULUSAN SISWA
(Penciptaan generasi intelektual Semu ???)
By Syamsul Bahri, SE, Pengamat, Conservationist, Dosen STIE-SAK, syamsul_12@yahoo.co.id

Berita pelaksanaan ujian nasional bulan Maret 2010 seharusnya tidak mengagetkan (Kompas, 12/11), dan memang menjadi sebuah dilema dalam proses pendidikan di Indonesia, karena kecenderungan proses pendidikan di Indonesia mengarah pada proses menjadikan siswa menjadi “pintar”, bukan bertujuan memcerdaskan kehidupan bangsa, sebagaimana dituangkan dalam pembukaan UUD 1945, sebagai salah satu tujuan dari pendirian Negara ini adalahn “mencerdaskan kehidupan bangsa:
Apa yang disampaikan diatas, terlihat indikasi bahwa pelaksanaan ujian nasional akan dilaksanakan pada bulan Maret 2010, membawa implikasi dalam proses pembelajaran, antara lain “pemadatan pengajaran” dalam bentuk pembentukan “les tambahan”,“tim sukses” Ujian nasional tingkat sekolah, dimana proses pembelajaran diarahkan untuk bagaimana strategi menjawab pertanyaan, dengan memberikan peluang “try out” oleh lembaga-lembaga pendidikan yang direkomendasikan, membuat kosentrasi siswa hanya dipusatkan pada kiat menjawab pertanyaan secara tepat, dalam wilyaha ranah “hapalan” dalam rangka mempertahan dan mengangkat nama baik sekolah dan nama baik kepala sekolah dan Pemerintahan Kabupaten/kota, tentunya pengabaian terhadap nilai jelajah intelektual siswa.
Dengan mekanisme yang telah ditetapkan dalam Ujian Nasional, melalui kriteria kelulusan, kecenderungan menciptakan siswa lulus, bukan menciptakan siswa yang memiliki nilai-nilai kecerdasan/jelajah intelektual yang siap beradaptasi dengan segala pernik pernik bentuk persoalan dan  “pemahaman” materi, seharusnya kelulusan siswa ditentukan oleh proses pembelajaran selama 6 tahun untuk tingkat dasar, dan 3 tahun untuk tingkat menengah dan atas, namun yang terjadi saat ini adalah nilai kelulusan yang tercipta adalah “intelektual semu”, atau “ siswa pintar” tentunya memungkinkan siswa untuk tidak siap menerima kondisi dan situasi yang berbeda. Hasil ini sementara menjadi kebanggan dari sekolah dan Pemerintah Kabupaten/kota, dimana siswa mereka dapat lulus dengan prosentase yang baik dalam Ujian Nasional.

Sebagai hasil akhir dari sebuah proses pembelajaran yang tercipta seperti Ujian Nasional ini adalah bagaimana bisa mendapat Ijazah (STTB), bukan kreativitas yang handal yang mampu menghadapi semua situasi dengan kreativitas dan kompetensi, tentunya apabila siswa tersebut bernasib baik dan menjadi pejabat, maka kecenderungan akan menjadi pejabat dengan “target kesemuan” juga, lebih mengutamakan dan menciptakan kondisi kedamaian semu, dengan segala kongkalikokang

Jelas disini tujuan Pendidikan Nasional yang diamanatkan dalam UUD 1945 adalah ”mencerdaskan kehidupan bangsa, dan fungsi pendidikan Nasional diuraikan dalam UU Pendidikan Nasional No 20 tahun 2003 adalah mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab

Sesuai UU No.20 Tahun 2003,  tentang sistim Pendidikan Nasional Bab XVI pasal 57 ayat (2)  evalausi dilakukan kepada peserta didik, lembaga, dan program pendidikan pada jalur formal dan informal untuk semua jenjang, satuan  dan jenis pendidikan, sedangkan pasal 58 ayat (1) evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh Pendidik untuk mamantau proses kemampuan dah perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan  dan pasal 1 ayat (17) standar nasional Pendidikan adalah criteria minimal tentang sistim pendidikan diseluruh wilayah NKRI, sedangkan Pasal 35 ayat (1) dalam penjelasan “kompetensi kelulusan adalah merupakan kualifikasi kemampauan kelulusan yang mencakup sikap, pengetahuan dan ketrampilan”, disini jelas bahwa kelulusan tidak bisa ditentukan hanya oleh materi yang diujii dalam ujian nasional, karena sikap, kemampuan dan ketrampilan yang hanya diketahui oleh Pendidik/guru tidak dinilai oleh Ujian Nasional, kembali lagi peran pendidik dikebirikan. Pasal 37 materi wajib yang harus diakomodir dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah memuat Pendidikan Agama, PKN, Bahasa, Matematika, IPA, IPS, Seni dan Budaya Penjas, Ketarmpilan dan jasa, muatan local, kata “ wajib” merupakan suatu bentuk yang wajib diajarkan kepada anak didik, konsekwenasinya materi tersebut menjadi indicator sebuah kelulusan anak didik.

Kamis, 05 November 2009

MASA DEPAN KITA ADA DIMANA ???


MASA DEPAN KITA ADA DIMANA ???
(Agenda Utama Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II)
By Syamsul Bahri, SE Conservationist, Pengamat, Dosen STIE-SAK, syamsul_12@yahoo.co.id


Terlepas terbentuknya dan terpilih Menteri KIB II memenuhi aspek Presidential, Zaken Kabinet atau tidak, namun salah satu langkah maju untuk mencoba melihat Indonesia dari berbagai segi telah dilakukan Rembuk Nasional (National Summit 29-31 Oktober 2009), dengan menghasilkan sebuah target yang fantastik, yaitu pertumbuhan ekonomi Indonesia sampai tahun 2014 sebesar 7,0%-8,0%, dengan kegiatan-kegiatan lebih mengutamakan Investasi sektor real, antara lain revitalisasi sektor Pangan (Sub sektor Tanaman pangan dan Holtikultura, Perkebunan, Peternakan, Kehutanan), salah satu tujuan utama adalah menciptakan ketahanan pangan dan kedaulatan pangan di Indonesia serta perbaikan dan pengembangan Infrastruktur dan ketahanan energi yang berjalan seiring

Rembuk Nasional (National Summit) bermaksud ”menyapu bersih” berbagai peraturan yang dinilai menghambat tercapainya target pertumbuhan ekonomi 7-8 persen tahun 2014 (Kompas, 29/10/2009). Demi efisiensi dan pemerintahan yang bersih, maksud itu patut didukung, apabila acuan pada keberhasilan adalah pertumbuhan ekonomi, namun seyogyannya tidak menerobos pilar-pilar ekonomi yang bermaksud melindungi barang dan jasa publik yang bersifat strategis.dalam UUD 1945.

Pilar ekonomi yang tertuang dalam UUD 1945, pasal 33  yang diuraikan  (1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan, (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara, dan (3) Bumi dan air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk “sebesar-besar kemakmuran rakyat”,

Karena inti dari Pilar ekonomi tersebut yang tertuang dalam UUD 1945, “sebesar-besar kemakmuran rakyat”, (tentunya tanpa membedakan kelas) yang belum tentu bisa terpenuhi melalui indikator pertumbuhan ekonomi semata-mata, karena dipandang pertumbuhan ekonomi selama ini telah menciptakan jarak miskin dan kaya semakan jauh, sedangkan salah tujuan Pembanguan Nasional adalah meningkatkan kesejahteraan serta mengentaskan kemiskinan.

Target dan Program Nasional Summit, hendaknya disamping pilar ekonomi yang tertuang dalam UUD 1945, perlu diperhatikan apa yang disamnpaikan oleh Prof. Dr. Emil Salim pada tanggal 15 April 2008 di Istana Isen Mulang, Palangka Raya (Kalteng) “Masa depan kita ada dimana?”, selanjutnya beliau sendiri yang menjawab bahwa “masa depan kita ada di hutan, dengan segala isinya, flora (hewan), fauna (tumbuhan), jasa lingkungan (air, udara, ekowisata), gudangnya ilmu pengetahuan dan sebagainya……!”, dipertegas oleh beliau menekankan akan arti pentingnya kelestarian dan kelangsungan berbagai fungsi dan manfaat hutan untuk generasi kini dan masa mendatang (Kalimantan Post, 30-06-09 11:10), pernyataan Emil  Salim tersebut sejalan dengan penjelasan Duta Besar PBB untuk Millenium Development Goals (MDGs) Asia Pasifik, Erna Witoelar menyatakan perusakan lingkungan menyebabkan masyarakat semakin miskin karena rusaknya sumber daya potensial. "Angka kemiskinan akan terus naik seiring dengan kerusakan lingkungan," Berdasarkan hasil evaluasi program MDGs di Asia Pasifik, tahun 2006 Indonesia dinilai mengalami penurunan pencapaian target MDGs. "Penurunannya sangat parah," kata dia dalam diskusi "Pemenuhan dan Pemulihan Keadilan Ekologis,". Penyebab utamanya adalah bencana alam akibat kerusakan ekologis dan konflik politik. Mundurnya pencapaian pembangunan itu, kata dia, menyebabkan masyarakat semakin miskin, akses pada sarana pendidikan dan kesehatan minim dan lingkungan yang semakin rusak.

Sehingga revitalisasi sector pangan, tidak bisa lepas dari bagaimana kita mengoptimalkan fungsi penyangga kehidupan (penyangga ekonomi) dari sebuah kawasan Konservasi dan atau kawasan Lindung, karena kawasan ini secara ekonomi memiliki nilai ekonomi langsung dan nilai ekonomi yang tidak langsung sebagai penyangga ekonomi masyarakat yang sangat besar, apabila revitalisasi sector pangan mengabaikan peran dan fungsi penyangga kehidupan, tentunya target pencapaian pertumbuhan ekonomi akan mengalami hambatan, bahkan mungkin turun, karena factor penyangga akan sangat berpengaruh atas keberlangsungan dan keberlanjutan peningkatan “kemakmuran rakyat”.

Sebuah kebijakan yang tidak berfihak kepada penyelamatan pelestarian hutan dan lingkungan sebuah kebijakan yang tidak areif dalam pembangunan nasional, dan merupakan sebuah kebijakan pemiskinan terstruktur di Indonesia, dan kondisi hutan dan lingkungan Indonesia cukup memprihatinkan, dengan indicator yang dirasakan adalah bencana demi bencana melanda Indonesia hampir tiap tahun

Sabtu, 17 Oktober 2009

"MARI KITA SATUKAN TEKAD MEMBANGUN JAMBI YANG SEJAHTERA"

Mari kita bergabung bersama untuk membangun Jambi secara utuh, bersama Prof DR Sudirman M. Johan MA, dengan Motto SMJ= (S) Semua, (M) membangun (J) Jambi

Jumat, 16 Oktober 2009

80 Desa Tolak HTI di Kerinci Seblat Warga Khawatir PLTMH Terganggu

80 Desa Tolak HTI di Kerinci Seblat
Warga Khawatir PLTMH Terganggu

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/10/17/03554224/80.desa.tolak.hti.di..kerinci.seblat

Sabtu, 17 Oktober 2009 | 03:55 WIB

Jambi, Kompas - Gelombang penolakan atas rencana pembukaan hutan tanaman industri di kawasan penyangga Taman Nasional Kerinci Seblat, Jambi, meluas. Jumat (16/10), sebanyak 80 kepala desa dari 4 kecamatan menandatangani penolakan izin bagi PT Duta Alam Makmur.

Penandatanganan surat penolakan itu sebagai tanggapan atas keputusan Menteri Kehutanan MS Kaban yang memberikan perpanjangan batas waktu penyusunan dan penyampaian dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) izin usaha pengelolaan hasil hutan kayu hutan tanaman industri (HTI) PT Duta Alam Makmur (DAM) hingga 30 Oktober 2009. Padahal, batas waktu penyampaian dokumen amdal berakhir pada akhir Agustus.

”Kami baru tahu belakangan bahwa pemerintah memperpanjang batas waktu penyerahan amdal PT DAM,” kata Jamaludin, Kepala Desa Renah Alai, Kecamatan Jangkat, Kabupaten Merangin.

Menurut Jamaludin, masyarakat di 42 desa sebelumnya telah menyatakan penolakan kepada Menhut atas rencana pembukaan HTI. Kali ini, semakin banyak desa penyangga taman nasional yang menolak.

Hal senada diutarakan Ali Barte, Kepala Desa Kotabaru. Menurut dia, masyarakat khawatir, HTI akan mengganggu keseimbangan ekosistem dan menimbulkan bencana ekologi di wilayah mereka.

Berdasarkan catatan Kompas, wilayah hutan produksi yang akan dikonversi menjadi HTI mencapai 118.955 hektar. Wilayah itu berbatasan langsung dengan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) di Kabupaten Merangin. Sebagian di antaranya merupakan hutan produksi terbatas yang menurut aturan tidak dapat dikonversi menjadi HTI.

Kawasan tersebut bertopografi curam 45-75 derajat sehingga tidak layak untuk HTI. Kawasan itu menjadi habitat bagi satwa liar dilindungi dan hampir punah, seperti harimau sumatera, ungko, siamang, tujuh jenis burung rangkong, macan dahan, kucing mas, tapir, serta kambing gunung.

Pembangkit listrik

Hampir 10 tahun terakhir, masyarakat setempat memanfaatkan hulu-hulu sungai di wilayah itu untuk pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTMH). Ada 25 pembangkit listrik yang mengalirkan listrik bagi masyarakat. Masuknya HTI dikhawatirkan akan merusak kawasan hulu sungai dan berdampak pada menurunnya produksi listrik.

Direktur Eksekutif Walhi Jambi Arif Munandar mengatakan, penolakan tidak hanya dilakukan oleh masyarakat desa. Sebanyak 18 lembaga swadaya dan organisasi pencinta alam menolak pembukaan HTI di penyangga TNKS. Mereka antara lain Walhi Jambi, Lembaga Tiga Beradik, Komunitas Konservasi Indonesia Warsi, LBH Lingkungan, Perkumpulan Hijau, Perkumpulan Gita Buana, Mapala Gitasada, dan Mapala Himapasti. (ITA)

Krisis ekonomi dan pemanasan global ( Menjadi pertimbangan Kabinet SBY-Budiono ?)

Krisis ekonomi dan pemanasan global
( Menjadi pertimbangan Kabinet SBY-Budiono ?)
By Syamsul Bahri, SE Conservationist, Pengamat, Dosen STIE-SAK, syamsul_12@yahoo.co.id

Krisis ekonomi global dan Isu pemanasan global akan mengancam kehidupan manusia, kemiskinan dan kelaparan global dan lain-lain, secara global target pengentasan kemiskinan dibawah bendera PBB terutama di Indonesia berkurang hingga 7,5% sampai tahun 2015, ternyata sesuai data bahwa kemiskinan di Indonesia tahun 2008 mencapai anga 15,64%, jadi apa yang telah dikatakan Negeri yang namanya Negara Kesatuan Republik Indonesia, sebagai sebuah negeri Zamrud di khatulistiwa, Negerinya kolam susu (kata Koes Plus) semua bisa tumbuh, Negara yang terkenal kaya akan SDA, telah bergeser jauh

Kondisi ini diperkuat pernyataan Prof. Dr. Emil Salim pada tanggal 15 April 2008 di Istana Isen Mulang, Palangka Raya (Kalteng) “Masa depan kita ada dimana?”, selanjutnya beliau sendiri yang menjawab bahwa “masa depan kita ada di hutan, dengan segala isinya, flora (hewan), fauna (tumbuhan), jasa lingkungan (air, udara, ekowisata), gudangnya ilmu pengetahuan dan sebagainya……!” Pada waktu itu Prof. Emil Salim sangat jelas menekankan akan arti pentingnya kelestarian dan kelangsungan berbagai fungsi dan manfaat hutan untuk generasi kini dan masa mendatang (Kalimantan Post, 30-06-09 11:10), bahkan diperkuat Berdasarkan penjelasan Duta Besar PBB untuk Millenium Development Goals (MDGs) Asia Pasifik, Erna Witoelar menyatakan perusakan lingkungan menyebabkan masyarakat semakin miskin karena rusaknya sumber daya potensial. "Angka kemiskinan akan terus naik seiring dengan kerusakan lingkungan," Berdasarkan hasil evaluasi program MDGs di Asia Pasifik, tahun 2006 Indonesia dinilai mengalami penurunan pencapaian target MDGs. "Penurunannya sangat parah," kata dia dalam diskusi "Pemenuhan dan Pemulihan Keadilan Ekologis,". Penyebab utamanya adalah bencana alam akibat kerusakan ekologis dan konflik politik. Mundurnya pencapaian pembangunan itu, kata dia, menyebabkan masyarakat semakin miskin, akses pada sarana pendidikan dan kesehatan minim dan lingkungan yang semakin rusak.


Dari data tersebut diatas, jelas bahwa ada 2 hal penting menjadi catatan SBY-Budiono adalah Krisis ekonomi global dan Pemanasan global, dengan indicator salah satunya adalah kerusakan hutan tropis, kemiskinan, bencana alam, penyakit, kebakaran hutan, krisis enegrgi listrik dll, seyogyannya indikator dan fakta ini menjadi acuan dalam penentuan Kabinet dan penempatan posisi Menteri.

Menteri Bidang Ekonomi dan yang membidangi Kehutanan/lingkungan hidup seyogyannya memakai azas Zaken Kabinet, dengan mengabaikan pertimbangan Partai Politik atau kontrak Politik, karena ekonomi global dan pemanasan global menjadi hal-hal yang menjadi isu sentral dalam pembangunan masa yang akan datang,

Membicarakan tentang Bumi yang telah dirusak oleh keserakahan, kehancuran ekologis, ketidakadilan, kesenjangan kaya-miskin, penderitaan, perang, penyakit, dan kematian. Kekayaan bagi orang atau negara tertentu merupakan kemiskinan bagi orang atau negara lain

Jika tidak segera diambil langkah bersama secara cepat dan simultan, kehancuran akan semakin parah. Kemiskinan dan kehancuran ekologis akan terus merebak. Bencana kehancuran ekologis tidak lagi dalam hitungan ratusan atau puluhan tahun, tapi malah dalam hitungan satu generasi.

Salah satu langkah strategis yang perlu di ambil oleh Pemerintahan SBY-Budiono dalam kabinet yang akan datang, adalah menempatkan Menteri berdasarkan keahlian (Zaken cabinet) di bidang Kementerian ekonomi dan kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup, dengan mengabaikan pertimbangan kontrak politik, demi masa depan ekonomi dan pembangunan manusia Indonesia seutuhnya.

Kamis, 08 Oktober 2009

MENEROPONG KEPEMIMPINAN PROPINSI JAMBI SAMPAI TAHUN 2009

MENEROPONG KEPEMIMPINAN PROPINSI JAMBI
SAMPAI TAHUN 2009
Dari Indikator Indek Nilai Tukar Petani (NTP)
By Syamsul Bahri, SE Pemerhati Lingkungan, Conservationist, Dosen STIE-Sak Kerinci, syamsul_12@yahoo.co.id

Propinsi Jambi secara resmi menjadi Propinsi tahun 1958 berdasarkan Undang-undang No. 61 tahun 1958 tanggal 25 juni 1958, terletak antara 0º 45¹ 2º 45¹ LS dan 101º 0¹ - 104º 55 BT, ditengah pulau sumatera membujur sepanjang pantai timur sampai barat, dengan luas 53.435.72 Km², yang terdiri dari 98,82% daratan, 0,82% lautan dan 0,36% wilayah garis pantai, dalam artian sudah mengelola daerah sendiri selama ±51 tahun.

Dengan potensi Sumber Daya Alam yang melimpah, baik pertamabangan, perkebunan, kehutanan, pertanian dll, serta merupakan sebuah Propinsi di Pulau Sumatera yang kaya dan memiliki sumber Pendapatan Asli daerah yang memadai, bahkan merupakan salah satu Propinsi yang memiliki letak yang strategis kawasan segi tiga pertumbuhan Indonesia-Malaysia-Singapore (IMS-GT).

Hal itu seyogyannya membawa sebuah konsekwensi kehidupan sosial ekonomi masyarakat Jambi dengan komposisi Penduduk berdasarkan Pekerjaan, didominiasi oleh Petani sebanyak 76,2%, Perdagangan sebanyak 13,1 % dan Jasa kemasyarakatan sebanyak 10,8%, menuju sebuah kesejahteraan yang menjadi cita-cita negara dalam proses pembangunan, yang dimulai dari sebuah proses demokrasi politik, baik demokrasi Pemilihan Pimpinan Daerah era orde baru maupun pola Pilkada era Reformasi, dengan tujuan utama adalam mewjudkan kesejahteraan rakyat yang berkeadilan.

Dari data tersebut diatas, dengan melihat komposisi kewilayahan, jelas penduduk Jambi masih didominasi dengan sumber mata pencaharian Penduduk adalah petani dari kelompok holtikultura, pangan, perkebunan Rakyat, perikanan, peternakan, dalam artian kegiatan pertanian merupakan sumber penghidupan utama masyarakat Jambi.

Petani sebagai penduduk dominan, diwilayah yang kaya akan sumber kehidupan pertanian, setelah membaca kompas tanggal 5 oktober 2009, dengan judul ” Tingkat Kesejahteraan Petani di Jambi Terbawah” di web http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/10/05/03595030/Tingkat-Kesejahteraan-Petani-di-Jambi-terendah,

Dengan membaca berita tersebut sungguh sangat terkejut dan ironis bahwa, Indek Nilai Tukar Petani (NTP) di Jambi terbawah selama 10 bulan ini (sampai Agustus 2009), merupakan terendah secara nasional bersama dengan Propinsi Papua Barat, bahkan, Jambi beberapa kali menjadi provinsi yang memiliki NTP terendah secara nasional, yang membuat pertanyaan muncul dalam benak, data yang disampaikan itu objektif atau subjektif, apakah benar ? atau tidak ?, bahwa ” Tingkat Kesejahteraan Petani di Jambi Terbawah secara nasional ???, karena dari data dan potensi serta kegiatan pertanian yang dilakukan, sesuatu hal yang tidak mungkin terjadi.

Memang disadari bahwa pemaknaan dari NTP dibawah 100 tersebut berindikasikan
1. Biaya yang dikeluarkan petani lebih rendah dibandingkan dengan nilai yang diperolehnya.
2. NTP menunjukkan daya tukar produk pertanian dengan konsumsi barang dan jasa untuk biaya produksi.
3. Menandakan makin rendahnya daya beli petani.
4. Membandingkan tingkat kesejahteraan petani setiap propinsi yang mencerminkan tingkat keberhasilan kepemimpinan Propins/Kabupaten/kota dalam Pembangunan bidang Pertanian

Nilai Tukar Petani (NTP) adalah Rasio antara Indeks Harga yang diterima Petani dengan Indeks Harga yang dibayar untuk keperluan konsumsi rumah tangga serta keperluan produksi pertanian, yang dinyatakan dalam persen. NTP merupakan indikator yang digunakan untuk melihat tingkat kesejahteraan petani.

Melemah atau menurunya NTP petani Propinsi Jambi, dipengaruhi oleh produktivitas petani yang menurun, harga komodity rendah, harga faktor produksi yang tinggi, tentunya juga dipengaruhi infrastrukur terutama transportasi, Irigasi, SDM, dll, yang kian hari kian tidak terawat dan menyulitkan petani.

Melemahnya dan menurunya NTP disamping indikator rendahnya kesejahtereaan petani, juga berindikasi melemahnya pelaksanaan pembangunan untuk mendukung sektor pertanian, infrastruktur, dan multiefek dampak negatif dari NTP tersebut, semuanya merupakan kontribusi dari kepemimpinan Propinsi dan Kepemimpinan Kabupaten/kota dalam Propinsi Jambi.

Seyogyannya NTP Propinsi Jambi saat ini menjadi catatan penting bagi Bupati/walikota dan Gubernur Propinsi Jambi, sebagai sumbangan kolektif dalam penentuan NTP Propinsi Jambi di tingkat Nasional yang tercermin dari Indek NTP ini, apalagi para Bupati aktif, sebagai Incumbent yang telah dan sedang memerintah di masing-masing Kabupaten, ada yang baru satu periode dan ada yang akan mencapi 2 periode akan ikut ujian naik kelas dalam PIL”GUB”KADA Jambi.

Penulisan tulisan ini melihat dari sumber data yang ada, dan mengulas secara singkat dalam kontek Ilmiah

Selasa, 06 Oktober 2009

Tingkat Kesejahteraan Petani di Jambi Terbawah

EKONOMI KERAKYATAN
Tingkat Kesejahteraan Petani di Jambi Terbawah

Senin, 5 Oktober 2009 | 03:59 WIB

Jambi, Kompas - Tingkat kesejahteraan petani di Provinsi Jambi selama sepuluh bulan terakhir tercatat rendah. Pada Agustus lalu bahkan terendah secara nasional.

Rendahnya tingkat kesejahteraan itu terlihat dari nilai tukar petani (NTP) yang selalu berada di bawah indeks 100. Indeks di bawah 100 berarti biaya yang dikeluarkan petani lebih rendah dibandingkan dengan nilai yang diperolehnya. NTP menunjukkan daya tukar produk pertanian dengan konsumsi barang dan jasa untuk biaya produksi. NTP di bawah 100 juga menandakan makin rendahnya daya beli petani.

”NTP Provinsi Jambi pada Agustus 2009 mencapai 94,69,” ujar Dyan Pramono Effendi, akhir pekan lalu.

Ia melanjutkan, NTP pada Agustus lalu turun 1,25 persen dari bulan sebelumnya. Penurunan ini disebabkan turunnya indeks yang diterima petani 1,33 persen, khususnya pada subsektor tanaman pangan yang minus 3,7 persen.

Tingkat kesejahteraan petani di Jambi berada pada urutan terbawah, alias paling rendah dibandingkan dengan provinsi lain di Indonesia. Berdasarkan data BPS, nilai tukar petani pada 22 provinsi mengalami kenaikan dan 10 provinsi lainnya menurun, termasuk Jambi. Kenaikan NTP tertinggi terjadi di Sumatera Barat, sedangkan penurunan terendah dialami Papua Barat. Selain Jambi, provinsi lain yang tingkat kesejahteraannya rendah adalah Bangka Belitung, Jawa Barat, dan Jawa Tengah.

Pada Agustus lalu, ada lima subsektor yang mengalami penurunan, yaitu tanaman pangan, perkebunan rakyat, peternakan, dan perikanan. Indeks yang diterima petani pada subkelompok ini mengalami penurunan dibandingkan bulan sebelumnya.

Pengamat ekonomi dari Universitas Batanghari, Pantun Bukit, mengatakan, petani di Jambi terkendala oleh distribusi dan pemasaran hasil produk yang mereka hasilkan. Berbagai persoalan dialami mereka, seperti infrastruktur yang masih minim serta belum adanya proteksi harga jual di tingkat petani karena selalu jatuh saat panen.

Selama sepuluh bulan terakhir, nilai NTP selalu berada di bawah indeks 100. Bahkan, Jambi beberapa kali menjadi provinsi yang memiliki NTP terendah secara nasional.

September lalu, Kota Jambi mengalami inflasi sebesar 0,95 persen. Inflasi didorong oleh kenaikan indeks kelompok bahan makanan, makanan jadi, dan minuman, serta kelompok sandang dan kelompok transportasi.

Berdasarkan data BPS Jambi, kenaikan indeks harga terjadi pada bahan makanan sebesar 1,97 persen, kelompok makanan jadi dan minuman 0,41 persen, serta transportasi 1,17 persen.

Komoditas utama yang memberikan andil terhadap inflasi adalah cabai merah, gula pasir, angkutan udara, beras, tomat, tempa, dan ketupat. Adapun komoditas yang mengalami penurunan harga adalah telur ayam ras, minyak goreng, daging ayam ras, kelapa, dan bawang merah.

Pada kelompok bahan makanan, terdapat enam subkelompok yang mengalami inflasi, yaitu padi, umbu, ikan segar, kacang, buah, dan bumbu. Di kelompok makanan jadi, subkelompok yang mengalami inflasi adalah gula pasir, ketupat sayur, dan kopi bubuk. (ITA) http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/10/05/03595030/tingkat.kesejahteraan.petani.di.jambi.terbawah

Senin, 05 Oktober 2009

HUTAN ADAT HIANG KABUPATEN KERINCI POTENSI EKONOMI DALAM PERDAGANGAN KARBON


HUTAN ADAT HIANG KABUPATEN KERINCI
POTENSI EKONOMI DALAM PERDAGANGAN KARBON
(Bersama dengan Nilai – nilai Ekonomi dari TN Kerinci Seblat)
Sebagai Sumber PAD Kabupaten dan Propinsi
By Syamsul Bahri, SE. Conservationist di Jambi, Dosen STIE SAK Kerinci. Syamsul_@yahoo.co.id

 “Masa depan kita ada dimana? ”Pertanyaan tersebut dilontarkan oleh seorang guru besar emeritus FE-UI Prof. Dr. Emil Salim pada tanggal 15 April 2008 di Istana Isen Mulang, Palangka Raya (Kalteng), selanjutnya beliau sendiri yang menjawab bahwa “masa depan kita ada di hutan, dengan segala isinya, flora (hewan), fauna (tumbuhan), jasa lingkungan (air, udara, ekowisata), gudangnya ilmu pengetahuan dan sebagainya……!” Pada waktu itu Prof. Emil Salim sangat jelas menekankan akan arti pentingnya kelestarian dan kelangsungan berbagai fungsi dan manfaat hutan untuk generasi kini dan masa mendatang (Kalimantan Post, 30-06-09 11:10)

Statemen dan pernyataan Prof. Dr. Emil Salim , telah difahami dan disadari oleh masyarakat adat, antara lain masyarakat adat Hiang, berdasarkan Keputusan Bupati Kepala Daerah Tk II Kerinci dengan Keputusan No. 226 Tahun 1993, tanggal 7 Desember 1993, dikelola oleh masyarakat adat yang tergabung dalam masyarakat “Hutan Adat Ninek Limo Hiang Tinggi, Ninek Empat Betung Kuning, Muara Air Dua Kecamatan Setinjau Laut, (selanjutnya disebut Hutan Adat Adat Hiang) dikelola melalui organisasi Kelompok Kerja Hutan adat, yang terdiri dari perwakilan kelompok masyarakat tiga desa, petinggi serta pembantu dengan tugas dan wewenangnya yang sudah diatur dalam Keputusan Bupati

Pengelolaan hutan adat ini bertujuan dan berfungsi untuk perlindungan keanakeragaman hayati, memilihara sumber mata air dan tanah serta daerah tangkapan air, dan terciptanya peran serta masyarakat dalam upaya mendukung usaha-usaha pelestarian lingkungan hidup

Hutan adat Hiang, merupakan pengatur tata air dan kesuburan tanah, bagi masyarakat yang berada di muara/hilir, sehingga sumber air Hutan adapt ini, mengairi daerah-daerah yang berda di Kecamatan, berdasarkan analisa citra Satelit Tahun 2005, bahwa hutan adat ini mengairi sbb
1. Kecamatan Setinjau Laut seluas ± 80 % dari luas Kecamatan
2. Kecamatan Sungai Penuh seluas ±10 % dari luas Kecamatan
3. Kecamatan Danau Kerinci ± 30 % dari luas Kecamatan
4. Kecamatan Air Hangat Timur seluas ± 60 % dari luas Kecamatan

Berdasarkan Penelitian Sdr Syamsul Bahri, dengan judul ”Penilaian Ekonomi Sumber Daya Alam Hutan Adat Ninek Limo Hiang Tinggi, Ninek Empat Betung Kuning, Muara Air Dua, Kecamatan Setinjau laut Kabupaten Kerinci Hutan adat Hiang tahun 2005” memiliki Net Present Value (discount factor 12,5 % selama 10 Tahun) sebesar Rp221.492.769.368,29,-atau 97,62 %, atau Rp 22.149.276.937, setiap Tahun, dengan tidak mengeksploitasi hutan adat dalam bentuk kayu komersil yang bernilai secara ekonomi dengan Net Present Value (discount factor 12,5 % selama 10 Tahun) sebesar Rp5.392.067.753,09 atau 2,38 %


Sebagaimana diketahui Hutan adat Hiang dengan luas 858,95 ha, merupakan salah satu hutan yang dikelola oleh masyarakat adat dan mendapat penghargaan tertinggi oleh Pemerintah sebagai penghargaan Lingkungan Hidup, sesuai Surat Menteri negara Lingkungan Hidup No. B.2781/SES/LH/05/2005, tanggal 31 Mei 2005, tentang penganugrahan Kalpatarus dan Upacara Nasional Hari Lingkungan Hidup, yang berisikan antara lain Pemberian Kalpataru kepada Individu/ Kelompok yang dinilai menunjukan prestasi yang luar biasa dalam pelestarian lingkungan hidup tahun 2005, salah satu adalah masyarakat adat Hutan Adat Nenek Lima Hiang Tinggi, Nenek Empat Betung Kuning, Muara Air Dua Kecamatan Setinjau Laut

Pada Tahun 2012, akan diberlakukan akan dilakukan pembelian dan perdagangan karbon Di bawah kesepakatan Protokol Kyoto, negara industri maju penghasil emisi karbon dioksida diwajibkan membayar kompensasi kepada negara miskin dan atau berkembang atas oksigen yang dihasilkannya, kepada negara yang mempertahan dan melestarikan hutan, sehingga peluang Hutan Adat Hiang untuk meningkatkan nilai ekonomi langsung dengan tetap mempertahankan nilai ekonomi tidak langsung, akan dimungkin akan mendapat nilai penjualan karbon, apabila kawasan Hutan adat ini ditawarkan sebagai kawasan carbon trade, penjualan gas karbon jelas menguntungkan bagi masyarakat dan Pemerintah Pengelola Hutan Lestari, dibandingkan dengan eksploitasi hutan berupa penebangan pohon atau pertambangan, karena banyak keuntungan bila Pemerintah Kabupaten/kota/lembaga adat melibatkan diri dalam perdagangan karbon, selain bisa memperoleh devisa sebagai sumber PAD dan Pemberdayaan dan peningkatan ekonomi masyarakat juga sebagai sarana untuk melestarikan hutan dan lingkungan di daerah ini, apa lagi pengajuan tersebut bersama dengan pengajuan dengan beberapa kawasan hutan adat seperti hutan adat temedak dan lekuk 50 tumbi, dan kawasan TNKS wilayah Propinsi Jambi ( Kabupaten Kerinci, Merangin, Bungo)


TNKS sebagaimana diketahui sebuah kawasan konservasi yang terletak di 4 Propinsi yaitu Jambi, Sumatera Barat, Bengkulu dan Sumatera Selatan, serta menyebar di 13 Kabupaten, dengan luas keseluruhan 1.389.549,87 ha, yang selama ini keberadaannya seakan-akan menjadi factor penghambat pembangunan di daerah oleh banyak orang, apalagi saat Otonomi Daerah sekarang ini, karena keberadaannya sebagai penyangga kehidupan yang menyumbang kontribusi ekonomi tidak langsung sangat besar kurang disadari.

Adapun asumsi penilaian rupiah yang akan diperoleh Hutan adat Hiang dari luas ± 858,95 , dan 1 ha hutan primer akan menghasilkan 147 ton carbon, dengan harga $USD 9, dengan kurs dolar USD adalah Rp.9000 melalui perdagangan carbon mencapai 11 milyar rupiah/tahun.

Sedangkan TNKS wilayah Propinsi Jambi seluas ± 450.197 ha, dengan asumsi perhitungan yang sama Hutan adat Hiang serta asumsi kerusakan 8%, akan mendapat sumber PAD dengan komposisi sherring financial benefit bagi Kabupaten 60%, Propinsi (20%), dan devisa Pemerintah Pusat (20%) dari total nilai 2,5 triliun rupiah/tahun, dengan komposisi Kabupaten Kerinci 48%, Merangin 33% dan Bungo 19%

Tentunya untu meraih nilai tersebut, dibutuhkan komitmen Pemerintah Kabupaten/Propinsi dan DPRD untuk menjaga hutan dan melestarikan hutan, disamping dibutuhkan tenaga profesional yang memahami dan mengerti nilai konservasi dan nilai ekologi serta nilai ekonomi yang tentunya berada di linglungan Dinas kehutanan dan Bappeda di Kabupateh/kota dan Propinsi, untuk menyusun strategi dan perencanaan untuk meraih dana abadi tersebut.

Apabila terrealisasi, maka nilai ekonomi tersebut atau kompensasi itu semakin bermanfaat jika digunakan untuk kegiatan produksi seperti permodalan usaha bagi masyarakat setempat, tentunya dalam proses proses harus didukung dengan komitmen masyarakat dan pemerintah bersama DPRD Kabupaten/Kota dan Propinsi serta Pemerintah Pusat dalam menjaga dan melestarikan kawasan tersebut

Disamping memiliki nilai ekonomi langsung yang sangat tinggi, juga akan lebih penting nilai ekonomi tidak langsung semakin hari semakin besar, karena perdagangan karbon tersebut memberikan dampak lain dengan pemeliharaan hutan, maka akan banyak kawasan resapan air dan hutan menjadi lebat, pada gilirannya jelas akan mengurangi erosi, menahan banjir, serta bencana kebakaran hutan. Bahkan harapannya adalah mengurangi bencana asap yang sudah dirasakan beberapa tahun belakangan ini, dimana telah menimbulkan gangguan terhadap dunia pelayaran dunia penerbangan

Senin, 14 September 2009

ANDAIKAN DIDUNIA TIDAK MENGANUT SISTEM EKONOMI KAPITALIS

ANDAIKAN DIDUNIA TIDAK MENGANUT 
SISTEM EKONOMI KAPITALIS
(SDA tidak terkuras dan kedamaian dalam hidup akan bertahan lama)
(By Syamsul Bahri, SE Conservationis di Jambi, Dosen pada STIE SAK Kerinci)

Ekonomi kapitalis sebuah perjalanan sejarah yang cukup panjang di dunia ini, yang dimulai dari fase Pertama yang merupakan periode kolonialisasi, merupakan perkembangan kapitalisme di benua eropah, yang melakukan ekspansi untuk mendapatkan barang-barang mentah, yang merupakan bentuk penjajahan secara ekonomi dan fisik, serta sosial kemasyarakatan di daerah jajahan dan berakhir setelah negara jajahan memperjuangkan kemerdekaannya, atau diberikan kemerdekaannya. Fase kedua yang merupakan fase neokolonilsme, ketika penjajahan tidak lagi bersifat fisik secara langsung melainkan melalui penjajahan idiologi, fase kedua ini dikenal dengan era developmentalisme, dimana negara bekas penjajah masih mendominasi bekas negara jajahan, yaitu melalui kontrol terhadap ekonomi dan proses perubahan sosial negara bekas jajahan fisik, yang dirancang untuk perubahan sosial ekonomi negara-negara dunia ketiga, namun juga gagal untuk mewujudkan kesejahteranan, yang melibatkan negara-negara besar, secara awal intervensi negara besar untuk memberikan perlinduingan pada negara dunia ke 3, justru menimbulkan gejoal civil. pada fase ini justru eksploitasi sumber daya alam, dengan meninggalkan kearifan lokal dan memarjinalkan masyarakat, fase ini kebijakan ekonomi dunia dipengaruhi oleh agen-agen neokolonialsme berbentuk WTO, IMF, Bank Dunia yang merupakan aktor dan agen globalisasi, denga memberikan resep dan rekomendasi dikenal dengan Program Penyesuaian Struktural (Structural Adjusment Programme-SAP) kepada negara-negara dunia ketiga yang berintikan menciptakan ketergantungan duina ketiga berkaitan dengan utang dengan memenuhi persyaratan yang telah ditentukan melalui Program Penyesuaian Struktural (Structural Adjusment Programme-SAP) justru mempuruk dunia ketiga, akibatnya terjadi krosi ekonomi dunia tahun 1997, bahkan melibatkan agen rahasia untuk membuat sebuah scenerio intervensi militer yang secara hakiki merupakan intervensi ekonomi, sehingga beberapa pemimpin yang tidak kooperatif akan ditumbangkan dengan berbagi cara dan staretgi, agar mau dan bisa bekerja sama. 

Akaibat dari dua fase tersebut diatas, terkurasnya Sumber Daya Alam, karena di negara ke 3, keterbelakangan pendidikan, dan lemahnya sistim ekonomi yang mengakibatkan banyak utang, serta rusaknya ekologi, serta terjadinya krisis civil, kondisi ini juga berlaku bagi negara dunia ke yang memiliki kekayaan minyak dan gas bumi, sehingga jarak antara si miskin dan si kaya semekin lebar, bahkan startegi untuk mengusai SDA yang berada di Negera Dunia ketiga, tidak hanya melalui jaraingan ekonomi, bahkan sampai melalui jaringan pemutaran balik fakta melalui intelejen untuk mencipatakan tekanan baik ekonomi maupun politik, bahkan sampai pada peperangan, sehingga motif HAM Internasional dan Teroris Global hanya sebuah grand design untuk memainkan peran diplomatik dan mempengaruhi publik untuk kepentingan ekonomi.

Fase selanjutnya adalah pasar bebas
Apa yang dirasakan oleh dunia ke III dan dunia saat ini, krisis ekonomi, kelangkaan pangan dan kemiskinan serta gejolak Politik Civil dan Meliter merupakan sebuah hasil dari sistim ekonomi kapitalis dengan pola yang kuat menguasai yang lemah, yang kaya menguasai yang miskin, yang pintar menguasai yang tidak pintar, sehingga memunculkan dampak global yaitu perubahan pemanasan global (Global Climate Change) yang membawa pengaruh signifikan terjadap hidup dan kehidupan dunia, kemiskinan semakin melebar, baik miskin secara ekonomi, maupun miskin secara sosial.

Sebagaimana judul diatas, “Andaikan didunia tidak menganut sistem ekonomi kapitalis”, maka jarak antara yang kaya dengan miskin tidak akan terjadi, mungkin jarak yang kaya dengan yang belum kaya, Sumber daya alam tidak dilihat hanya sebagi faktor ekonomi, pendidikan akan berjalan sesuai dengan proses dan kemampuan negara, gejolak sosial dan peperangan bermotof ekonomi tidak terjadi

Ambruknya Wall Street dan krisis finansial yang mengguncang ekonomi dunia akibat krisis subprime mortgage di AS mengingatkan semua pendukung free market economy untuk berpikir ulang. Bahwa ekonomi pasar bebas yang tidak disertai transparansi, kejujuran, akuntabilitas, dan tanggung jawab akan berujung pada kebangkrutan. 

Tapi, bukan berati menyimpulkan bahwa kehancuran krisis ini adalah sinyal untuk kembali ke ekonomi terpusat, ekonomi komando, atau ekonomi dengan peran sangat dominan negara. Sejarah berbagai negara maju menunjukkan ekonomi pasar bebas mampu mengantarkan rakyatnya lebih cepat meraih kemakmuran dan kesejahteraan dibanding negara-negara yang terlalu mengandalkan peran negara dalam perekonomian.

Ambruknya perusahaan finansial di AS dihuni segerombolan orang yang hanya berusaha meraih keuntungan, meluas sampai pada dunia ke 3 dalam krisis finansial serius lebih disebabkan oleh kerakusan para pemodal pebisnis dan profesional di pasar finansial. apa pun caranya, termasuk rekayasa keuangan, demi menggapai gaji dan bonus besar. Kerakusan itu bertumbuh subur karena kevakuman hukum dan minimnya pengawasan

Teori ekonomi capitalis yang hampir hancur tersebut, hendaknya mengarah kepada perubahan yang berintikan, planet yang harus diselamatkan, kemiskinan yang harus dientaskan, keuntungan yang proforsional, yang lebih dikenal dengan 'Tiga P' yakni profit, people, dan planet. Operasional menerapkan dengan konsisten good corporate governance, yakni fairness, transparancy, accountability, dan responsibility. Untuk lingkungan masyarakat dan alam, perusahaan wajib menjalankan corporate social responsibility. bahkan lebih jauh untuk pemlihan pemipin baik negara, perusahaan, maupun daerah, eksekutif maupun legeslatif lebih difokuskan kepada pemimpin yang memenuhi kriteria Emotional & Spiritual Intelligence, yang menggabungkan 3 inti penting dalam menjalankan hidup dan kehidupan, sehingga perusahaan/negara/masyarakat/daerah harus dijalankan oleh orang-orang yang memiliki spiritualitas, emosional dan intelligence, tidak hanya kemampuan secara akademis, agamais, namun memiliki kemampuan EQ,SQ, IQ yang tercermin dalam tindakan jujur, tanggung jawab, visioner, disiplin, kerjasama, adil, dan peduli.

STIMULUS EKONOMI YANG BELUM MULUS

STIMULUS EKONOMI YANG BELUM MULUS
By Syamsul Bahri, SE (Pengamat Lingkungan di Jambi/Conservationis di TN Bukit 12, Dosen STIE SAK Kerinci)
 

Krisis ekonomi global yang melanda seluruh dunia, termasuk Negara Indonesia, direpotkan untuk mempertahankan kekuatan ekonomi, meminimalkan dampak krisis, telah memukul sejumlah negara berkembang. Krisis membuat aliran modal keluar, menurunkan bantuan, dan menghambat ekspor. Tahun ini diperkirakan 400.000 bayi akan meninggal sebagai dampak tak langsung dari krisis ekonomi, di luar kematian rutin (Presiden Bank Dunia Robert Zoellick di Brussels, Belgia, Sabtu (21/3)

Untuk mengatasi krisis, hampir semua negara sudah dan akan mencanangkan stimulus atau peningkatan anggaran pemerintah untuk menggenjot permintaan. Juga sudah dibahas rencana penyelamatan perbankan yang didera kredit macet dan enggan menyalurkan kredit.

Begitu juga dengan negara Indonesia, yang sudah direncanakan stimulus ekonomi pada bulan Maret 2009, namun sampai saat ini Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) belum turun sehingga proyek-proyek yang dibiayai dengan anggaran stimulus juga belum bisa dikerjakan, pada hal kondisi triwulan I sudah hampir habis.

Kondisi ini memang dirasakan sangat terlambat, karena baik menteri, Gubernur, bupati/wali kota, kayaknya tidak fokus untuk mensukseskan stimulus tersebut, mereka lebih disibukan dengan perjuangan Partai dalam menyukseskan Partai dan caleg dalam memenuhi BPP baik di Propinsi, Pusat, Kabupaten dan Kota, hal itu cukup beralasan, karena apa yang diraih hari ini sudah hampir berakhir, dan yang harus di kejar adalah kekuasaan pasca Pemilu Tahun 2009, terutama untuk dapat mengusung Capres dan Wacapres.

Walaupun secara pondamental kekuatan ekonomi Indonesia merupakan yang cukup kuat di Asia Tenggara, yang didukung pasar domestik. Di sini peran dari konsumsi rumah tangga menjadi krusial, yaitu proporsi konsumsi rumah tangga terhadap produk domestik bruto sekitar 65 persen. Jika konsumsi rumah tangga dapat tumbuh 5 persen, pertumbuhan ekonomi dari konsumsi rumah tangga sudah 3,25 persen, disamping mungkin pengaruh konsumsi Pesta Demokrasi

Stimulus disadari merupakan penanggulangan jangka pendek, namun diharapkan akan memberikan pengaruh yang positif jangka panjang terutama dalam mendukung ekonomi berbasis pertanian secara intensif, untuk memperkuat pondamental ekonomi yang terbukti meberi andil yang cukup besar mempertahankan kekuatan ekonomi dalam berbagai krisis ekonomi

Karena krisis ekonomi global, tidak hanya dipengaruhi oleh financial (fiskal dan moneter), tetapi juga dipengarhi oleh perubahan iklim globbal, dimana bancana alam, yang menimbulkan berbagai kerusakan potensi ekonomi terutama ekonomi berbasis pertanian, dengan tidak mengabaikan sektor lain seperti perindustrian, yang membawa pengaruh terhadap berbagai aspek. 

Sehingga stimulus tersebut dapat memahami kondisi yang menjadi persoalan pokok dalam perekonomian Indonesia, tentunya stimulus akan memberikan dampak peningkatan daya beli masyarakat.
Pemilihan prioritas stimulus dan pembiayaannya jadi penting. Inilah yang akan membuat stimulus menjadi efektif, dihartapkan kebijakan pemanfaatan Dana Stimulus diarahkan bagi sektor pertanian darat maupun laut dan faktor pendukung kegiatan Pertanian adalah kerusakan hutan dll, khususnya bagi pertanian sekaligus mengurangi ketergantungan pada produk pertanian asing dan menambah dorongan pro produksi dalam negeri serta, hal ini mengutip statemen Duta Besar PBB untuk Millenium Development Goals (MDGs) Asia Pasifik, Erna Witoelar menyatakan perusakan lingkungan menyebabkan masyarakat semakin miskin karena rusaknya sumber daya potensial. "Angka kemiskinan akan terus naik seiring dengan kerusakan lingkungan," Berdasarkan hasil evaluasi program MDGs di Asia Pasifik, tahun 2006 Indonesia dinilai mengalami penurunan pencapaian target MDGs. "Penurunannya sangat parah," kata dia dalam diskusi "Pemenuhan dan Pemulihan Keadilan Ekologis,". Penyebab utamanya adalah bencana alam akibat kerusakan ekologis dan konflik politik. Mundurnya pencapaian pembangunan itu, kata dia, menyebabkan masyarakat semakin miskin, akses pada sarana pendidikan dan kesehatan minim dan lingkungan yang semakin rusak. 

Memang kenyataan ini, belum banyak dilirik dalam mengentaskan kemiskinan di Indonesia, sehingga beberapa kajian Indikator dan penyebab kemiskinan serta upaya pengentasan kemiskian secara lintas sektoral di Indonesia aspek ekologis sangat minim diperhatikan terutama mengurangi kerusakan ekologis seperti deforestrasi, sehingga kerusakan ekologis sebagai suatu penyebab kemisikinan terbesar baik di desa maupun di kota secara bertahap dan kontinyu serta pasti

Karena pelaksanaan stimulus tanpa mengatasi akar masalah, tentunya tidak akan menyelesaikan masalah atau meminimalkan dampak, tentunya melakukan sesuatu tanpa memberi efek yang pas

POLEMIK KAWASAN KONSERVASI DI INDONESIA ERA OTONOMI DAERAH

POLEMIK KAWASAN KONSERVASI DI INDONESIA ERA OTONOMI DAERAH
(Kompensasi dan kompensasi)
By Syamsul Bahri, SE Pengamatan Lingkungan dan Ekonomi
(bahritnks@telkom.net) 

Taman Nasional sebagaimana di amanatkan oleh UU No. 5 tahun 1990, tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, pasal 1 (14) adalah adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Sedangkan kawasan pelestarian Alam (KPA) pasal 1 (13) adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun di perairan yang mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, menurut pasal 6 adalah Sistem penyangga kehidupan merupakan satu proses alami dari berbagai unsur hayati dan nonhayati yang menjamin kelangsungan kehidupan makhluk, dan pasal 7 adalah Perlindungan sistem penyangga kehidupan ditujukan bagi terpeliharanya proses ekologis yang menunjang kelangsungan kehidupan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia, 
Dari pemahaman pasal-pasal tersebut, makan dapat diuraikan jelas bahwa taman nasional sbb 
1. pasal 1 (14) yang dikelola melalui sistim zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dimana setiap zonasi memiliki ketentuan-ketentuan, salah satu zonanya adalah zona pemanfaatan yang akan memberikan akses masyarakat untuk dapat memanfaatkan potensi non timber secara lestari dan bertanggung jawab, sedsuai Sehingga pemanfaatan sebagaimana pasal 26 bahwa pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dilakukan melalui kegiatan: pemanfaatan kondisi lingkungan kawasan pelestarian alam; pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar, pasal 27 Pemanfaatan kondisi lingkungan kawasan pelestarian alam dilakukan dengan tetap menjaga kelestarian fungsi kawasan. dalam rangka meningkatkan pendapatan masyarakat, sehingga apa yang banyak dikatakan oleh banyak tokoh bahwa taman nasional itu seranting pohon tidak boleh diambil, seekor nyamuk tidak boleh dibunuh, sudah terjawab, namun bagaimana memanfaatkan potensi itu berdasarkan azas pelestarian, dalam bentuk Pemanfaatan jasa lingkungan dan wisata alam, serta zona yang memungkinkan untuk dimanfaatkan secara sangat terbatas seperti zona rimba.
2. Pasal 1 (13) mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, fungsi utama adalah menyangga kehidupan, sehingga peran dan fungsi Taman Nasional melindungi dan menyangga kehidupan mahluk hidup termasuk manusia, yang berada disekitarnya dan didalam kawasan, betepa pentingnya makna penyangga kehidupan
3. Pasal 6 sistim penyangga kehidupan yang menjamin kelangsungan mahluk hidup, termasuk manusia
4. Pasal 7 sistim penyangga ditujukan untuk terpeliharanya proses kehidupan/ekologis untuk kesejahteraan masyarakat.
Dalam penentuan sebuah taman nasional dilihat dari indikator memiliki ekosistem asli, dan melindungi kawasan yang berada di bawah dan atau sekitarnya, tanpa melihat aspek administratif, melainkan berorientasi pada ekolgis, atau bioregional, mungkin terdapat dalam lebih satu kabupaten, lebih satu propinsi, lintas negara.

Pemahaman ini nampaknya menjadi dilematis dalam era Otonomi daerah, yang menganggap bahwa SDA dilihat dari aspek willayah administratif dan nilai ekonomi langsung jangka pendek yang menjadi sumber PAD dalam mendukung pembangunan, padahal prinsip ini akan sangat merugikan pengelolaan kawasan konservasi, yang mengalami tekanan dari berbagai orientasi pembangunan yang menurus pada eksploitatif dan perubahan bentang alam, dimana kawasan konservasi menjadi penyangga ekonomi dan penyangga kehidupan bagi masyarakat sekitarnya dan yang berada dihilirnya

Dilematis ini terus dan terus berkembang dan tekanan kawasan konservasi sebagai penyangga kehidupan semakin berat dan fakta mengatakan bahwa banyak tempat dan banyak daerah serta negara telah merasakan akibat pembangunan yang tidak dan atau kurang memperhatikan lingkungan, dan mereka mulai teriak dan meminta kepada pemimpin untuk kembali memperhatikan RTRW yang berdimensi mencegah bencana dan mendukung ekonomi jangka panjang.

Memang disadari rezim yang memerintah pada suatu Kabupaten/Propinsi berusaha untuk meningkatkan pendapatan yang terakumulasi dalam PAD, melalui berbagai eksploitatif kawasan hutan (peruntukannya adalah fungsi lindung/konservasi dll) di konversi menjadi baik untuk perkebunan sawit, pertambangan, Pemanfaatan Kayu dll, namun hendaknya juga memikirikan dampak yang akan diterima oleh penguasa selanjutnya dan generasi yang akan datang, jangan sampai pemimpin dan generasi yang akan datang harus menanggung beban, baik beban utang, opportunity cost, beban sosial, beban mental yang merupakan kemiskinan yang terskenerio untuk generasi yang akan datang.

Dilematis ini juga akan dapat dieleminir, melalui kempensasi yang diamanatkan oleh UU No. 41 tahun 1999, pasal 68 ayat 3 “Masyarakat di dalam dan di sekitar hutan berhak memperoleh kompensasi karena hilangnya akses dengan hutan sekitarnya sebagai lapangan kerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya akibat penetapan kawasan hutan, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku”., dan pasal 60 (1) “Masyarakat berkewajiban untuk ikut serta memelihara dan menjaga kawasan hutan dari gangguan dan perusakan”

Jelas bahwa mekanisme kompensasi yang telah ada mungkin melalui DAU, DAK, APBD Prop, PDRB Hijau, DNS, CDM, Carbon Trade dll, namun belum jelas dan belum difahami oleh masyarakat, sehingga mekanisme kompensasi perlu adanya penegasan dan ketentuan yang mengikat, baik kompensasi dari Negara, Propinsi, Lemgbaga Internasional, yang mengalokasikan dana pemberdayaan bagi masyarakat yang berada disekitar kawasan konservasi yang tidak bisa menikmati langsung nilai ekonomi hutan.

Banyak Kabupaten/LSM berteriak tentang mana kompensasi Taman Nasional, sebenarnya kompensasi tidak bisa diteriakan oleh Kabupaten/Propinsi yang memiliki kawasan konservasi, tetapi harus melalui proses kajian dan analis dalam penyusunan konsep yang menjadi sebuah Project proposal, ini harusnya menjadi pemikiran bagi pejabat untuk memikirkan kompensasinya. Kita juga harus menyadari bahwa masyarakat sekitar kawasan konservasi memiliki hak untuk hidup layak dan memiliki akses ekonomi ke pusat sumber perekonomian, tentunya tetap mengacu pada ketentuan yang berlaku

Disini jelas, dibutuhkan pemikiran yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat dengan tetap menjaga lingkungan, pejabat atau pemikir seperti ini sangat sulit muncul di era Otonomi daerah, karena hampir pejabat politik berorientasi pada financial benefit jangka pendek, sehinga masa yang akan datang dibutuhkan Pejabat yang arif dalam ekonomi, arif dalam lingkungan, berfikir global berorientasi lokal

Kenyataan banyak pejabat dan balon/calon pejabat justru perusakan lingkungan dalam kemasan apapun dijadikan komoditas kampanye, akhirnya setelah mereka menduduki jabatan tersebut dituntut oleh masyarakat, dan mereka sangat tahu bahwa apa yang mereka jual dalam kampanye politik, baik saa menjabat untuk mendapatkan simpati agar dipilih lagi, atau calon pejabat yang berusaha meraih simpati, jualan tersebut jelas bertentangan dengan UU dan Peraturan yang berlaku.  

MANAJEMEN KONSERVASI DAN OTONOMI DAERAH

BERKACA DICERMIN RETAK
 (MANAJEMEN KONSERVASI DAN OTONOMI DAERAH)
(by Syamsul Bahri, SE, Conservationis di Jambi, Dosen STIE-SAK, syamsul_12@yahoo.co.id)

Era otonomi daerah yang diimplementasikan sejak Januari 2001, secara fundamental akan menyusun ulang bentuk hubungan antara pemerintah pusat di Jakarta dan otoritas lokal dalam semua sektor, termasuk sektor kehutanan. Otoritas propinsi dan Kabupaten menjadi semakin menolak inisiatif-inisiatif gaya lama yang diatur dari pusat. Pada saat yang bersamaan, pemerintah pusat tetap bertanggung jawab atas kawasan yang di Konservasi. Dalam banyak kasus, hal ini menjadikan lumpuhnya manajemen kawasan Konservasi. Meskipun kepastian soal kekuasaan hukum di kawasan Konservasi antara pemerintah pusat dan otoritas tingkat daerah sudah jelas, namun kepentingan PAD membuat management konservasi menjadi tidak kuat, kecenderungan desentralisasi membuka pintu terhadap peningkatan partisipasi lokal dalam hal alokasi dan manajemen sumber-sumber daya alam dan peningkatan tanggung jawab pemerintah di tingkat lokal. Namun, jika tidak dilaksanakan dengan baik, desentralisasi juga menaruh risiko besar terjadinya percepatan kerusakan lingkungan. 

Keadaan kawasan konservasi yang terus memburuk dan cepatnya kerusakan hutan dataran rendah sampai dataran tinggi merupakan ancaman umum terhadap keanekaragaman hayati Sumatera yang nampak nyata. Sebenarnya para pemimpin politik dan eksekutif hendak bercermin dengan cermin yang benar, tidak bercermin di kaca retak, dengan kondisi yang sudah terjadi saat ini, dimana tempat di wilayah Indonesia bahkan dunia mengalami bencana, karena faktor lingkungan dan daya lenting lingkungan yang sudah tidak mampu lagi, kenyataannya, para pemimpin saat ini justru bercermin di kaca retak, bencana yang menimpa justru ingin diciptakan dengan membuat kebijaksanaan yang cenderung tidak berfihak pada lingkungan yang akan memperbesar bencana yang akan timbul dimasa yang akan datang, kebijakan yang sangat tidak berfihak pada lingkungan antara lain merencanakan pembangunan memotong kawasan konservasi, mengksploitasi kawasan tersebut menjadi lahan pertambangan, perkebunan, menjadikan lahan tersebut menjadi areal transmigrasi, jelas kawasan tersebut dilindungi oleh Undang-Undang, seakan-akan era otonomi membutakan kan mata dan menghalalkan cara hanya untuk memenuhi PAD jangka pendek selama rezin mereka berkuasa, dan bagimana pemimpin berikutnya menerima akibat baik akibat opportunity maupun bencana yang discenerio dimasa yang akan datang.
Sebelum membicarakan ancaman-ancaman pokok lainnya, penting untuk mempertimbangkan penyebab-penyebab utamanya: 
1. Kurangnya kemauan politik. Meskipun deklarasi-deklarasi di tingkat nasional telah mengarah pada penghentian pengrusakan hutan yang illegal/legal dan perdagangan satwa liar yang ilegal, hanya ada sedikit kemauan politik atau perhatian yang terorganisir baik untuk melakukan hal yang sama pada tingkat lokal. Bahkan cenderung Kemauan politik tingkat regional dalam bentuk deklarasi serta kesepakatan baik menghentikan Illegal loging, perburuan satwa, maupun deklarasi pelestarian kawasan konservasi cenderung merupakan lip servise dan sangat tidak ada kemauan untuk mengimplementasikan
2. Kemiskinan. Kemiskinan yang terstruktur akibat kebijakan yang tidak berfihak pada lingkungan masa yang akan datang lebih besar
3. Korupsi, kolusi dan nepotisme. Penyalahgunaan wewenang untuk mendapatkan keuntungan pribadi merupakan warisan yang telah merajalela dan banyak didokumentasikan sejak dulu. Keterlibatan berbagai pihak dalam pengrusakan sumber-sumber daya hutan. 
4. Penegakan hukum yang tidak berfungsi. Tiadanya penegakan hukum, khususnya dalam sektor kehutanan, telah umum diketahui, bahkan dalam pernyataan-pernyataan resmi oleh Menteri Kehutanan Indonesia. 
5. Dorongan kuat terhadap pembabatan dan perubahan fungsi hutan. Keuntungan dari industri minyak kelapa sawit dan kebangkrutan industri kertas dan bubur kertas, mendorong terjadinya pembabatan, pembakaran dan perubahan fungsi hutan dalam skala besar, proses pembalakan dan perubahan fungsi tersebut memberikan mata pencaharian bagi masyarakat lokal, yang meskipun tidak sah namun sangat dibutuhkan.
6. Dorongan terhadap upaya konservasi tidak memadai. Nilai dari layanan-layanan ekologis (misalnya pengendalian banjir, fungsi-fungsi aliran air, dan pemanfaatan hasil-hasil hutan yang diatur dengan baik) tidaklah dipahami dengan baik, sementara hukuman terhadap pembabatan hutan yang ilegal kurang memadai. 

Kondisi menyebabkan terparah karena terjadi
1. Penebangan Kayu Legal dan Ilegal Pemanfaatan hasil hutan baik kayu maupun non-kayu yang tidak sah dan ilegal terjadi merajalela di seluruh Sumatera, terkadang mendapat dukungan dari militer, polisi , serta industri-industri perkayuan, kertas dan bubur kertas. Harga kayu ilegal jauh lebih rendah dari kayu legal, sehingga operasi yang legal tidak mendapat keuntungan ekonomis. Situasi ini diperburuk oleh meningkatnya permintaan kayu dari Cina, sebagai akibat adanya larangan penebangan kayu di negara tersebut. Kayu ilegal dari Sumatera diselundupkan melalui Malaysia untuk memenuhi permintaan dari Cina, Amerika Utara, Eropa, dan Jepang. Industri kertas dan bubur kertas merupakan faktor utama ancaman yang terjadi akibat penebangan kayu..
2. Perkebunan Kelapa Sawit pemerintah daerah mempromosikan ekspansi dari perkebunan kelapa sawit. Beberapa Gubernur mengumumkan rencana untuk mengubah hutan menjadi kelapa sawit. Situasi ini mencerminkan besarnya rencana ekspansi kelapa sawit yang akan dilaksanakan di tempat lain, setidaknya di Propinsi Jambi, Riau dan di Sumatera utara. Pada saat yang bersamaan, kebakaran hutan banyak terjadi di seluruh Sumatera, khususnya di wilayah tengah dan selatan. Dengan meningkatnya harga minyak kelapa sawit, para pembangun perkebunan yang haus akan tanah di Sumatera dengan sengaja membakar hutan dengan skala wilayah yang luas. 
3. Perdagangan Satwa dan Perburuan Liar Perdagangan satwa dan perburuan liar terjadi merajalela di Sumatera. Insentif keuangan untuk perburuan gelap sangat tinggi, sementara kesadaran dan penegakan hukum atas peraturan perdagangan satwa liar masih rendah..
4. Rencana dan Pembangunan Jalan Jalan merupakan rute dimana para penduduk dan truk-truk penebangan ilegal mendapat akses ke kawasan hutan yang dahulu terpencil, beserta semua spesies yang hidup di dalamnya. Jalan-jalan untuk penebangan hutan ini seringkali menjadi rute transportasi resmi yang diadopsi oleh pemerintah lokal. Di sebagian besar wilayah Sumatera, pembangunan jalan untuk penebangan ini menandai tahap pertama hilangnya hutan secara keseluruhan. Pemerintah lokal nampaknya cenderung untuk mengakomodasi konstruksi jalan sebagai suatu bentuk mendapatkan penghasilan. Gambar dari satelit mencatat ratusan jalan-jalan untuk penebangan melintasi jauh sampai ke dalam hutan-hutan Konservasi dan taman-taman nasional. Propinsi Aceh mempunyai rencana untuk membangun sistem jalan masuk, mulai dari Banda Aceh selatan sampai ke batas Ekosistem Leuser. Baru-baru ini, sebuah rencana pembangunan di Taman Nasional Kerinci Seblat, meskipun ada peraturan yang melarangnya. Secara umum, pola pembangunan jalan menunjukkan bahwa fragmentasi hutan yang lebih besar akan terjadi dalam waktu dekat. 
5. Pertambangan Ledakan bisnis pertambangan dimulai pada tahun 90-an, telah menyebabkan pembangunan jalan di daerah yang dahulu terisolasi, pengrusakan hutan, banjir, dan polusi sungai, mengakibatkan kontaminasi di sistem sungai sekitar, hilangnya sumber-sumber daya air untuk penduduk desa sekitar, serta masih banyak kekuatiran lainnya.

Kondisi ini akan memperburuk mutu lingkungan, namun betapa besarnya managemen konservasi akan sangat sulit bisa mengatasi kondisi ini, apabila Pemerintah Kabupaten/Propinsi tetap bercermin di Kaca Rerak, tentunya akan menciptakan bahaya dan bencana lebih besar lagi dimasa yang akan datang.

Apalagi saat ini di beberapa daerah Kabupaten/kota dan propinsi di Sumatera akan melaksanakakan Pil”bup/Wako”kada dan Pil”gub”kada dalam rentan waktu 2010-2015, Isu PAD dan sumber PAD yang bersumber dari kawasan konservasi, serta Pembangunan jalan/infrastruktur dalam kawasan konservasi menjadi isu politik (Black Issue) yang cukup trend dalam materi kampanye dan sosialisasi para bakal calon baik Bupati/Wali kota maupun Gubernur, dengan hitungan ekonomi nilai kayu dan dampak jangka pendek terhadap infrastrukrtur yang dibangun, sebaiknya menghitung nilai ekonomi tersebut harus secara komprehensif, karena hutan konservasi memiliki nilai langsung sangat kecil dibandingkan nilai ekonomi tidak langsung, yang dikatakan nilai ekonomi total kawasan konservasi.
 
Pengabaikan nilai ekonomi total kawasan konservasi, memberikan nilai nyata yang terjadi bencana bahorok, gempa dan tsunami aceh dan jogya, Tasik Malaya, banjir Jakarta, lumpur panas Lapindo, banjir Riau, Jambi, Pulau, Sumatera Barat, kebakaran hutan hampir semua wilayah di Indonesia, kasus buyat, dan masih banyak lainnya. 
kondisi ini justru hendaknya menjadi cermin bagi pejabat bagaimana meminimlkan bencana tersebut, jangan bercermina di kaca retak, yang membuat kebijakan yang tidak berorientasi pada lingkungan, apakah bercermin di kaca retak ini akan dilanjutkan .............................?

Diharapkan dalam pembangunan ekonomi saat ini, adalah memadukan prinsip sinergitas antara kegiatan konservasi dengan pembangunan ekonomi (darusman dan widada 2004), adalah (1) Konservasi merupakan landasan pembangunan ekonomi berkelanjutan, tanpa ada ketersediaan dan jaminan SDAH, maka pembangunan ekonomi akan terhenti; (2)Pembangunan ekonomi merupakan landasan pembangunan konservasi konservasi berkelanjutan, tanpa ada manfaat ekonomi bagi masyarakat secara berkelanjutan, dipastikan pembangunan konservasi akan akan hancur, karena masyarakat tidak peduli; (3) Kegiatan pembangunan ekonomi dan pembangunan konservasi bertujuan untuk meningkatkan mutu kehidupan dan kesejahteraan masyarakat; (4) dengan pengetahuan dan pemahaman konservasi, maka manusia lebih mampu dan memahami kompleksitas tentang ekologi dan ekosistem sehingga menyadari, bahwa SDA perlu dikelola secara hati-hati dan, agar tetap lestari meskipipu SDA itu dimanfaatkan secara terus menerus; (5) Dengan pengetahuan ekonomi, manusia akan lebih arif menentukan pilihan aktivitas ekonomi yang paling rasional dalam mengunakan SDA untuk memenuhi kebutuhan hidup dan meningkatkan kesejahteraan secara berkesinambungan

Dan perlu mernjadi catatan bahwa Kebutuhan adanya konservasi keanekaragaman hayati di Sumatera merupakan salah satu hal yang paling mendesak di planet ini, dalam meminimalkan bencana. 
 

DEMOKRASI BERDIMENSI KOSMOKRASI

DEMOKRASI BERDIMENSI KOSMOKRASI
 (Manusia dan lingkungan sebagai sebuah kesatuan yang saling ketergantungan)
By Syamsul Bahri, SE (Conservationis di TNBD/Pengamat/Dosen pada STIE SAK)
syamsul_12@yahoo.co.id
Suasana perpolitikan di Indonesia pasca pemilu legislatif sebagai sebuah konsekuensi untuk menduduki kursi legislatif dan mengusung calon presiden dan calon wakil presiden, dengan syarat-syarat yang telah ditentukan, sehingga beberapa partai berdasarkan data sementara belum memiliki peluang untuk mengusung pasangan calon Presiden, berusaha untuk mengadakan lobby politik, terutama partai yang pernah berjaya dan besar di Negara Indonesia.
Beberapa pimpinan partai politik dan tokoh-tokoh politik memunculkan beberapa bentuk koalisi, baik untuk keperluan pasangan presiden maupun parlemen, melakukan lobby dan pembentukan blok-blok. Yang terlihat dari luar, kelihatannya semuanya berorientasi pada kekuasaan dengan mengatasnamakan kepentingan rakyat, dengan tanpa melihat platform yang selama ini menjadi pemisah antara nasionalis dan agamais. Ini sebuah indikasi bahwa bahwa demokrasi politik di Indonesia berorientasi pada “anthroposentris”, memiliki kecenderung pada kekuasaan mengatasnamakan rakyat, dengan dukungan dari rakyat. Walaupun atas nama rakyat, sesuai pengertian demokrasi, namun dari banyak pengalaman yang telah ada, selama ini rakyat hanya diatasnamakan, dan fakta yang terjadi adalah bahwa kemiskinan dan rakyat miskin semakin susah dientaskan, semakin lapar, semakin muncul bermacam penyakit di masyarakat, semakin banyak musibah dan bencana alam, semakin jauh jarak kaya dan miskin, semakin banyak orang kaya baru, semakin terkurasnya sumberdaya alam yang menjadi ancaman kemiskinan yang berkepanjangan, semakin banyak kekayaan dijadikan dasar kekuasaan baik kekuasaan dalam demokrasi ekonomi maupun demokrasi politik, semakin langkanya idealisme, semakin marjinalnya ketokohan, dan semakin kuasanya uang.
Pernyataan tersebut bukan tanpa dasar, bahwa kekuasaan berdasarkan uang dan penguasaan sepertinya semakin menjadi trend dalam Pemilu tahun 2009 ini, yang selanjutnta memunculkan dinasti politik, ‘politik menyusu’, politik koncoisme bahkan beberapa tokoh yang mengaku reformis banyak menempatkan keluarga, mantan pejabat, isteri, anak dan lain-lain sebagai sebagai calon wakil rakyat yang akan duduk di parlemen, tentunya dengan dukungan finansial dan ketokohan sang tokoh dan penguasaan dalam partai politik tertentu, yang merupalam indikasi dan ancaman “plutokrasi”, yang mengembangkan demokrasi liberal (demokrasi pasar), demokrasi yang tidak “affirmative action”, memperkecil peran “civil sociaty organization”.
Demokrasi yang berdimensi manusia “anthroposentris” hanya melihat dari aspek manusia sebagai centralistic; padahal demokrasi adalah suara rakyat dan rakyat adalah menjadi bagian dari lingkungan sebagai tempat hidup yang tidak dapat dipisahkan sebagai sumber ekonomi yang berdimensi uang dan non uang yang tak ternilai. Dalam kaitannya dengan alam yang kita pijak ini, demokrasi yang semacam itu hanya melihat sumberdaya alam dari nilai uang dan keuntungan semata-mata. Dan fakta mengatakan bahwa demokrasi di Indonesia selama ini masih sangat sedikit yang berfikir bahwa rakyat dan lingkungan alam menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan dengan berbagi manfaat yang didapat dari alam
Sedangkan demokrasi yang berdimensi kosmokrasi merupakan sebuah pemahaman demokrasi yang lebih ‘mendalam’, seperti yang telah dikemukan oleh John Keane pada saat Konferensi untuk Perubahan Iklim (UNFCCC) 2007 di Bali, yaitu demokrasi yang melebihi isu demokrasi yang selama ini dipahami oleh masyarakat terutama oleh banyak politikus. Demokrasi yang berdimensi demikian berusaha mengakomodasi aspek rakyat dan aspek ekologi menjadi bagian yang tak terpisahkan.
Pimpinan politik yang mengaku sebagai penganut demokrasi dengan dimensi kosmokrasi akan melahirkan pemimpin politik yang tidak sekedar berlegitimasi demokrasi alias optimal didukung publik, tetapi juga berlegitimasi kosmos yang didukung dan direstui oleh rakyat dan alam. Dan tentunya perlakuan terhadap alam menjadi bagian dari visi dan misi dalam usaha untuk pelestarian, penyelamatan dan pemanfaatan berkesinambungan yang empatik dan rasional.
Hal tersebut dikarenakan demokrasi kosmokrasi akan memunculkan kesadaran akan arti penting lingkungan hidup dan eksistensi makhluk selain manusia baik secara mikro maupun makro. Ini tentunya dibutuhkan juga aksi-aksi nyata dalam rangka mencegah kerusakan-kerusakan (alam) yang fatal. Kita bisa melihat bahwa isu perubahan iklim sudah merupakan isu aktual yang menjadi perhatian internasional, tidak sekedar banjir di Jakarta, kekeringan di sejumlah daerah sehingga gagal panen. 
Mungkinkah muncul politisi dalam demokrasi berdimensi kosmokrafi di Indonesia? Politisi dan kekuasaan yang pro-lingkungan hidup? Kita harus yakin, harus ada! Namun, kalau kita lihat perkembangan pasca pemilu legislatif, sangat sedikit politisi yang menuju kekuasaan yang menganut demokrasi berdimensi kosmokrasi. Ini ironis sekali, fakta menyatakan bahwa Indonesia adalah sebagai sebuah negara yang mengalami laju deforestasi sangat besar, kebakaran hutan dimana-mana, dan sebuah negara yang rawan bencana lingkungan, serta begitu banyak kasus kemiskinan dan kelaparan yang belum menemukan solusi yang tepat
Di sinilah kosmokrasi pro rakyat dan pro lingkungan dibutuhkan di Indensia untuk mengentaskan berbagai masalah ekonomi, kemiskinan, kelaparan, pendidikan, ketersedian pangan, mengatasi bencana alam, mengembalikan demokrasi pangan dan lain sebagainya. Jadi yang saat ini kita butuhkan adalah bukan hanya melihat kekuasaan yang memiliki kecenderungan sebagai sebuah koalisi yang survival dan tidak permanent, bukan hanya dengan melihat koalisi yang terbentuk secara platform, ideologi, dan sejarah partai. Juga bukan koalisi yang didasarkan karena kekuasaan dan ingin menguasai, yang berorientasi pada kekuasan sang manusia yang digambarkan dalam ketokohan yang ditokohkan. Namun sejauh pengamatan penulis, saat ini kita belum menemukan politisi yang sepenuhnya berorientasi kosmos (baca: manusia dan lingkungannya).
Demokrasi secara hakiki bukan hanya urusan bersifat kalkulatori tentang angka dan penghitung suara, serta kekuasaan. Demokrasi adalah sarana emansipasi kemanusiaan (baca: manusia dan lingkungan) untuk lepas dari jerat kesewenangan penguasa.

Dan dengan pengamatan baik dalam pelaksanaan pra pileg dan hasil pileg maupun dalam debat Capres dan wapres, rakyat dan lingkungan sangat kurang diperahtikan, pada hal demokrasi itu adalah suatu proses untuk mewjudkan kesejahteraan manusia secara hakiki yang dipengaruhi oleh faktor ekonomi dengan pemahaman faktor ekologi sebagai dasar persyaratan untuk perwujudan kesejahteraan yang berkesinambungan.
Apa yang diuraikan di atas, sesuai statemen Duta Besar PBB untuk Millenium Development Goals (MDGs) Asia Pasifik, Erna Witoelar menyatakan perusakan lingkungan menyebabkan masyarakat semakin miskin karena rusaknya sumber daya potensial. “Angka kemiskinan akan terus naik seiring dengan kerusakan lingkungan,” Berdasarkan hasil evaluasi program MDGs di Asia Pasifik, tahun 2006 Indonesia dinilai mengalami penurunan pencapaian target MDGs. “Penurunannya sangat parah,” kata dia dalam diskusi “Pemenuhan dan Pemulihan Keadilan Ekologis,”. Penyebab utamanya adalah bencana alam akibat kerusakan ekologis dan konflik politik. Mundurnya pencapaian pembangunan itu, kata dia, menyebabkan masyarakat semakin miskin, akses pada sarana pendidikan dan kesehatan minim dan lingkungan yang semakin rusak, sehingga saat ini demokrasi berdimensi kosmokrasi menjadi sesuatu yang sangat diharapkan.

AIR HUJAN BERKAH ATAU AIR MATA ?

AIR HUJAN BERKAH ATAU AIR MATA ?
By Syamsul Bahri, SE
(pengamat lingkungan)

Dengan banyaknya peristiwa bencana alam di Indonesia pada bulan Desember 2005 sampai Juni 2006, terutama di Pulau Jawa dan beberapa pulau lainnya, dan munculnya tuntutan dari kelompok masyarakat yang berada disekitar hutan tentang pembagian manfaat hutan bagi masyarakat yang melindungi hutan dengan masyarakat yang memanfaatkan hutan secara langsung dalam bentuk kayu dan hasil hutan ikutan lainnya dan LSM tentang peninjauan kembali Tata Ruang yang ada, dengan melihat bahwa tata ruang yang sudah ada justru membawa bencana, ini manandakan bahwa hutan sebagai penyangga kehidupan sudah berkurang fungsinya, karena lebih dilihat sebagai sumber ekonomi dalam bentuk kayu dan hasil hutan ikutan.

Dulunya hutan sebagai pengatur tata guna air dan tata guna tanah yang keluar dalam bentuk air hujan yang membawa berkah untuk kehidupan, tetapi hutan saat ini justru menjadi sumber air mata yang membawa kesengsaraan dalam bentuk bencana alam, menimbulkan kerugian harta dan nyawa, serta kesengsaraan yang berkepanjangan.

Dari judul diatas, memang kalau kita lihat judul itu sangat tidak memilki korelasi, antara air hujan dan air mata, tetapi kondisi ini menjadi kenyataan, bahwa hampir semua daerah dengan kondisi hutan dan tata ruang menjadi permasalahan baik dimusim kemarau maupun dimusim hujan, sehingga saat ini Air Hujan menjadi Air mata, merupakan suatu bukti bahwa penyerobotan hutan sepakat tidak sepakat merupakan factor utama air hujan menjadi air mata.

Banjir dan bencana hendaknya menjadi cermin dan evaluasi bagi semua pihak bahwa saat in kemampuan hutan yang ada sudah tidak sanggup lagi untuk mendukung kehidupan, sehingga kemampuan tersebut harus diperkuat melalui kebijakan mempertahankan hutan yang masih ada dengan menghentikan semua kegiatan yang dapat merusak kelestariannya dan mengembalikan fungsi hutan tersebut melalui kegiatan GERHAN yang pelibatan masyarakat seutuhnya dapat lebih diperbesar, sehingga akan menimbulkan bahwa masyarakat memiliki tanggung jawab terhadap pelestarian hutan, tidak hanya terkesan masyarakat hanya sebagai buruh dan penonton, pelibatan tersebut mulai dari tahapan perencanaan, implementasi yang berorientasi pada peningkatan ekonomi masyarakat dan mengembalikan fungsi hutan

Kenyataan yang terjadi upaya pencegahan banjir di beberapa daerah, tidak bisa hanya melalui program kali bersih, pembuatan tanggul, pengerokan sungai, secara tekhnik konservasi sipil, dengan daya tahan dan kemampuan yang terbatas, dan akhirnya tidak mampu menahan debit air yang membawa erosi, namun yang lebih utama adalah penanagan penanaman hutan yang ada dihulu dan disekitar Sungai.

Memang harus disadari bahwa penaganan banjir dan bencana alam tidak bisa dilakukan secara administrative pemerintahan yang menonjolkan ego otonomi daerah, namun harus ditangani secara Bioregional management planning dalam kontek Daerah Aliran Sungai, sehingga memerlukan koordinasi dan implementasi yang lebih intensif, baik menyangkut masyarakat tentunya pemberdayaan ekonomi masyarakat, maupun menyangkut tekhnik pelaksanaan, yang saat ini banyaknya tuntutan masyarakat dan LSM terhadap pengelolaan hutan di Indonesia, memerlukan pengkajian yang lebih berpihak kepada masyarakat.

Tuntutan masyarakat dan Pemerintah Kabupaten antara lain dari masyarakat dan Pemerintah Kabupaten yang memiliki kawasan Konservasi lebih dari 30% yang berfungsi sebagai penyangga kehidupan terhadap pemberdayaan ekonomi masyarakat dan PAD, dalam bentuk sharing benefit (financial dan manfaat) dan perlakuan khusus oleh Pemerintah Propinsi dan Pusat serta lembaga Internasional merupakan suatu tuntutan yang wajar sebagai sebuah Kabupaten Otonom dalam rangka meningkat PAD dan Peningakatan Penerimaan DAU sebagai sumber pembiayaan pembangunan merupakan suatu hal yang wajar, karena Kabupaten tersebut secara financial tidak mendapatkan PAD dari kawasan yang dijaga dan dipertahankan.

Sesuai dengan tulisan Dr Aulia Tasman, SE. M.Sc di Jambi Independent tanggal 17 November 2003 yang berjudul “Akankah peristiwa Bahorok melanda Jambi” pertanyaan beliau menurut hemat kami peristiwa bahorok dan peristiwa lainnya bisa diminimalkan melanda Propinsi Jambi apabila kebijakan pembangunan tetap konsekwen mempertahankan dan melestarikan kawasan Lindung dan kawasan Konservasi antara lain TNKS (karena hulu dari Sungai-Sungai yang mengalir ke Wilayah Jambi yang bermuara ke Selat Berhala ) dan TNBT, TN Bukit 12 secara komprhensif mulai dari tatatan pemerintah sampai ke masyarakat adat, serta menjalankan seutuhya peraturan bidang Kehutanan dan Perkebunaan serta lingkungan hidup secara benar dalam kebijakan dan benar dalam implementasi, bukan pembenaran dalam pelaksanaan.

Bahwa air hujan merupakan berkah, tetapi saat ini air hujan justru menjadi momok bagi masyarakat, karena air hujan lebih cenderung membawa dampak munculnya Air mata,

Mari dengan melestarikan dan melindungi Kawasan Konservasi dan kawasan lindung, serta merahiblitasi kerusakannya melalui kebersamaan dalam langkah untuk pemberdayaan ekonomi masyarakat dan pemanfaatan jasa lingkungan dan wisata alam, air hujan akan menjadi berkah dan tidak menjadi air mata.