Senin, 14 September 2009

AIR HUJAN BERKAH ATAU AIR MATA ?

AIR HUJAN BERKAH ATAU AIR MATA ?
By Syamsul Bahri, SE
(pengamat lingkungan)

Dengan banyaknya peristiwa bencana alam di Indonesia pada bulan Desember 2005 sampai Juni 2006, terutama di Pulau Jawa dan beberapa pulau lainnya, dan munculnya tuntutan dari kelompok masyarakat yang berada disekitar hutan tentang pembagian manfaat hutan bagi masyarakat yang melindungi hutan dengan masyarakat yang memanfaatkan hutan secara langsung dalam bentuk kayu dan hasil hutan ikutan lainnya dan LSM tentang peninjauan kembali Tata Ruang yang ada, dengan melihat bahwa tata ruang yang sudah ada justru membawa bencana, ini manandakan bahwa hutan sebagai penyangga kehidupan sudah berkurang fungsinya, karena lebih dilihat sebagai sumber ekonomi dalam bentuk kayu dan hasil hutan ikutan.

Dulunya hutan sebagai pengatur tata guna air dan tata guna tanah yang keluar dalam bentuk air hujan yang membawa berkah untuk kehidupan, tetapi hutan saat ini justru menjadi sumber air mata yang membawa kesengsaraan dalam bentuk bencana alam, menimbulkan kerugian harta dan nyawa, serta kesengsaraan yang berkepanjangan.

Dari judul diatas, memang kalau kita lihat judul itu sangat tidak memilki korelasi, antara air hujan dan air mata, tetapi kondisi ini menjadi kenyataan, bahwa hampir semua daerah dengan kondisi hutan dan tata ruang menjadi permasalahan baik dimusim kemarau maupun dimusim hujan, sehingga saat ini Air Hujan menjadi Air mata, merupakan suatu bukti bahwa penyerobotan hutan sepakat tidak sepakat merupakan factor utama air hujan menjadi air mata.

Banjir dan bencana hendaknya menjadi cermin dan evaluasi bagi semua pihak bahwa saat in kemampuan hutan yang ada sudah tidak sanggup lagi untuk mendukung kehidupan, sehingga kemampuan tersebut harus diperkuat melalui kebijakan mempertahankan hutan yang masih ada dengan menghentikan semua kegiatan yang dapat merusak kelestariannya dan mengembalikan fungsi hutan tersebut melalui kegiatan GERHAN yang pelibatan masyarakat seutuhnya dapat lebih diperbesar, sehingga akan menimbulkan bahwa masyarakat memiliki tanggung jawab terhadap pelestarian hutan, tidak hanya terkesan masyarakat hanya sebagai buruh dan penonton, pelibatan tersebut mulai dari tahapan perencanaan, implementasi yang berorientasi pada peningkatan ekonomi masyarakat dan mengembalikan fungsi hutan

Kenyataan yang terjadi upaya pencegahan banjir di beberapa daerah, tidak bisa hanya melalui program kali bersih, pembuatan tanggul, pengerokan sungai, secara tekhnik konservasi sipil, dengan daya tahan dan kemampuan yang terbatas, dan akhirnya tidak mampu menahan debit air yang membawa erosi, namun yang lebih utama adalah penanagan penanaman hutan yang ada dihulu dan disekitar Sungai.

Memang harus disadari bahwa penaganan banjir dan bencana alam tidak bisa dilakukan secara administrative pemerintahan yang menonjolkan ego otonomi daerah, namun harus ditangani secara Bioregional management planning dalam kontek Daerah Aliran Sungai, sehingga memerlukan koordinasi dan implementasi yang lebih intensif, baik menyangkut masyarakat tentunya pemberdayaan ekonomi masyarakat, maupun menyangkut tekhnik pelaksanaan, yang saat ini banyaknya tuntutan masyarakat dan LSM terhadap pengelolaan hutan di Indonesia, memerlukan pengkajian yang lebih berpihak kepada masyarakat.

Tuntutan masyarakat dan Pemerintah Kabupaten antara lain dari masyarakat dan Pemerintah Kabupaten yang memiliki kawasan Konservasi lebih dari 30% yang berfungsi sebagai penyangga kehidupan terhadap pemberdayaan ekonomi masyarakat dan PAD, dalam bentuk sharing benefit (financial dan manfaat) dan perlakuan khusus oleh Pemerintah Propinsi dan Pusat serta lembaga Internasional merupakan suatu tuntutan yang wajar sebagai sebuah Kabupaten Otonom dalam rangka meningkat PAD dan Peningakatan Penerimaan DAU sebagai sumber pembiayaan pembangunan merupakan suatu hal yang wajar, karena Kabupaten tersebut secara financial tidak mendapatkan PAD dari kawasan yang dijaga dan dipertahankan.

Sesuai dengan tulisan Dr Aulia Tasman, SE. M.Sc di Jambi Independent tanggal 17 November 2003 yang berjudul “Akankah peristiwa Bahorok melanda Jambi” pertanyaan beliau menurut hemat kami peristiwa bahorok dan peristiwa lainnya bisa diminimalkan melanda Propinsi Jambi apabila kebijakan pembangunan tetap konsekwen mempertahankan dan melestarikan kawasan Lindung dan kawasan Konservasi antara lain TNKS (karena hulu dari Sungai-Sungai yang mengalir ke Wilayah Jambi yang bermuara ke Selat Berhala ) dan TNBT, TN Bukit 12 secara komprhensif mulai dari tatatan pemerintah sampai ke masyarakat adat, serta menjalankan seutuhya peraturan bidang Kehutanan dan Perkebunaan serta lingkungan hidup secara benar dalam kebijakan dan benar dalam implementasi, bukan pembenaran dalam pelaksanaan.

Bahwa air hujan merupakan berkah, tetapi saat ini air hujan justru menjadi momok bagi masyarakat, karena air hujan lebih cenderung membawa dampak munculnya Air mata,

Mari dengan melestarikan dan melindungi Kawasan Konservasi dan kawasan lindung, serta merahiblitasi kerusakannya melalui kebersamaan dalam langkah untuk pemberdayaan ekonomi masyarakat dan pemanfaatan jasa lingkungan dan wisata alam, air hujan akan menjadi berkah dan tidak menjadi air mata. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar