Kamis, 25 Februari 2010

Mampukah Lebong Jadi Kabupaten Penghasil Karbon?

Rabu, 3 Februari 2010


(Berita Daerah - Sumatra) - Kabupaten Lebong, Provinsi Bengkulu yang berada di kaki bukit Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) atau berjarak sekitar 175 kilometer arah utara Kota Bengkulu telah mencanangkan menjadi "kabupaten konservasi".

Pencanangan kabupaten konservasi oleh pemerintah daerah setempat sebagai upaya menjaga keutuhan dan kelestarian hutan untuk menghindari malapetaka bencana alam seperti longsor, banjir atau bahkan gempa bumi yang kerap menguncang wilayah Provinsi Bengkulu.

Kelestarian hutan (TNKS) yang juga telah ditetapkan sebagai "paru-paru" dunia setidaknya juga akan menyejahterakan warga masyarakat setempat yang sebagian besar bekerja di sektor pertanian sawah dan tanaman pangan lainnya.

Total luas kawasan hutan di kabupaten berpenduduk lebih kurang 110.000 jiwa mencapai 192.294 hektare (Ha) yang meliputi TNKS, suaka alam, hutan lindung dan area hutan untuk penggunaan lain (APL).

Hutan tersebut menjadi penyangga kehidupan karena merupakan wilayah tangkapan air yang dibutuhkan masyarakat, khususnya untuk pengairan sawah.

"Jika penyangga kehidupan itu dirusak maka kita akan hancur, karenanya kelestarian dan keutuhan harus dijaga bersama-sama," kata Bupati Lebong Dalhadi Umar.

Sejalan dengan itu pula pemerintah daerah setempat agaknya terinspirasi untuk mendapat uang atau dolar, karena saat Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi di Bali pada 2007 dan Kopenhagen akhir 2009 pembahasan masalah penurunan emisi karbon dunia hingga 25 persen terus mengarah kepada pelestarian hutan dengan kompensasi perdagangan karbon.

Setelah KTT Bali yang juga memokuskan pembahasan perubahan iklim dan pemanasan global dampak rumah kaca, berkembangnya industri maju, kerusakan hutan di dunia, para "broker" agaknya mulai memanfaatkan atau mencari negara atau daerah yang memiliki hutan lestari dengan menawarkan perdagangan karbon.

Kabupaten Lebong sendiri yang dimekarkan dari Kabupaten Rejang Lebong enam tahun lalu, menurut Bupati Dalhadi Umar mendapat tawaran dari pengusaha Australia untuk menjual karbon dari kawasan konservasi dan hutan lindung yang dimilikinya dengan harga empat sampai lima dolar AS per ton.

"Kami sedang membuat proposal untuk menawarkan penjualan karbon di kawasan konservasi dan hutan lindung," katanya.

Itu juga sudah disosialisasikan kepada warga terutama yang berada sekitar hutan untuk menjaga kelestarian hutan, karena dari penjualan karbon akan berimbas kepada peningkatan pendapatan masyarakat dan daerah tanpa harus menebang atau merambah hutan untuk membuka perkebunan dan pertanian.

Ia menjelaskan, jika penjualan karbon itu terwujud juga merupakan kompensasi bagi warga yang menjaga dan melestarikan hutan, karena selama ini kerusakan hutan cukup tinggi akibat pembalakan liar dan perambahan liar.

Pemkab Lebong bekerja sama dengan aparat keamanan akan terus meningkatkan pengawasan pengrusakan hutan, karena tindakan pengrusakan hutan juga dinilai belum akan berakhir yang dilakukan oknum-oknum tertentu untuk mencari keuntungan yang tidak sah dari hasil hutan.

Namun, Direktur Eksekutif Komunitas Konservasi Indonesia-Warung Informasi dan Konservasi (KKI-Warsi), Rakhmat yang mengaku pihaknya pernah membuat konsep awal bersama Balai Konservasi Sumber Daya (BKSDA) Provinsi Bengkulu sekitar lima tahun lalu tentang kabupaten konservasi di Lebong, perlu meredesain lebih lanjut program tersebut.

Misalnya perlu adanya penerbitan peraturan daerah (Perda) Kabupaten Lebong membangun atau menetapkan kawasan-kawasan hutan kemasyarakatan, hutan adat, dan hutan tanaman rakyat dengan pola pengelolaan konservasi atau hutan lindung atau cagar alam yang dikelola langsung masyarakat adat.

Sebab tanpa adanya kawasan-kawasan yang dikelola masyarakat adat hasil penjualan karbon nantinya jika terealisasi pemerintah daerah dan masyarakat kecil mendapat penghasilan dari penjualan karbon.

Di Kabupaten Lebong terbentang kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) yang dikelola langsung pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian Kehutanan. Dari hasil penjualan karbon jelas yang lebih banyak mendapatkan atau menikmati pemerintah pusat.

Sedangkan masyarakat hanya sekadar mencicipi yang belum tentu mampu menyejahterakan kehidupan mereka, terutama warga yang bermukim sekitar hutan.

Belum memahami

Terkait penjualan karbon yang terus didengungkan malah mendapat sorotan dari sejumlah pegiat lingkungan, karena masyarakat di sekitar kawasan hutan di Bengkulu pun hingga kini belum memahami skema atau prosedur perdagangan karbon (carbon trade) sehingga dikhawatirkan tidak akan menyentuh langsung untuk kepentingan masyarakat.

"Jangankan di tingkat warga masyarakat, di kalangan pegawai dinas kehutanan juga skema perdagangan karbon ini belum dipahami, lalu bagaimana mereka bisa menjelaskannya kepada masyarakat," kata Direktur Yayasan Akar Foundation, Erwin Basrin.

Menurut dia, pemerintah harus menjelaskan dengan rinci skema perdagangan karbon yang diatur dalam "Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation" (REDD) untuk mengurangi emisi karbon yang ditargetkan sebesar 25 persen.

Yayasan Akar Foundation yang saat ini aktif memberikan pemahaman tentang REDD lewat perdagangan karbon kepada masyarakat di Kabupaten Lebong menemukan belum ada masyarakat yang paham tentang skema tersebut.

"Padahal program ini diharapkan digerakkan langsung oleh masyarakat tetapi kenyataannya di Bengkulu, khususnya Lebong yang sudah ditetapkan sebagai kabupaten konservasi yang programnya dibiayai bank dunia ini juga belum sampai ke tingkat masyarakat," jelasnya.

Selain itu, ia juga mempertanyakan dasar kebijakan yang dikeluarkan pemerintah terkait mekanisme perdagangan karbon tersebut.

Termasuk sistem hutan kemasyarakatan (HKm) hingga saat ini belum jelas aturan mainnya serta kompensasinya kepada masyarakat.

"Hutan kemasyarakatan ini juga akan masuk dalam bagian dari proyek REDD, tetapi bagaimana mekanisme penghitungan volume karbonnya juga belum sampai ke masyarakat," katanya.

Sementara itu, Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Bengkulu Chairil Burhan mengatakan, tahun ini sembilan kabupaten mengusulkan program HKm seluas 8.000 hektare (Ha).

Kawasan yang diusul tersebut antara lain hutan produksi terbatas (HPT) dan hutan lindung (HL) yang sudah dirambah masyarakat.

"Kawasan hutan ini sudah dirambah, jadi sesuai dengan Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) No. 37 tahun 2007 tentang hutan kemasyarakan, masyarakat bisa mengelola," tambahnya.

Pada 2010 anggaran pengelolaan HKm yang diusulkan sebesar Rp8 juta per hektare dan tetap melibatkan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang konservasi dan pihak Universitas Bengkulu.

Pihaknya sudah sudah menyampaikan usul tersebut ke Kementerian Kehutanan untuk dibahas dalam APBN perubahan 2010.

Pemerintah dan masyarakat Kabupaten Lebong yang "berangan-angan" untuk mendapatkan banyak dolar dengan melestarikan hutan itu sekaligus menghilangkan kekhawatiran atas kerusakan hutan sebab hampir 50 persen dari 77 desanya berlokasi di sekitar hutan.

Berdasarkan data Bappeda Lebong, kerusakan kawasan hutan di kabupaten itu sudah mencapai 35 persen, sehingga dikhawatirkan akan mengganggu ketersediaan air bagi sebuah bendungan yang dimanfaatkan untuk Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Tes berkapasitas 60 megawatt (MW).
Sumber berita daerah http://beritadaerah.com/artikel.php?pg=artikel_sumatra&id=17886&sub=Artikel&page=1