Rabu, 08 Desember 2010

DAS BATANGHARI DALAM TATANAN ECOBIOREGION MANAGEMENT (2)


DAS BATANGHARI
DALAM TATANAN ECOBIOREGION MANAGEMENT (2)

Oleh Syamsul Bahri, SE
(Pengamat, Conservationist di Jambi, Dosen STIE SAK)

Oleh banyak pengamat dan ekonom bahwa meanstream pembangunan dengan model pertumbuhan ekonomi terbukti telah gagal dalam upaya pengentasan kemiskinan dan mewujudkan perhatian terhadap pelestarian lingkungan hidup, bahkan telah terbukti menghasilkan pelanggaran terhadap hak azasi manusia dan peningkatan kemiskinan, penciptaan kelompok kaya dan kelompok miskin yang semekin jauh dan semakin jauh, kerusakan SDA yang membawa implikasi terhadap bencana alam, kerawanan pangan dll

Daerah Aliran Sungai (DAS) Batanghari menurut data dari BP DAS Batanghari hanya tersisa sebagai hutan sekiatr 173.300 hektar  dari total 5,1 juta hektar di sepanjang DAS Batanghari atau tinggal 3,5 persen. Sebanyak 4,9 juta hektar hutan dalam keadaan sangat kritis hingga potensial kritis (Kompas, Selasa, 23 November 2010), sungguh memprihatinkan, dan lahan seluas tersebut cenderung berada dalam kawasan konservasi antara lain TNKS, TNBD, TNBT, TNB, hal ini disebabkan berubuh fungsi hutan yang berada disekitar dan sepanjang Sungai Batanghari, hal ini terbukti semenjak euforia Otonomi Daerah yang diikuti desentralisasi pengelolaan sumberdaya alam, yang memiliki kecenderungan bahwa potensi sumberdaya hutan yang ada dalam wilayah administratifnya bebas dieksploitasi untuk kepentingan daerah  dan berusaha mengeksploitasi hutan dari aspek ekonomi jangka pendek terutama penggelembungan PAD, sehingga  munculnya pembukaan hutan untuk beralih fungsi menjadi lahan perkebunan, pertambangan, logging dan illegal logging yang mengabaikan aspek konservasi termasuk keinginan dan pembangunan jalan membelah Taman Nasional
Pemikiran implementasi euforia otonomi yang cenderung berorientasi pada ekonomi jangka pendek tersebut berakibat telah timbul dampak yang lebih luas seperti banjir besar-besaran setiap tahun, kebakaran hutan dalam skala besar, dan meningkatnya jumlah DAS kritis setiap tahun, yang berdampak pada tujuan Otonomi yang sesungguhnya menjadi bias, dalam arti tujuan kesejahteraan rakyat yang semu, karena cenderung kesejahteraan dengan ancaman bencana alam yang memiliki dimensi ancaman terhadap kesejahteraan yang semu, seperti kerawanan pangan, kerawanan energi listrik terutama yang bersumber dari PLTA, terganggunya transportasi darat dan sungai yang membawa implikasi pada ekonomi mikro dan makro.
Kondisi DAS Batanghari tersebut dalam frame ecobioregion management sebagai  aset ekonomi berkelanjutan, dan sebagai aset lingkungan dan ekologi memerlukan penanganan yang serius dalam kontek meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam wilayah DAS tersebut, melalui upaya terintegrasi multi sektor untuk merehablitasi DAS yang bergerak dalam frame ecobaioregion management, tentunya kajian komprehensif dalam tataruang berbasisi ekonomi dan ekosistem, apa lagi DAS Batang Hari diklasifikasi sebagai satu dari 22 DAS dengan kategori sangat kritis (super critical) yang merupakan DAS terbesar kedua di Sumatera dengan jumlah luas daerah tangkapan air (water catchment area) 4,9 juta hektar dan secara administratif meliputi propinsi Sumatera Barat dan Jambi.
Tentunya pendekatan muliti sektoral yang komprehensif berdasarkan batas ekologis yang terintegrasi dengan komunitas manusia, yang selama ini cenderung egosektoral dan spatial, tentunya harus di hindari, apalagi Upaya kearah ecobioregion management untuk DAS Batanghari yang terletak di Prop Jambi dan sebagaian di Prop Sumatera Barat, merupakan langkah yang seharusnya dilakukan oleh Pemerintah Prop Jambi, bahkan seluruh Pemerintahan di Pulau Sumartera sebagaimana yang telah menjadi ”Kesepakatan Gubernur se Sumatera dalam dokumen Kesepakatan bersama seluruh Gubernur Sumatera untuk penyelamatan ekosistem Pulau Sumatera”, di Jakarta pada tanggal 18 September 2008 dalam upaya penyelamatan dan pelestarian ekosistem Sumatera guna menyeimbangkan fungsi ekologis dengan pembangunan ekonomi masyarakat melalui antara lain Penataan tata ruang pulau sumatera berbasis ekosistem, restorasi kawasan krisis untuk perlindungan sistem kehidupan, melindungi kawasan yang memiliki nilai penting perlindungan sistem kehidupan, keanekaragaman hayati dan perubahan iklim, kesepakatan tersebut disaksikan oleh Menteri Dalam Negeri, Menteri Lingkungan Hidup, Menteri Pekerjaan Umum dan Menteri Kehutanan.
Kenayataannya, apa yang menjadi kesepakatan Gubenrnur se-Sumatera belum dilaksanakan secara utuh, hal ini dapat dilihat dari implementasi yang terjadi, banyaknya keinginan untuk merubahn fungsi hutan untuk kepentingan diluar ekologi dan lingkungan, walaupun kenyataannyanya bahwa perubahan fungsi hutan yang memliki kecenderungan berfungsi lindung, sedangkan dampak yang kitarasakan saat ini bencana banjir, longsor, kekeringan dan kebakaran hutan dan lahan dll sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan kehidupan masyarakat di sekitar DAS Batanghari, tentunya implikasi ekonomi dan kerawanan pangan sesuatu yang sangat sulit untuk hindari.
Oleh banyak pengamat dan ekonom bahwa meanstream pembangunan dengan model pertumbuhan ekonomi terbukti telah gagal dalam upaya pengentasan kemiskinan dan mewujudkan perhatian terhadap pelestarian lingkungan hidup, bahkan telah terbukti menghasilkan pelanggaran terhadap hak azasi manusia dan peningkatan kemiskinan, penciptaan kelompok kaya dan kelompok miskin yang semekin jauh dan semakin jauh, kerusakan SDA yang membawa implikasi terhadap bencana alam, kerawanan pangan dll.

Pola ekonomi melalui Pertumbuhan ekonomi adalah implementasi dan manifestasi dari teori ekonomi kapitalis moderen, yang berorientasi pada keterbelakangan dan ketertinggalan yang ada terutama pada dunia ke tiga dapat dikejar dengan strtegi tertentu (Strategi and time dimension), yaitu hight economic growth dan International Free  Trade, yang menjadikan sebuah neolebaralis econimic dalam bentuk economic global atau pasar bebas.  Yaitu masyarakat moderen sebagai simbol kemajuan yang didominasi oleh negara majuk dan masyarakat tradisional sebagai simbol ketebelakangan  terutama negara dunia ke tiga

Kamis, 02 Desember 2010

DAS BATANGHARI DALAM TATANAN ECOBIOREGION MANAGEMENT


DAS BATANGHARI
DALAM TATANAN ECOBIOREGION MANAGEMENT
Oleh Syamsul Bahri, SE
(Pengamat, Conservationist di Jambi, Dosen STIE SAK)

Daerah Aliran Sungai (DAS) Batanghari yang membentang dari ujung Propinsi Jambi bahkan wilayah Sumatera Barat bagian Solok Selatan, Solok dan Kota Madya Solok, Dharmasraya menuju selat Berhala sesungguhnya merupakan satu kesatuan ekosistem yang mendukung hidup dan kehidupan masyarakat yang berada disekitarnya baik yang dihulu, tengah maupun di muaranya, sehingga peran DAS ini sangat vital dalam mendukung pembangunan di Propinsi Jambi, bahkan dalam mendukung pengelolaan DAS berbasis ecobioregion saat ini sistim pengelolaan Taman Nasional di sekitar DAS ini terdapat 4 Taman Nasional yaitu untuk kawasan Hulu DAS Batanghari terdapat kawasan Konservasi Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS), dibagaian tengah terdapat Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD) dan Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT), dan hilir atau Muara terdapat Taman Nasional Berbak (TNB)

Kondisi DAS Batanghari dengan kondisi saat ini, yang banyak memunculkan lahan kritis, peramabahan, illegal logging, luasnya lahan monokultur, banjir, kebakaran hutan, pendangkalan sungai serta berbagai akibat dari kerusakan catchmen area dari DAS Batanghari, yang memunculkan bahwa kekeringan dan banjir serta dampak lingkungan lainnya menjadi bagian yang tak terpisahkan dari penurunan nilai penting dan nilai fungsi DAS Batanghari sebagai suatu kesatuan ecobioregion planning management, apalagi dikaitkan dengan pemanasan global yang membawa implikasi terjadinya perubahan keseimbangan alam terhadap perubahan permukaan air laut yang semakin naik, pergeseran iklim, dampak negatif secara langsung atau tidak langsung terhadap sub sektor pertanian, Sub sektor Kehutanan, Sub sektor Perternakan, Kesehatan, kalender musim yang susah diprediksi, dengan side efek negatif terhadap kemanusian dan sistem sumber daya alam terutama sumber air, pertanian, kehutanan, sistem ekologi, keanekaragaman hayati dan kesehatan.

DAS Batanghari sebagai ecobioregion management tidak dilihat sebagai aset ekonomi dan aset politik semata-mata, karena ecobioregion adalah batas darat dan perairan di mana batas tersebut ditentukan bukan oleh batas secara politik, melainkan harus dilihat dari batas geografis dari komunitas manusia dan sistim lingkungan, dan memang DAS sebagai satu kesatuan ecobioregion management yang memiliki keluasan yang luas ini harus cukup besar guna mempertahankan integritas komunitas biologi wilayah tersebut, habitat dan ekosistem; untuk menyokong proses-proses ekologi yang penting seperti siklus nutrien dan limbah, migrasi dan aliran arus;  untuk menjaga habitat dari spesies-species penting;  dan juga mencakup komunitas manusia yang terlibat di dalam pengelolaanm, penggunaan, dan memahami proses-proses biologi.

DAS Batanghari sebagai ecobioregion management yang terimplementasi dalam  pemanfaatan daratan dan perairan di mana masing-masing wilayah menyediakan habitat dari berbagai macam species hidup dan berkembang dengan baik, dan masing-masing memiliki keterkaitan dengan populasi manusia pada wilayah tersebut. Semua elemen-elemen dalam  mosaic tersebut berinterkasi secara aktif. Sebagai contoh pengelolaan terhadap daerah tangkapan air akan mempengaruhi habitat aliran sungai, perikanan dan terumbu karang. 

Prinsip pengelolaan DAS Batanghari dalam ecobioregion management, hendaknya melihat DAS dalam kontek DAS sebagai (1) aset ekosistem adalah sumberdaya alam yang ada didalamnya sebagai aset ekosistim yang tak dapat diperbarui (non-renewable resources) atau dalam batas tertentu secara potensial dapat diperbarui (potentially renewable resources); Jika pemanfaatannya melebihi tingkat kelestarian maka berakibat degradasi lingkungan; Nilai kemanfaatan sumberdaya alam yang ada di DAS perlu diarahkan untuk mendapatkan manfaat nilai ekonomi tidak lagi mengarah pada maksimalisai tetapi optimalisasi; (2) Pemanfaan sumberdaya alam versus pertumbugan ekonomi adalah Kenaikan PAD atau PDRB sebagai hasil dari pertumbuhan ekonomi akan memberikan konsekuensi pada peningkatan konsumsi energi, konsumsi air,  konsumsi lahan, ruang dan mobilitas; (3) Sumberdaya alam suatu aset yaitu pembangunan ekonomi hanya mengejar pertumbuan saja cenderung tidak mengindahkan kelestarian sumberdaya alam itu sendiri yang pada gilirannya akan memberikan akibat pada menurunnya mutu lingkungan hidup, mengoptimalisasi pemanfaatan berarti sumberdaya alam dalam DAS tidak hanya dilihat sebagai suatu aset produksi tetapi juga aset lingkungan, Interaksi antara aktivitas ekonomi dan sumberdaya alam dalam DAS sebagai bagian dari lingkungan; (4) pembangunan berkelanjutan adalah usaha dan upaya menghormati dan memelihara komunitas kehidupan, memperbaiki kualitas hidup manusia, melestarikan daya hidup dan biodiversity, optimalisasi pemanfaatan SDA yang tak terbarukan sesuai daya dukung, mengintegrasikan kerangka kerja untuk memadukan upaya pembangunan dan pelestarian, menciptakan kerjasama global sumber penyediaan bahan mentah; (5) aset sumberdaya alam yang berwawasan konservasi melalui pendekatan Pelestarian fungsi lingkungan hidup, keuntungan pengusaha atau perusahaan digeser pada keuntungan sosial, kelestarian produksi digeser pada kelestarian ekosistem; (6) aset dalam pembangunan pertanian berkelanjutan adalah eksplotasi sumberdaya alam  erat kaitannya dengan proses bio produksi membawa dampak yang cukup signifikan dalam  keberlangsungan kehidupan; pembangunan pertanian yang berkelanjutan (sustainable agriculture).

Tentunya dalam management ecobioregion ini, adalah integrasi pengelolaan baik fisik maupun non fisik hulu, tengah dan muara secara komprehensif yang mengarah pada keseteraan ekonomi, kesetaraan lingkungan, kesetaraan sumber pendapatan, yang lepas dalam upaya pembangunan ekonomi berkelanjutan dengan melihat DAS dalam ecobioregion management, dalam pengelolaannya kontek utama sebagai aset ekonomi dan aset lingkungan, untuk menghindari dan mengurangi faktor stress lingkungan dan upaya yang biasa dilakukan untuk memperbaikinya  dilakukan dengan adaptasi dan modifikasi manusia dalam mengatasi faktor stress.

Upaya kearah ecobioregion management untuk DAS Batanghari yang terletak di Prop Jambi dan sebagaian di Prop Sumatera Barat, merupakan langkah yang seharusnya dilakukan oleh Pemerintah Prop Jambi, bahkan seluruh Pemerintahan di Pulau Sumartera sebagaimana yang telah menjadi ”Kesepakatan Gubernur se Sumatera dalam dokumen Kesepakatan bersama seluruh Gubernur Sumatera untuk penyelamatan ekosistem Pulau Sumatera”, di Jakarta pada tanggal 18 September 2008 dalam upaya penyelamatan dan pelestarian ekosistem Sumatera guna menyeimbangkan fungsi ekologis dengan pembangunan ekonomi masyarakat melalui antara lain Penataan tata ruang pulau sumatera berbasis ekosistem, restorasi kawasan krisis untuk perlindungan sistem kehidupan, melindungi kawasan yang memiliki nilai penting perlindungan sistem kehidupan, keanekaragaman hayati dan perubahan iklim, kesepakatan tersebut disaksikan oleh Menteri Dalam Negeri, Menteri Lingkungan Hidup, Menteri Pekerjaan Umum dan Menteri Kehutanan.

Jumat, 26 November 2010

TAMAN NASIONAL BUKIT DUA BELAS (komitmen dalam pengelolaan)

TAMAN NASIONAL BUKIT DUA BELAS
(komitmen dalam pengelolaan)
Oleh syamsul Bahri, SE

Taman Nasional Bukit Duabelas, yang terletak cukup startegis  di antara 3 taman nasional yang ada di Propinsi Jambi, yaitu TN Kerinci Seblat, TN Berbak dan TN Bukit Tigapuluh, sebagai sebuah taman nasional perwakilan dataran rendah, dengan memiliki tujuan pengelolaan dwifungsi, yaitu fungsi konservasi dan fungsi ruang hidup suku anak dalam (SAD) atau orang rimba (OR).

Keberadaan Taman Nasional di Indonesia oleh beberapa pihak di era otonomi daerah dianggap sebegai faktor penghambat, hal itu juga dirasakan dalam pengelolaan TN Bukit Duabelas saat ini, dimana tekanan semakin kuat, dengan berbagai intrik untuk bisa melegalkan pemanfaatan kawasan untuk kebun/perkebunan, pertambangan, hasil kayu dll demi mengejar nilai-nilai ekonomi dan memperjuangkan nafsu kerakusan dan pemaksaaan dengan mengorbankan kepentingan yang lebih besar, baik lingkungan maupun ekonomi secara mikro dan makro.

Jika kita fahami sejerah proses pembentukan TN Bukit Duabelas ini, bahwa pembentukan dimulai dari Surat usulan Bupati Sarolangun Bangko No: 522/182/1984 tanggal 17 Februari 1984  tentang Usulan Kawasan Hutan BD menjadi hutan lindung dan Cagar Biosfire, yang  diteruskan melaui 
Surat Kepala Sub Balai Perlindungan dan Pelestarian Alam Jambi (sekarang SBKSDA Jambi) No: 163/V/813 PPA/1984 tanggal 15 Februari 1984 perihal yang sama, dan oleh Gubenrnur Jambi meneruskan usulan tersebut ke Manteri Kehutanan dengan No. 522.51/863/84 tgl 25 April 1984 agar Kawasan Bukit Duabelas seluas 28.707 ha diperuntukan sebagai Cagar biosfire yang oleh Menteri kehutanan kawasan tersebut di tetapkan sebagai kawasan Cagar Biosfire dengan SK Menhut No: 46/Kpts-II/1987 tgl
12 Februari 1987 seluas 29.485 ha, namun setelah dilakukan Penataan Batas tahun 1989, kawasan tersebut menjadi seluas 26.788 ha

Pada tahun 1997, LSM KKI Warsi  yang telah secara konkrit dan intensif melakukan pendampingan di wilayah tersebut melakukan kajian kehidupan dan penghidupan Orang Rimba (OR) di kawasan tersebut, merekomendasikan agar areal Kawasan PT Inhutani V dan PT Sumber Hutan Lestari yg terletak di sisi luar bagian utara Cagar Biosfire sebagai Kawasan hidup komunitas Orang Rimba, rekomendasi tersebut ditindak lanjut oleh Menteri Kegutanan dengan membentuk Tim Terpadu untuk melakukan kajian mikro di Kawasan Bukit Duabelas, dan  melahirkan rekomendasikan agar areal Kawasan di sisi utara yang berbatasan dengan Cagar Biosfire Bukit Duabelas dijadikan Kawasan lindung

Menyikapi rekomendasi dari Tim terpadu tersebut, oleh Gubernur Jambi dengan surat No525/0496/Perek, tanggal 20 Januari 2000, mengusulkan agar Menhutbun membatalkan Pencadangan Lahan PT Inhutani V dan PT Sumber Hutan Hutan Lestari seluas 38.500 ha, guna diperntukkan bagi Kawasan Cagar Biosfire menjadi 65.300 ha.

Menteri Kehutanan, bertitik tolak, bahwa kawasan ini harus dikelola secara intensif melalui unit organisasi yang syah, makamelalui
SK Menhutbun No : 258/Kpts-II/2000 tanggal 23/08/2000, kawasan tersebut ditunjuk dengan sistim pengelolaan Taman Nasional, yang bernama Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD) seluas 60.500 ha yg terletak di  (3) tiga Kabupaten yaitu Sarolangun (6.758 ha),  Batanghari (41.259 ha), dan Tebo (12.483 ha), dan pada tanggal 26 Januari 2001, Presiden RI mendeklarasikan Taman Nasional Bukit Duabelas di di Jambi

Dari data dan kronologis yang diuraikan diatas, bahwa penetapan TNBD melalui sejarah yang cukup panjang, berawal dari semakin maraknya kegiatan eksploitasi hutan untuk HPH, Perkebunan, pertambangan pada dekade tahun 1980-an, yang berdampak areal dan tempat hidup OR semakin hari semakin sempit, bahkan mungkin hilang, dan merupakan sebuah keputusan Politik (political will) yang memiliki pemahaman yang mendasar, untuk menyelamatkan kawasan bukit duabelas sebagai kawasan biodiversity dataran rendah, serta melindungi dan melestarikan tempat kehidupan dan budaya OR (Suku Anak Dalam) yg sejak lama berada dan hidup di kawasan bukit duabelas, disamping melindungi dan melestarikan serta mengembangkan tanaman obat-obatan yg merupakan sumber daya penghidupan OR, hal itu sebagai tindak lanjut dari kajian KKI Warsi melalui Rekomendasi untuk “perluasan kawasan Bukit Duabelas untuk menjadi kawasan “tempat hidup dan penghidupan Orang Rimba (OR)

Rentetan sejarah Taman Nasional Bukit Duabelas tersebut secara specifik memiliki dua tujuan pengelolaan, yaitu tujuan umum yaitu
melindungi proses ekologis yang menunjang kehidupan, mengawetkan keanekaragaman ekosistem, spesies dan genetik, memanfaatkan potensi Sumber Daya Alam Hayati dan ekosistemnya yang ada untuk kepentingan penelitian, pendidikan, ilmu pengetahuan, rekreasi, wisata alam dan jasa lingkungan serta kegiatan penunjang budi daya; sedangkan tujuan khusus adalah melindungi, memelihara, memperbaiki dan melestarikan kawasan hutan hujan dataran dataran rendah yg memiliki keanekaragaman flora, fauna dan ekosistem yg tinggi dan sudah terancam punah, melindungi dan melestarikan tempat kehidupan dan budaya orang rimba (OR) yang sejak lama berada di Kawasan Bukit Duabelas, melindungi dan melestarikan serta mengembangkan tanaman obat-obatan yg merupakan sumber daya penghidupan Orang Rimba.
Dengan melihat kronologis pembentukan tersebut, maka visi dari Balai Taman Nasional Bukit Duabelas adalah “Menjadi contoh TN yg mengintegrasikan kepentingan pembangunan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dg pembangunan Masyarakat terasing”, yang ditindak lanjuti dalam misi-misi implementatif antara lain penyusunan Zonasi TNBD yang dilaksanakan secara partisipatif bersama-sama dengan suku anak dalam, mulai tahap perencanaan, sampai tersusunya rancangan zonasi (design Zonasi) yang saat ini dalam pembahasan di tingkat Kacamatan, sebagai tindak lanjut dari konsultasi Publik ditingkat lapangan dengan suku anak dalam (SAD)

Dari design zonasi TNBD yang telah dilakukan sebagai rancangan zonasi TNBD, jelas komitmen pengelolaan sejalan dan searah dengan sejarah pembentukan, sehingga dalam rancangan zonasi TNBD mencerminkan fungsi dan tujuan pengelolaan Taman Nasional, seperti tujuan khusus untuk tempat hidup dan penghidupan orang rimba, lebih dari 80% luas kawasan diperuntukan sebagai tempat hidup dan kehidupan Orang rimba, meliputi zona tradisional yang diperuntukan untuk kepentingan pemanfaatan tradisional oleh masyarakat yang karena kesejarahan mempunyai ketergantungan dgn sumber daya alam, seluas 68,30%; Zonas religi yang diperuntukan untuk kegiatan religi yg masih dipelihara dan dipergunakan oleh masyarakat, seluas 12,13%.

Sedangkan untuk tujuan umum yaitu tujuan murni konservasi dan rehabilitasi seluas 19,57%, yang meliputi zona inti seluas 16,19%, Zona rimba seluas 1,31%,  zona pemanfaatan seluas 0,9% dan zona rehablitasi seluas 1,08%

Sedangkan untuk masyarakat dan desa penyangga TNBD yang secara langsung atau tidak langsung menerima manfaat ekonomi TNBD, telah dan sedangkan dilakukan pemberdayaan ekonomi masyarakat melalui kegiatan penguatan ekonomi lokal berdasarkan skala prioritas, baik oleh BTNBD maupun oleh Instansi tehnis lainnya yang secara hirarki menjadi bagian dari tanggung jawab pemberdayaan masyarakat melalui program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM), sampai saat i Kegiatan Penguatan Ekonomi lokal telah dimulai pada tahun ke 3 semenjak operasional secara resmi Balai Taman Nasional Bukit Duabelas yaitu semenjak tahun 2009, dari 23 desa Penyangga, telah dilakukan kegiatan pemberdayaan melalui kelompok usaha di 11 desa Penyangga, yang ditentukan berdasarkan kajian dan analisis skala prioritas.

Dari kegiatan pemberdayaan dan penguatan ekonomi lokal tersebut melalui kelompok usaha di 11 desa, sebanyak 82 % bantuan dalam bentuk dukungan untuk kegiatan Pertanian masyarakat, sedangkan sisanya 18% bantuan dalam bentuk kegiatan Industri Rumah tangga (Home Industry) tepat guna, seperti Konveksi, dan pengolahan tahu, kerajinan dll.

Bantuan terasebut lebih bersifat ransangan dan ajakan kepada kelompok untuk mengurangi tekanan dan tingkat ketergantungan terhadap hasil hutan dan hutan secara langsung, sekaligus untuk menumbuh kembangkan peningkatan nilai tambah dan peningkatan pendapatan keluarga anggota Kelompok Usaha, minimal dapat menembus terpenuhinya kebutuhan minimum keluarga atau menembus Powerty line (garis kemiskinan).


Pelaksanaan pemberdayaan ekonomi melalui penguatan ekonomi lokal ini dilakukan melalui tahapan Orientasi lapangan yang dilanjutkan dengan identifikasi, analisis aspek kelayakan ekologi/konservasi, kelayakan ekonomi (yang tercermin dari kelayakan produksi, pasar), kelayakan financial, kelayakan tehnis, kelayakan sosial budaya dan lainnya, melalui pembahasan kesepakatan kelompok usaha/kelompok tani di desa penyangga TNBD secara transparan dan musyawarah, untuk mewjudkan pemberdayaan yang berkelanjutan. Azas musyawarah, azas kesepahaman dan azas button up, azas kesetaraan  menjadi paradigma untuk ”membangunan kesepahaman” dalam proses pelaksanaan penguatan ekonomi lokal yang dilaksanakan di Taman Nasional Bukit Duabelas

Sabtu, 13 November 2010

PENGUATAN EKONOMI LOKAL

PENGELOLAAN TN BUKIT DUA BELAS DAN
PENGUATAN EKONOMI LOKAL
(Sebuah solusi Pengentasan Kemiskinan dan Konservasi)
Oleh Syamsul Bahri, SE
(Conservationist, Pengamat, Dosen STIE-SAK)


Kemiskinan identik dengan keterbelakangan merupakan fenomena sosial yang  dialami oleh negara dunia ketiga, termasuk Indonesia, sebuah kondisi sosial yang merupakan fenomena terbalik, karena kemiskinan di dunia ketiga hampir didominiasi oleh negara yang kaya akan Potensi Sumber Daya Alam hayati dan Non Hayati. Sedangkan menurut Menurut Kuncoro, (1997: 102–103), Kemiskinan didefinisikan sebagai ketidak mampuan untuk memenuhi standar hidup minimum, dan jka kita lihat kantong kemiskinan yang ada di Indonesia sekitar 31 juta atau 13% , secara general justru banyak berada di desa-desa, seperti tercermin pada data statistik tercatat bahwa dari seluruh penduduk Indonesia mencapai lebih kurang 239 juta jiwa, sekitar  mencapai 31 juta atau 13% lebih termasuk kategori masyarakat miskin, dan 12% atau  diantarnya sebagai masyarakat miskin, sekitar 48,8 juta jiwa atau 12% tinggal di dalam dan sekitar kawasan hutan. Dari 48,8 juta jiwa penduduk yang tinggal di dalam dan sekitar hutan tersebut 10,2 juta jiwa atau 25% diantaranya tergolong dalam kategori miskin (Departemen Kehutanan, 2006), desa dan indikator desa, lebih dimaknai sebagai sebuah pemukiman yang bedekatan dengan hutan dan kawasan hutan, tentuntya dengan berbagai problema desa yang telah dirasakan oleh masyarakat desa secara turun temurun.

Data tersebut cukup memprihatinkan ditengah-tengah ekonomi global yang menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah salah satu negara dengan tingkat pertumbubuhan ekonomi yang membanggakan yang disampaikan melalui data statistik, yang lebih mempertegaskan bahwa Indonesia sebagai sebuah negara dengan urutan ke 3 ekonomi dunia terbaik setelah Negara India.

Dengan memperhatikan data dan informasi tersebut diatas, Pemberdayaan Masyarakat (enpowerment civil society) sekitar Hutan merupakan sebuah program Departemen Kehutanan yang terintegrasi dengan program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) dalam upaya mengentaskan kemiskinan di Indonesia, hal ini sesuai dengan Ketentuan bahwa masyarakat dan pemberdayaan masyarakat dari aspek UU No. 32 Tahun 2004 menjadi bagian dari Pemerintah Kabupaten/Propinsi, namun Departemen Kehutanan sesuai dengan Undang Undang Kehutanan No. 41 Tahun 1999 pasal 2: “Penyelenggaraan kehutanan berasaskan manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan, dan keterpaduan”. Dalam pasal selanjutnya disebutkan bahwa penyelenggaraan kehutanan bertujuan untuk kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan.

Balai Taman Nasional Bukit Duabelas, dalam pengelolaan Kawawasn Konservasi, sangat memahami kondisi tersebut diatas, dan secara bertahap melakukan pemberdayaan ekonomi dengan kegiatan penguatan ekonomi lokal desa sekitar kawasan TNBD sebagai desa dan masyarakat penyangga melalui penguatan ekonomi kelompok tani atau gabungan kelompok tani (Gapoktan), atau kelompok usaha.

Sesuai data statistik BTNBD, saat ini terdapat 23 desa Penyangga TNBD yang menyebar di 3 Kabupaten yaitu Kabupaten Sarolangun, tebo dan Kabupaten Batanghari dan 4 Kecamatan yaitu Kecamatan Air Hitam, kecamatan Muara Tabir, Marosebo Ulu dan Batin XXIV

Kegiatan Penguatan Ekonomi lokal tersebut telah dimulai pada tahun ke 3 semenjak operasional secara resmi Balai Taman Nasional Bukit Duabelas yaitu semenjak tahun 2009, dari 23 desa Penyangga, telah dilakukan kegiatan pemberdayaan melalui kelompok usaha di 11 desa Penyangga yaitu Desa Bukit Suban, Pematang Kabau, Desa Baru dan Semurung di Kecamatan Air Hitam Kabupaten Sarolangun; Desa Olak Besar, Jelutih Kecamatan Batin XXIV Kabupaten Batanghari; Desa Sungai Lingkar, Desa Padang Kelopo Kecamatan Muarosebo Ulu Kabupaten Batang Hari; Desa Sungai Jernih, Tanah Garo, dan Tambun Arang, Kecamatan Muara Tabir Kabupaten Tebo, yang ditentukan berdasarkan kajian dan analisis skala prioritas.

Dari kegiatan pemberdayaan dan penguatan ekonomi lokal tersebut melalui kelompok usaha yang tergabung dalam Kelompok Tani, kelompok usaha Home Industri dll di 11 desa, sebanyak 82 % bantuan dalam bentuk dukungan untuk kegiatan Pertanian masyarakat, sedangkan sisanya 18% bantuan dalam bentuk kegiatan Industri Rumah tangga (Home Industry) tepat guna, seperti Konveksi, dan pengolahan tahu, kerajinan dll.

Bantuan terasebut lebih bersifat ransangan dan ajakan kepada kelompok untuk mengurangi tekanan dan tingkat ketergantungan terhadap hasil hutan dan hutan secara langsung, sekaligus untuk menumbuh kembangkan peningkatan nilai tambah dan peningkatan pendapatan keluarga anggota Kelompok Usaha, minimal dapat menembus terpenuhinya kebutuhan minimum keluarga atau menembus Powerty line (garis kemiskinan).

Pelaksanaan pemberdayaan ekonomi melalui penguatan ekonomi lokal ini dilakukan melalui tahapan Orientasi lapangan yang dilanjutkan dengan identifikasi, analisis aspek kelayakan ekologi/konservasi, kelayakan ekonomi (yang tercermin dari kelayakan produksi, pasar), kelayakan financial, kelayakan tehnis, kelayakan sosial budaya dan lainnya, melalui pembahasan kesepakatan kelompok usaha/kelompok tani di desa penyangga TNBD secara transparan dan musyawarah, untuk mewjudkan pemberdayaan yang berkelanjutan. Azas musyawarah, azas kesepahaman dan azas button up, azas kesetaraan  menjadi paradigma untuk ”membangunan kesepahaman” dalam proses pelaksanaan penguatan ekonomi lokal yang dilaksanakan di Taman Nasional Bukit Duabelas

Sesungguhnya upaya konservasi adalah jawaban untuk mengatasi pesatnya laju kerusakan lingkungan hidup dan sumber daya alam, dengan harapan kegiatan konservasi dilakukan secara berkelanjutan serta adil dan memberi manfaat bagi masyarakat di sekitar kawasan konservasi, melalui pendekatan pemberdayaan masyarakat dalam kegiatan konservasi yang lebih berkeadilan dan berkelanjutan dalam bentuk penguatan ekonomi lokal, diharapkan dapat menghasilkan kerangka pendekatan alternatif tentang “Distribusi Biaya dan Manfaat Konservasi secara Adil” (Equitable Distribution of Costs and Benefits-EDCB) dalam melakukan kegiatan konservasi di lapangan. Kegiatan konservasi menekankan penguatan peran masyarakat dalam mengelola sumber daya alam secara lestari yang bermanfaat bagi kesejahteraan mereka, tentu saja keberhasilan upaya pengelolaan kawasan konservasi, sangat memerlukan peran aktif masyarakat lokal di sekitarnya. Apabila masyarakat lokal merasakan manfaatnya secara langsung, baik itu secara ekonomi maupun sosial dan lingkungan, maka upaya pelestarian keanekaragaman hayati dapat dikatakan berhasil.

Penguatan ekonomi lokal melalui pemberdayaan masyarakat sekitar hutan adalah  untuk mendukung pencapaian tujuan pertama Deklarasi MDGs (Millenium Development Goals) 2015, yaitu menurunkan angka kemiskinan pada tahun 2015.


Jumat, 29 Oktober 2010

FESTIVAL MASYARAKAT

FESTIVAL MASYARAKAT
PEDULI DANAU KERINCI KE  X (FMPDK X)
(Pengelolaan Wisata Kerinci belum memberikan dampak ekonomi)
Oleh Syamsul bahri, SE (Pengamat, Conservationist, Dosen STIE-SAK)\

Festival Masyarakat Peduli Danau Kerinci X (FMPDK X), yang dibuka di dermaga Danau Kerinci pada tanggal 27 Oktober 2010, dilaksanakan bersamaan dengan perayaan Hari Sumpah pemuda tanggal 28 Oktober 2010, mungkin bisa menjadi momentum kebersamaan dalam persatuan dan kesatuan Kerinci dan Kota Sungaipenuh sebagai bagaian integrasi dengan Propinsi Jambi dalam kontek Negara Kesatuan Republik Indonesi (NKRI)

FMPDK tahun ini merupakan FMDK yang perrtama kali setelah terjadi pemekaran Kabupaten Kerinci menjadi kota Sungaipenuh dan Kabupaten Kerinci dalam kewilayah administrtif dan kebersatuan dalam keiwilayahan budaya dan adat yaitu ”bumi Sakti Alam kerinci” yang memegang teguh ”adat bersandi syarak, syarak bersandi kitabullah-ABS-SBK”

FMPDK yang telah menjadi agenda Pariwisata Nasional, sampai saat ini telah dilaksanakan sebanyak 10 kali, merupakan suatu pesta masyarakat Kerinci dalam mendukung Kerinci sebagai Daerah Tujuan Wisata (DTW), dimaknai minimal 2 makna penting yaitu sebagai ajang promosi wisata dan bentuk kepedulian masyarakat akan Danau Kerinci, apakah dua makna tadi sudah tercapai dalam Festival ini, ini memerlukan kajian ilmiah secara independent untuk menentukan keberhasilan dari Festival ini, kita sangat menyadari bahwa promosi dan kepedulian itu memerlukan proses yang panjang, agar pestival selanjutnya lebih bermakna dan bermanfaat, sehinga memerlukan evaluasi melalui parameter yang terukur baik promosi, maupun bentuk kepedulian dalam kontek ekonomi dan kontek lingkungan, yang akan memberikan rekomendasi untuk Festival selanjutnya. Harapan kita Pestival ini harus meraih minimal 2 sukses, sukses pelaksanaan, dan sukses manfaat terutama manfaat ekonomi (multiflier efek) dari Festival
Sebagai sebuah kabupaten yang saat ini masih bangga dengan potensi wisata alam yang kaya dan sebagai surga wisata alam, namun potensi tersebut baru sebatas potensi yang belum memberikan nilai positif bagi Kabupaten Kerinci, terutama dari aspek nilai ekonomi, padahal Kerinci yang dianugrah segumpal tanag surga yang tercampak ke bumi, seharusnya bukan hanya punya kebanggan akan potensinya, namun lebih jauh bisa bangga akan peluang-peluang ekonomi yang akan mendatangkan PAD dan kesejahteraan masyarakat dengan tanpa merusak bentang alamnya, namun kebanggaan semu tersebut belum bisa memberikan harapan ekonomi bagi masyarakat apalagi PAD
Kekayaan potensi wisata di Kabupaten kerinci masih sedikit yang sudah menjadi Obyek dan daya tarik Wisata Alam (ODTWA) serta atraksi yang akan dijual, dilokasi daerah Tujuan Wisata (DTW), dan terkesan belum maksimal memberikan dan memenuhi aspek ”Apa yang dilihat (something to see)”, ”Apa yang dilakukan (something to do)”,”Apa yang akan dibeli (something to buy)”

Pada hal fakta mengatakan bahwa pariwisata merupakan sebuah industri terbesar dunia ( the world's largest industry ),  yang memiliki Prospek sangat menjanjikan bahkan sangat memberikan peluang besar, terutama apabila menyimak angka-angka perkiraan jumlah wisatawan internasional ( inbound tourism ) berdasarkan perkiraan WTO yakni 1,046 milyar orang (tahun 2010) dan 1,602 milyar orang (tahun 2020), diantaranya masing-masing 231 juta dan 438 juta orang berada di kawasan Asia Timur dan Pasifik. Dan akan mampu menciptakan pendapatan dunia sebesar USD 2 triliun pada tahun 2020

Pengelolaan wisata Kerinci harus dikelola dengan profesional agar bisa memberikan pengaruh positif terhadap PAD dan peningkatan pendapatan masyarakat, karena memang pengelolaan wisata saat ini lebih menitik beratkan pada pelibatan masyarakat secara aktif melalui Community based Tourism Development (CBTD), karena memasuki milenium ketiga ini ditandai dengan berkembangnya isu "4Ts" (transfortation, telecommunication, tourism and technologi) yang mendorong pariwisata berkembang menjadi salah satu industri yang tumbuh dengan dominan di berbagai belahan dunia.

Namun potensi dan kekayaan wisata alam tersebut tidak akan memberikan manfaat bagi PAD dan peningkatan Pendapatan masyarakat dan peluang lapangan kerja baru, apabila pengelolaan tidak berorientasi pada pengelolaan profesional, dan Kerinci sekedar bangga dengan Kekayaan Potensi Wisata Alam saja.

Kegiatan pariwisata merupakan kegiatan yang tidak haus eksploitasi sumber daya alam dan merupakan kegiatan yang hemat SDA dan mendatangkan devisa yang cukup tinggi, sehingga pengambangan Pariwisata merupakan suatu program prioritas di Indonesia, tentunya menjadi program prioritas bagi Pemerintahan Kabupaten Kerinci, Kota Sungaipenuh dan Propinsi Jambi,  bahkan pariwisata disebut sebagai katalisator pembangunan dapat mendukung perekonomian Negara dengan efek negative yang sangat kecil

“Pembangunan pariwisata harus didasarkan pada kriteria keberlanjutan yang artinya bahwa pembangunan dapat didukung secara ekologis dalam jangka panjang sekaligus layak secara ekonomi, adil secara etika dan sosial terhadap masyarakat” (Piagam Pariwisata Berkelanjutan, 1995)

Pembangunan pariwisata berkelanjutan, seperti disebutkan dalam Piagam Pariwisata Berkelanjutan (1995) adalah pembangunan yang dapat didukung secara ekologis sekaligus layak secara ekonomi, juga adil secara etika dan sosial terhadap masyarakat. Artinya, pembangunan berkelanjutan adalah upaya terpadu dan terorganisasi untuk mengembangkan kualitas hidup dengan cara mengatur penyediaan, pengembangan, pemanfaatan dan pemeliharaan sumber daya secara berkelanjutan.

Hal tersebut hanya dapat terlaksana dengan sistem penyelenggaraan kepemerintahan yang baik (good governance) yang melibatkan partisipasi aktif dan seimbang antara pemerintah, swasta, dan masyarakat. Dengan demikian, pembangunan berkelanjutan tidak saja terkait dengan isu-isu lingkungan, tetapi juga isu demokrasi, hak asasi manusia dan isu lain yang lebih luas. Tak dapat dipungkiri, hingga saat ini konsep pembangunan berkelanjutan tersebut dianggap sebagai ‘resep’ pembangunan terbaik, termasuk pembangunan pariwisata. Pembangunan pariwisata yang berkelanjutan dapat dikenali melalui prinsip-prinsipnya yang dielaborasi berikut ini. Prinsip-prinsip tersebut antara lain Partisipasi masyarakat, Keikutsertaan para pelaku (stakeholder), Kepemilikan local, penggunaan sumber daya secara berkelanjutan, mewadahi tujuan-tujuan masyarakat, perhatian terhadap daya dukung, monitor dan evaluasi, akuntabilitas, Pelatihan serta promosi,

Apa yang diuraikan diatas, rasanya tidak salah kita simak ungkapan Mantan Menteri kehutanan MS Kaban sewaktu acara Penutupan dan acara jumpa Pers, pada Pestival Masyarakat Peduli Danau Kerinci VII pada tanggal 4 November 2006, beliau menyatakan “ Danau Kerinci adalah sebuah anugerah, yang harus bisa kita bangun menjadi modal untuk memakmurkan Kabupaten Kerinci, ini adalah modal yang harus kita kembangkan, modal yang harus kita manfaatkan untuk menjadi sumber kesejahteraan itu”, sehingga masyarakat Kerinci harus memilihara keindahan dan keutuhan air dari Danau Kerinci yang berasal dari Kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat, serta potensi ekonomi yang akan menghidupi masyarakat sekitar danau.

Minggu, 24 Oktober 2010

MUSIM PENERIMAAN CPNS

MUSIM PENERIMAAN CPNS
(Orang miskin dilarang jadi CPNS…………..???)
Oleh Syamsul Bahri, SE (Pengamat, Conservationist, Dosen STIE-SAK)

Jika kita amati dari tahun ke tahun bahwa bulan September-november hampir setiap tahun merupakan sebuah musim untuk proses penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) baik oleh Pemerintah Kabupaten/Propinsi maupun oleh lembaga Pemerintah pusat yang dikelola melalui Kementerian masing-masing.

Dengan belajar dari beberapa pengalaman pahit masa lalu, bahwa Penerimaan CPNS terutama di daerah kecenderungan bermasalah baik dengan alokasi, jurusan, bahkan kecenderungan tinggi berpola KKNisme masih menjadi bagian yang tak terpisahkan untuk sebuah proses penerimaan CPNS

Kondisi ini menciptkan penderitaan si miskin dan/atau orang tak mampu di Negara yang berdaulat ini semakin terasa, sebagaimana realita yang terjadi saat ini, seperti biaya pendidikan kecenderungan semakin tinggi, yang dimaknai bahwa “orang miskin dilarang pintar”, begitu juga dengan biaya kesehatan kecenderunan juga semakin tinggi, yang dimaknai “orang miskin dilarang sakit”, kondisi itu juga dilanjutkan dengan proses penerimaan CPNS yang kecenderungan semakin hari semakin nyata, bahwa untuk menjadi CPNS dan PNS harus dengan ber KKNria, hal ini dimaknai sebagai “orang miskin dilarang jadi Pegawai negeri Sipil”.

Sungguh ironis di negeri yang mendeklarasikan Suara rakyat adalah suara tuhan, bahwa rakyat untuk jadi pintar, jadi sehat dan menjadi PNS serta menjadi karyawan itu dijamin oleh Negara sebagaimana diamanatkan oleh Bab XA UUD 1945, namun implementasi yang terjadi orang miskin memang susah dan tidak memiliki jaminan untuk bisa merubah nasib.

Apakah kondisi ini terus berjalan dan terus berjalan, sebagaimana peluang yang ada saat ini, bahwa hampir semua Departemen dan Pemerintah Daerah membuka peluang penerimaan CPNS yang secara implisit dimaknai membuka peluang KKNria, tentunya pelaku dan pemain masih tetap sebagaimana biasanya.

KKNisme dalam Penerimaan CPNS merupakan kondisi yang dianggap biasa oleh pejabat/pengelola, tetapi menjadi luar biasa bagi orang miskin atau orang tidak mampu secara financial, kerena peluang untuk menjadi PNS tertutup sudah, walaupun kemampuan intelektual mereka cukup bagus, dan kondisi menciptakan diskriminasi Hak hakiki manusia yang hidup di Indonesia, yaitu hak untuk mendapat penghidupan yang layak diabaikan oleh Pemerintah secara informal.

Agar Hak tersebut dapat berjalan dan tidak diskriminatif bagi setiap warga Negara, seyogyannya ada langkah startegis untuk mencegah terjadinya KKNria yang tentunya hanya memberi keuntungan sepihak, sekelompok orang/oknum dan sangat merugikan Negara, karena akan memberikan birokrasi / pengelola negara di kelilingi dan di jalankan oleh orang-orang yang belum memiliki kompetensi yang layak tentunya akan memberikan pengaruh pada proses pembangunan, karena tidak diikuti dengan keahlian yang sesuai dengan bidangnya atau menempatkan sesuatu bukan kepada yang ahlinya.

Penerimaan CPNS menjadi komoditas KKN dan kepentingan politik, termasuk kepentingan tim Sukses yang telah sukses, menjadi cermin dan kondisi nyata ditengah masyarakat, dan indikasi tersebut akan terus dan terus berjalan, apabila tidak ada upaya untuk mencegah dan menghentikan, yang tentunya sangat merugikan Negara dan masyarakat miskin, maka penulis menghimbau bagi Ormas, LSM, dan terutama aparat penegak hukum, mari kita pantau dan segera laporkan adanya tarif atau bentuk lain dalam ber KKNria untuk penerimaan CPNS..

Dan kita semua tahu bahwa modus KKNisme ini jelas untuk pembuktian melalui bukti kejadian sangat sulit, namun kita bisa melihat melalui pembuktian terbalik, dengan melihat siapa yang diterima atau tidak diterima sebagai CPNS sebagai langkah awal.

Selama ini kita berharap adanya pemantauan dari pihak legeslatif, namun penulis rasa harapan itu terlalu tinggi, bahkan cenderung sebuah harapan yang sia-sia, namun harapan itu tidak menutup kemungkinan akan muncul dari para tokoh legeslatif yang masih memiliki hati nurani untuk berpikir untuk rakyat, bersama-sama dengan LSM dan Ormos, untuk memantau Penerimaan CPNS tahun 2010 (syamsul_12@yahoo.co.id)

Selasa, 31 Agustus 2010

BIAYA POLITIK DAN ARUS PERUBAHAN DALAM PILKADA BUPATI/WALIKOTA DI WILAYAH PROP JAMBI PROP JAMBI

(Cost Politik berbanding terbalik dengan Aspirasi masyarakat) 
By Syamsul Bahri, SE (syamsul_12@yahoo.co.id)


Pilkada  Bupati/Walikota di wilayah Prop Jambi  seperti Kota Sungaipenuh, Kabupaten Batang hari, Sarolangun, Tebo, Bungo, Muara Jambi, Tanjug Jabung Barat dan Timur akan melaksanakan pada tahun 2010-2011 merupakan ajang demokrasi untuk “Bumi sepucuk Jambi sembilan lurah”, sebuah pesta demokrasi, jika dilihat merupakan sebuah momentum proses regenerasi kepemimpinan Jambi yang sudah di mulai pada Pil”gub” Kada Jambi 2010
Dengan fakta politik saat ini dalam dinamika politik terutama dalam Pilkada  Bupati/Walikota di wilayah Prop Jambi tahun 2010, telah memunculkan banyakk tokoh local yang berada di local dan luar daerah yang memiliki pengalamam dan kepedulian terhadap kampung halaman, baik untuk Pimpinan maupun wakil Pimpinan Daerah, baik berasal politisi, pengusaha, birokrat, akademisi, baik yang berasal dari Incumbent atau tidak, baik yang mempergunakan perahu parpol, maupun yang menggunakan perahu rakyat atau Independent, namun gaung perahu saat ini semakin santer dan bergema dengan berbagai trik dan startegi, tanpa memperhatikan apa yang diinginkan masyarakat, bahkan kecenderungan membentur mekanisme  dan komitmen yang disepakati dan dibuat sendiri oleh masing-masing parpol.
Terkesan apa yang terjadi, untuk menyeleksi serta berkoalisi antar Parpol, terkesan mengabaikan azas dan flat form partai yang selama ini menjadi roh dan jiwa gerakan parpol secara nasional, jika dimungkin untuk berkoalisi, tentunya terjadi “koalisi semu”, yang kompak dalam rangka Pilkada  Bupati/Walikota di wilayah Prop Jambi saja, namun diyakinkan akan bercerai berai bahkan terpecah belah setelah masa bulan madu nantinya. Dengan melihat proses dan fakta sementara yang terjadi, pemilihan calon Bupati/walikota oleh parpol memiliki kecenderungan adalah (1). Take and give, baik financial maupun non financial; (2).komitmen kesepakatan untuk parpol bersakala 5 tahun  kedepan; (3). Mengabaikan flat form dan jiwa serta roh partai; (4). Menghianati komitmen dan kesepakatan yang dibuat sendiri, koalisi semu dan hanya terbatas pada proses untuk pemenangan, sehingga akan terpecah setelah itu, karena azas dan flat form yang sangat berbeda, bahkan visi dan misi sang “calon bupati/walikota” tidak begitu menjadi bagian persyaratan seleksi, namun lebih diutamakan transkasi untuk Parpol jangka waktu 5 tahun, sunggu ironis
Kondisi ini diperparah tarik ulur calon pedamping, kecenderungan apa yang terjadi di tingkat seleksi untuk calon pasangan Bupati/Walikota , akan lebih diperluas dalam kontek penentuan bacawabup/wawako, sehingga penggabungan 2 personal dengan jiwa yang berbeda dalam sebuah visi dan misi dalam satu pasangan terkesan terpaksa dan dipaksakan nantinya, walaupun visi dan misi merupakan visi dan misi calon pasangan Bupati/Walikota , namun sebagai bacawabup/wawako juga harus sealing pemahaman dan mengerti dalam aplikasinya, kalaupun bisa menyatu nantinya dalam waktu yang singkat sebuah hal yang sangat istimewa, sehingga tidak terkesan hanya untuk memenuhi kebutuhan administrative saja, sehingga secara tahapan proses penentuan calon pasangan Bupati/Walikota  dan bacawabup/wawako memberi kesan hanya sebuah ambisius kekuasaan, tidak melalui proses yang komprehensif, kondisi ini menjadi sebuah catatan bagi masyarakat pemilih.
Secara mekanisme pasangan calon pasangan Bupati/Walikota melalui proses pendaftaran ke KPU, tentunya dengan dukungan Partai Politik sesuai ketentuan kursi yang dimiliki atau melalui jalur perorangan dengan prosentase dukungan yang telah ditetapkan, mesin politik yang diserahkan ke calon melalui mekanisme dan prosedur yang telah ditentukan oleh Parpol, untuk melakukan konsolidasi dan sosialisasi dan kampanye pemenangan, namun pendayung perahu tsb masih berada di Kekuatan elit Parpol atau pengurus partai.
Dari semua tahapan dan kegiatan yang dilakukan, baik pra, proses, maupun saat pelaksanaan pencontrengan, semuanya dibutuhkan biaya atau cost politik yang mungkin dalam tahap pra (sosialisasi) beberapa calon pasangan Bupati/Walikota  menghabiskan dana ratusan juta rupiah, apalagi sampai pada saat pencontrengan, diperkirakan setiap pasangan dengan dukungan parpol setingkat “kapal pesiar” mungkin akan menghabiskan milyaran rupiah, apakah dana tersebut merupakan uang hilang atau uang habis, dan justru sangat tidak benar bahwa uang tersebut apakah cost politik dan/atau money politik merupakan uang habis, dari kajian ekonomi itu merupakan investasi jangka pendek selama 5 tahun yang spekulatif.
Dengan cost politik dan/atau money politik sebesar tersebut, yang secara hukum ekonomi tidak mungkin merupakan capital lose atau capital fligt, namun merupakan Capital Investation, sehingga disadari, bahwa masyarakat dan para individu masih memiliki hati nurani serta memiliki tanggung jawab moral untuk memperbaiki dan membangun Derah yang akan datang, yang terakumulasi dalam “arus perubahan”, secara hitungan matematika ekonomi, keinginan calon untuk membangun dan membawa arus perubahan berbanding terbalik dengan cost politik. Hal ini disadari oleh masyarakat bahwa dibanyak daerah, semakin besar biaya yang dikeluarkan calon dalam proses Pilkada  Bupati/Walikota di wilayah Prop Jambi semakin kecil perubahan positif yang didapat oleh masyarakat. Disadari atau tidak disadari bahwa cost politik adalah investasi bagi calon, setiap investasi tentu sudah memperhitungkan rugi laba, walaupun investasi financial dan non financial dalam Pilkada  Bupati/Walikota di wilayah Prop Jambi lebih cenderung investasi spekulasi dengan resiko yang cukup tinggi.
Fakta yang factual bahwa sistim dan mekanisme menggiring untuk jabatan public harus diperebutkan melalui uang yang kadang jumlahnya tidak masuk akal itu, maka konsekuensinya adalah terjadinya penyimpangan-penyimpangan di dalam dunia birokrasi. Hukum bisnis akan berlaku. Uang yang telah dikeluarkan sebelumnya untuk mendapatkan jabatan tersebut harus bisa kembali. Jika untuk menjadi caleg, bupati, wali kota dan seterusnya harus mengeluarkan uang, maka selesai menduduki jabatan itu, sejumlah uang tersebut harus kembali semuanya, dan bahkan harus lebih banyak lagi jumlahnya, agar bisa disebut beruntung. Sebagai akibatnya, sebagaimana yang banyak terjadi akhir-akhir ini, banyak pejabat dengan segala keterpaksaan dan dipaksa meringkuk dalam jeruji besi.
Memang merebut untuk sesuatu dalam rebutan itu biayanya sangat mahal, apalagi berebut kekuasaan di zaman sekarang. Tidak sedikit wilayah public, di negeri ini, yang menuntut beaya tinggi bagi calon pejabatnya. Mereka harus menyediakan modal besar. Rakyat pun juga tahu semua itu. Akhirnya jabatan itu di mata public juga tidak terlalu dianggap mulia dan terhormat. Hal itu disebabkan karena, mereka menjadi pejabat bukan karena prestasi yang mulia, semisal lebih pandai, lebih arif dan juga berakhlak mulia, melainkan sebatas karena ditopang oleh uang. Lantas dengan begitu, rakyat akan menganggap bahwa jabatan itu tidak lebih hanya sebatas permainan untuk mendapatkan kekuasaan dan uang belaka.
Masyarakat Jambi membutuhkan sebuah Perubahan yang merupakan arus yang sangat kuat di tengah-tengah masyarakat, baik di akar rumput maupun di level menengah ke atas, arus ini menjadi sesuatu yang akan dimanfaatkan oleh para Calon, dan isu ini merupakan factor penentu kemenangan dalam proses Pilkada  Bupati/Walikota di wilayah Prop Jambi nantinya, bahwa pemimpin Daerah yang akan datang, harus sesuai dengan keinginan dan kebutuhan Pembangunan globalisasi, maka masyarakat Kabupaten/kota mengingin terjadinya perubahan masa yang akan datang, dengan kriteria antara lain, memilki kemampuan Internasional dan Nasional serta Lokal, Arief dalam ekonomi dan Lingkungan, bisa memahami dan mendengarkan kebutuhan Masyarakat serta memenuhi kebutuhan masyarakat berdasarkan skala prioritas, Bebas KKN dan Berkepribadian sebagai panutan.
Mudahan-mudahan, Kabupaten/kota masa depan akan lebih baik, sipapun yang menjadi Pemimpin Kabupaten/kota dan mengusung arus perubahan akan membawa hal lebih baik, amin. 

Hindari kecelakaan demokrasi dalam pelaksanaan Pilkada Kabupaten/kota di Propinsi Jambi, sebagaimana telah terjadi kecelakaan Pilkada sebelumnya.

Kamis, 26 Agustus 2010

PILKADA DAN LINGKUNGAN HIDUP


Syamsul Bahri, SE
PILKADA DAN LINGKUNGAN HIDUP
By Syamsul Bahri, SE (Conservationist, pengamat, Dosen STIE-SAK)

Di Propinsi Jambi tahun 2010 – 2011 akan melaksanakan Pilkada Bupati dan walikota secara berturut telah menempuh fase-fase sesuai dengan tahapan, dengan melihat fakta yang ada, bahwa dalam proses PILKADA, terkesan sikut menyikut antara tim sukses semakin memanas, seyogyannya pasangan dan atau bakal pasangan berprinsip bahwa PILKADA adalah dapat menunjukkan keteladanannya dengan melakukan proses politik yang santun dan tidak emosional. Kalau para tokoh politiknya sendiri sudah emosional, maka besar kemungkinan akan terjadi gesekan atau benturan di antara para pendukungnya di tingkat grass-root.

Dan marilah kita fahamilah bahwa PILKADA. adalah sarana dan bukan tujuan, sedangkan tujuan yang ingin dicapai adalah  memilih seorang pemimpin yang mampu mewujudkan Kabupaten/kota dalam Propinsi Jambi yang maju, aman, damai dan sejahtera, tentunya sebuah sarana tidak  mengganggu pencapaian tujuan bersama.

Dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan, sesungguhnya PILKADA memiliki makna penting dan strategis, karena momentum tersebut tidak hanya memberikan peluang terjadinya rotasi dan sirkulasi kekuasaan dalam pemerintahan, tapi juga peluang bagi rakyat melakukan koreksi terhadap segala kesalahan dan kekurangan dimasa rezim terdahulu, untuk dapat menentukan pilihan yang tepat dan terbaik bagi masa depan daerahnya.

Marilah kita melihat Prop Jambi (kabupaten/kota) kedepan serta mengajak para elite politik dan masyarakat, terutama para pasangan untuk mengubah paradigma berpikir dalam memandang PILKADA, jangan lagi memandang PILKADA sebuah pertarungan hidup mati antara kelompok/kekuatan partai politik, tapi yakinilah bahwa PILKADA sebagai sebuah sarana untuk mewjudkan tujuan demokrasi, tujuan berbangsa dan bernegara, yaitu menuju masyarakat yang adil dan makmur secara mandiri

Jika kita menyimak tujuan bernegara dan berbangsa dalam UUD 1945, salah satunya adalah menuju masyarakat yang adil dan makmur secara mandiri yang diimplementasikan untuk mejudkannya salah satunya adalah Demokrasi melalui PILKADA.

Adil dan makmur tersebut, tentunya akan menjadi acuan dan tujuan yang akan diembankan oleh pasangan tentunya tertuang dalam visi dan misi sebagai bagian dari proses tawar menawar dengan masyarakat untuk mengajak masyarakat memilih pasangan tersebut dalam ajang kampanye nantinya

Adil dan maksmur, jika kita lihat fakta yang ada saat sekarang, tidak mungkin terwujud dengan kondisi alam dan lingkungan yang ada memiliki kecenderungan semakin tidak bersahabat, sehingga pemberdayaan ekonomi, peningkatan infrastruktur sebagai misi dari pasangan cagub itu tidak akan berati, apabila dalam visi dan misi tersebut kegiatan upaya pelestarian lingkungan hidup menjadi bagian utama dalam pembangunan berkelanjutan sebagai visi dan misi, diabaikan.

Isu lingkungan terutama global warming menjadi sebuah permasalahan global  yang menjadi tanggung jawab setiap Negara, pemerintahan, rakyat, bahkan isu tersebut sudah menjadi bagian terintegrasi dari pembangunan Indonesia saat ini, tidak terlepas dengan Provinsi Jambi.

Namun sungguh menjadi pertanyaan yang sangat besar bagi masyarakat, banyak pasangan dalam Pilkada Kota/Kabupaten di Prop Jambi, justru isu lingkungan tidak menjadi penting, dibanding isu infrastruktur dan ekonomi kerakyatan, pendidikan dan kesehatan menjadi bagian dari isu yang dijadikan startegi kampanye, sedangkan isu lingkungan diabaikan, pada hal fakta yang terjadi saat ini lingkungan menjadi bagian utama penyebab kerusakan infrastruktur, gagal panen dan lain-lain yang justru dana yang harus dikeluarkan untuk perbaikan akibat kerusakan lingkungan sangat besar

Isu yang cenderung dan  dominan yang dijadikan tema kampanye oleh para pasangan yang umumnya menjanjikan peningkatan PAD (pendapatan asli daerah) melalui pengembangan investasi baik perkebunan, pertambangan, dll.


Pengalaman penerapan otonomi daerah melalui PILKADA  selama ini yang cenderung melahirkan "raja-raja lokal" dengan kekuatan kekuasaannya yang besar indikasi menjalin hubungan bisnis secara legal dan illegal seperti tercermin pada kasus illegal logging di berepa Propinsi/Kabupaten/Kota di indonesia seharusnya menyadarkan semua pihak akan betapa rawan masa depan lingkungan hidup, bila dalam proses PILKADA aspek kepentingan lingkungan diabaikan.

Dengan melihat posisi dan peran kepala daerah semakin strategis dan menentukan, agenda lingkungan hidup seyogyanya menjadi salah satu pertimbangan penting dalam PILKADA, akan sangat ideal bila sejak awal pasangan kontestan PILKADA dalam visi dan misinya memberikan porsi yang memadai terhadap pemecahan masalah lingkungan hidup di daerah setempat, karena dengan demikian, rakyat dalam menentukan pilihannya memiliki acuan serta pemahaman yang lengkap mengenai program-program pelestarian lingkungan hidup yang bakal dijalankan oleh calon yang mereka pilih.

Dengan harapan, jika pasangan yang nyata-nyata pernah terlibat atau ikut memberi peluang terjadinya perusakan lingkungan hidup, baik melalui kebijakan-kebijakan publik, maupun dalam aktivitas usahanya (non- pejabat), sebaiknya tidak dipilih, agar persoalan yang ada tidak bertambah runyam. Untuk itu, perlu kerja sama dan sikap proaktif dari semua pihak untuk melakukan publikasi dan penyadaran kepada masyarakat agar rakyat pemilih tidak terkecoh dalam menentukan pilihannya.

Hendaknya disadari bahwa masalah lingkungan hidup kini menjadi persoalan yang sangat mendasar bagi bangsa Indonesia. Karena itu, sudah saatnya semua pihak menaruh perhatian serius terhadap masalah ini. Dalam konteks itu, melihat kenyataan bahwa sebagian besar kerusakan lingkungan senantiasa berhubungan erat dengan kebijakan pemerintah, sudah seharusnya penyelamatan lingkungan ikut dijadikan kriteria pokok dan prasyarat formal penentuan pejabat publik (syamsul_12@yahoo.co.id).

KLAIM DUKUNGAN DALAM PILWAKO SUNGAIPENUH (1)


KLAIM DUKUNGAN
DALAM PILWAKO SUNGAIPENUH (1)
Oleh Syamsul Bahri, SE (Pengamat, Conservationist)




Drs. Zulhelmi dan Ir Novizon, ME
(????) dengan Drs. Besmi Elfian Anas
Pada hari Selasa tanggal 23 Agustus 2010, oleh Gubernur Jambi Drs. Hasan Basri Agus (HBA) telah melantik Ir. Akmal Thaib, MM menjadi  Pejabat Wali Kota Sungaipenuh sebagai Pejabat walikota yang ke III, menggantikan Pejabat Wali Kota ke II Drs Hasvia, MTP

Drs. Ahmadi Zubir, MM dengan (??)
AJB dan Adrinal Salim
Drs. Hasvia Hasyimi, MTP + (????)
Dengan pelantikan ini, maka peta politik menjelang Pilwako tanggal 11 Desember 2010, terjadi perubahan, yaitu Drs Hasvia, MTP sebagai bacawako dari PAN tidak berstatus incumbent, tentunya warna yang sudah diwarnakan selama menjabat sebagai pejabat Walikota ke II, pegganti Drs. H. Masril Muhammad, MM, yang sekaligus sebagai bacawako dengan melakukan sosialisasi dan pencitraan diri terkesan stagnan dan mungkin akan membuat pencitraan non kelembagaan.

Dari Pemantuan sampai saat ini, indikasi pada Pilwako tanggal 11 Desember 2010 nanti, akan muncul sedikitnya 6 pasangan cawako, adalah 5 pasangan melalui jalur perahu Partai Politik yaitu Prof Asyfari Jaya Bakri (AJB) dari Golkar, berpasangan dengan Ardinal Salim (ketua PKS Kota Sungaipenuh); Drs Hasvia, MTP yang diusung oleh parahu PAN, sampai saat ini belum  dan masih mencari pasangan, kemungkinan Politisi atau birokrat; Drs Ahmadi Zubir, MM yang sampai saat ini belum mendapatkan dan sedang mencari pasangan; pasangan Daniel Miftah dengan Yos Adrino;  Pasangan Ir. Zubir Muchtar dan Syafriadi, SH dan satu pasangan jalur ”Perahu Rakyat” atau jalur Independen yaitu Drs. Zulhelmi, MM dan Ir. Novizon Loetfhi, ME

Dalam pencarian pasangan pendamping untuk maju sebagai cawako Sungaipenuh, telah muncul calon yang menawarkan menjadi calon wakil walikota yaitu Drs. Besmi Elfian Anas, yang dikenal dengan nama akrab ”Uteaih bes” seorang tokoh senior kota Sungaipenuh di Jambi yang berasal dari Wilayah adat Lima Luhah Sungaipenuh dan mengklaim didukung oleh masyarakat Kecamatan Sungaipenuh khususnya masyarakat adat lima luhah Sungaipenuh dan adat Dusun Baru 75%, sebuah modal yang cukup pantastik, tentunya peluang untuk mendamping calon walikota dari luar kecamatan Sungaipenuh yang akan dilirik.

Mengklaim dan mengaku mendapat dukungan dari masyarakat sesuatu hal yang menjadi trend dalam meningkatkan pencitraan diri, seperti pasangan Drs. Zulhelmi, MM dan Ir. Novizon Loetfhi, ME , mengklaim dan sudah dideklarasi didukungan oleh masyarakat adat Depati Payung Pondok Tinggi, masyarakat Adat Kumun Debai dan Masyarakat Adat Hamparan Rawang bersama Masyarakat Adat Dusun Baru, jika kenyataan klaim ini benar maka, dukungan ini sebuah dukungan yang memilki peluang yang sangat besar untuk membuat Pilwako Sungaipenh menjadi 1 putaran, karena secara matematis telah didukung lebih dari 30% pemilih kota Sungaipenuh

Sementara  Drs Hasvia MTP yang saat ini kebinggungan untuk mendapatkan pendamping, karena PAN mengharapkan didampingi oleh Internal Partai, sehingga kalkulasi dukungan sampai saat ini baru kelihatan dimiliki bersama dengan Drs. Besmi Elfian Anas (Uteih bes) yang berasal dari masyarakat Wilayah Adat Lima Luhah Sungaipenuh, dan Dusun baru

Seterusnya pasangan Asyfari Jaya Bakri (AJB)  dan Adrinal Salim, mengkalim didukung oleh masyarakat Kecamatan Tanah Kampung dan militansi anggota PKS Kota Sungaipenuh, dan Drs. Ahmadi Zubir, MM kemungkinan akan berpasangan dengan     tokoh hamparan Rawang, mengklaim didukung oleh masyarakat Kecamatan Pesisir Bukit dan sebagaian masyarakat adat Hamparan Rawang.

Peta Politik sebagaimana digambarkan diatas, akan tetap dinamis dan berubah, perubahan tersebut bisa menguntungkan dan bisa merugikan pasangan, namun tergantung bagaimana sang pasangan mengelola dan memanegemen potensi-potensi positif dan negatif tersebut untuk dapat memberi nilai positif bagi pasangan calon agar meraih kemenangan dalam Pilwako nantinya

Diakui dan dimaklumi, bahwa salah satu keuntungan yang telah dimanfaatkan selama ini adalah Drs Hasvia MTP sebagai bacawako dari PAN mendapat manfaat dan keuntungan dalam pencitraan diri selama menjabat pejabat walikota, namun apakah pencitraan tersebut akan tetap bertahan setelah tidak menjabat, tergantung bagaimana mengelola citra yang dibentuk selama ini, kecenderungan meningkat atau menurun, karena dari perkembangan terakhir, keinginan Drs Hasvia MTP untuk berdampingan dengan salah satu kader PAN yaitu Depati Satmarlendan Ketua DPRD kota Sungaipenuh belum berhasil, karena Satmarlendan belum siap, tentunya membuat nilai-nilai yang telah diperoleh Drs. Hasvia, MTP akan berubah.

Penentuan pasangan secara dadakan dan tidak terencana, akan memberi pengaruh ketidaksamaan persepsi pasangan, yang akan memberikan pengaruh negatif dalam proses Pilwako, karena penentuan pasangan adalah salah satu indikator utama untuk menaikan nilai-nilai tambah yang akan disumbangkan oleh sang calon wakil,  baik sumbangan masa pemilih, pemikiran dan financial.

Kemunculan Drs. Besmi Elfian Anas sebagai bakal calon wakil wali kota Sungaipenuh dari wilayah adat Lima Luhah Sungaipenuh, sebuah fenomena menarik dan mengklaim didukung lebih 75% dari masyarakat, dan kemunculan beliau cukup membuat resah para bacawako yang berasal dari Kecamatan Sungaipenuh, terutama yang berbasis di Wilayah Adat Lima Luhah Sungaipenuh