Sabtu, 05 Maret 2011

MASYARAKAT KERINCI MENGINGATKAN GUBERNUR JAMBI AGAR JAMBI EMAS 2015 DAPAT TERCAPAI DENGAN BAIK


MASYARAKAT KERINCI MENGINGATKAN GUBERNUR JAMBI
AGAR JAMBI EMAS 2015 DAPAT TERCAPAI DENGAN BAIK
Oleh Syamsul Bahri, SE (Syamsul_12@yahoo.co.id)
“Jambi emas 2015” merupakan visi dari Gubernur Jambi terpilih pada Pilgub JAMBI TAHUN 2009, melalui 5 misi utama adalah (1)  Meningkatkan Kualitas dan Ketersediaan Infrastruktur Pelayanan Umum; (2)  Meningkatkan Kualitas Pendidikan, Kesehatan, Kehidupan Beragama dan Berbudaya; (3)  Meningkatkan Perekonomian Daerah dan Pendapatan Masyarakat berbasis Agribisnis dan Agroindustri; (4) Meningkatkan Pengelolaan Sumberdaya Alam yang Optimal dan Berwawasan Lingkungan; (5) Meningkatkan Tata kelola Pemerintahan yang baik, Jaminan Kepastian dan Perlindungan Hukum serta Kesetaraan Gender, untuk mewujudkan visi dan misi tersebut Hasan Basri Agus (disingkat dengan HBA), dengan mednerapkan kunci kepemimpinan untuk menjadi sukses, adalah empat kunci sukses yang diberikan HBA, yakni (1) memiliki kemauan yang keras dalam bekerja dan belajar; (2) memegang prinsip untuk tidak cepat puas dengan hasil yang telah dicapai saat ini; (3) bersifat empathy (peduli terhadap lingkungan sekitar); (4) seorang pemimpin yang sukses adalah jangan memiliki sifat dendam.
Visi Jambi emas 2015 baru dimulai hampir 1,5 tahun telah dipertanyakan oleh Bupati Kerinci, yang mengatakan bahwa “menyangsikan Program Jambi Emas Gubernur (Harian Aksi Post edisi Senin 28 Februari 2011), hal itu disebabkan oleh amburadulnya pembangunan Jalan Propinsi Bangko-Kerinci, yang membuat penderitaan panjang masyarakat Merangin dan Kerinci selama ini, sehingga membawa dampak secara ekonomi bagi Kabupaten Kerinci, seperti mahalnya biaya transpoirtasi untuk pengangkutan hasil bumi, belum bermanfaatnya bpotensi swisata secara optimal, ketidak nyamanan masyarakat yang memiliki akses cukup tinggi dari dan ke Jambi-Kerinci/Sungaipenuh, dengan jarah tempuh tempuh sekitar 162 km, dengan waktu tempuh hampir 7 jam, sesuatu yang sangat ironis dan melelahkan
Memang disadari bahwa saat Pilgub tahun 2009 suara untuk pasangan HBA Fahrori tidak menggembirakan di Kerinci dan Kota Sungaipenuh, namun sekarang bahwa HBA dan Fahrori adalah Gubernur Propinsi Jambi dan Kerinci dan Kota Sungaipenuh adalah bagian dari Propinsi Jambi yang menjadi bagian dari Visi Jambi Emas 2015, dimana dalam visi terdapat misi utama diantara 5 misi adalah Meningkatkan Kualitas dan Ketersediaan Infrastruktur Pelayanan Umum”

Keterasingan Kerinci (sekarang Kab Kerinci dan Kota Sungaipenuh)  dikarenakan kondisi jalan Propinsi tersebut sudah lama menjadi bagian yang dirasakan oleh masyarakat yang membawa pengaruh terhadap dimensi ekonomi, dimensi sosial, dimensi politik, bahkan adanya keinginan untuk memisahkan diri dari Prop Jambi tidak lepas dari faktor jalan tersebut disamping faktor lain

Apa yang disampaikan oleh Bupati Kerinci Drs. Murasman, dan anggota DPRD Prop Jambi dapil Kerinci/kota Sungaipenuh, serta beberapa tokoh intelektual dan tokoh masyarakat adalah sebuah bentuk mengingatkan kepada Gubernur, bahwa visi Jambi emas akan tidak sempurna apabila jalan Propinsi Bangko-Kerinci yang sudah lama membawa penderitaan masyarakat tidak dilaksanakan dengan baik dalam waktu dekat, saat ini terkesan pembangunan jalan tersebut tidak terprogram dengan baik, karena fakta lapangan menunjukan kondisi seperti itu
Selaku bagian dari masyarakat Jambi, masyarakat kerinci memiliki hak untuk menyampaikan masalah yang menjadi bagian dari masalah Propinsi Jambi, dan mengharapkan perhatian Gubernur untuk menyikapi dengan serius pembangunan Jalan Kerinci/Kota Sungaipenuh, agar visi Jambi Emas memang terwujud dan tercapai dengan sumpurna, karena indikator pergerakan ekonomi lebih ditunjang oleh akses ke sentra produksi melalui jalur transportasi.

Jumat, 04 Maret 2011

PEMILIHAN KEPALA DAERAH “BALADA DALAM DUKUNGAN SEMU”


PEMILIHAN KEPALA DAERAH
“BALADA DALAM DUKUNGAN SEMU”
Oleh Syamsul Bahri, SE

Pada Tahun 2011 ini, dipropinsi Jambi akan berlangsung Pilkada untuk Bupati/wakil Bupati seperti Kabupaten Sarolangun, Kabupaten Bungo, Kabupaten Tebo, dan Muara Jambi, serta lanjutan putaran II Pilwako Sungaipenuh, sedangkan  yang sudah dilaksanakan adalah Kabupaten Batang hari, Kabupaten Tanjung Jabung Barat dan Timur.

Jika kita cermati kondisi Pelaksanaan Pilkada yang telah berlangsung, kecenderungan banyak pasangan baik incumbent maupun bukan incumbent ataupun Independent terlalu dinina bobok dengan sebuah fakta dalam dukungan semu, hal ini sudah banyak terbukti, bahwa data dari peta politik hasil pemantauan oleh tim ”seakan-akan berpihak” pada pasangan tersebut, tapi kenyataan pada hari H justru terbalik, sehingga analisa Ilmiah belum bisa memprediksi kondisi ini, karena ada sebuah kekuatan ”invisible hand” yang bermain justru menjelang hari (H), kondisi ini sebuah bukti pembelajaran politik yang tidak baik selama proses demokrasi langsung di Indonesia, apa lagi beberapa indikasi pelanggaran pilkada dan money politik yang selama ini menjadi sebuah permainan yang terkesan dilegalkan oleh sebuah ketentuan Peraturan dan Perundangan melalui pembatasan waktu pembuktian, money politik yang sangat sulit dibuktikan namun faktanya ini menjadi sebuah kekuatan dan menjadi sebuah permainan dan menjadi dipermainkan oleh masyarakat atau sang calon.

Kondisi yang tercipta menjadi sebuah “balada Pilkada dukungan semu” baik itu dukungan aspiratif secara tertulis maupun tidak tertulis, baik dari lembaga resmi (non government) maupun tidak resmi menjadi bagian permainan dan pemain dalam Pilkada langsung, sehingga dukungan semu pra hari (H) belum menjamin sebuah kemenangan, dan belum mencerminkan sebuah kekuatan menuju hari (H), bahkan dukungan basis secara tradisional juga belum bisa dijadikan jaminan yang kongkrit.

Proses Pilkada langsung selama era reformasi telah menciptakan pembelajararn politik buruk di tingkat elite dan akar rumput, yang berindikasi kepada ketidak pedulian pada kelayakan seorang pimpinan daerah apakah Gubernur atau Bupati/walikota, namun lebih mengutamakan kepentingan sesaat yaitu berapa nilai rupiah atas suara yang diberikan, itupun terjadi kompetisi diantara pemilih.

Fakta tersebut sebuah cerminan kegagalan demokrasi dan kegagalan pembangunan ekonomi, karena diperkirakan cukup banyak pemilih berpikir suara mereka dinilai dengan setitik rupiah untuk setitik harapan dalam satu hari.

Jadi apa yang menjadi tujuan demokrasi sebagai system untuk mewujudkan tatanan berbangsa dan bernegara yang diimplementasikan dalam penyelengaraan Negara dari eksekutif, legeslatif dan yudikatif bekerja dan berbuat untuk Negara dalam hal ini “Pemilik Negara” yaitu Rakyat, karena kedaulan rakayat, dengan indicator keberhasilan adalah pada tatanan ekonomi yang mapan di tingkat masyarakat sebagaimana yang diimpikan oleh Pembukaan UUD 1945 yaitu alinea terakhir “…….serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, tidak tercapai, karena hasil demokrasi yang benar terciptanya dan terwujudnya keadilan social bagi seluruh rakyart Indonesia, tidak tercapai karena demokrasi yang belum benar, melahirkan sebuah proses Pilkada dengan dukungan semu, yang membawa implikasi pada besarnya cost politik di partai Politik dan money politik, melahirkan sebuah kepemimpinan yang berkerja berdasarkan Investasi Politik dalam bentuk financial (money dan cost politik) maupun non financial yang kemungkinan akan dikonversikan dalam financial, lalu bagaimana Pembangunan bangsa ini sebagaimana diperintahkan oleh UUD 1945, wait and see

Jika amati, antara demokrasi dan kesejahteraan rakyat, terkesan seperti telur dengan ayam, demokrasi bertujuan mewjudkan kesejahteraan rakyat, kesejahteraan rakyat sangat sulit terwujud dengan pola dan sistim demokrasi yang menciptakan demokrasi sebagaimana yang terjadi saat ini dimana seluruh kekuatan financial Negara dan bakal calon dan calon dikeluarkan sebagai investasi politik untuk mendukung proses Pilkada langsung saat ini, namun tidak menghasilkan apa yang diamanatkan dalam demokrasi sebagai alat untuk mewjudkan kesejahteraan social.

Rabu, 02 Maret 2011

REFELEKSI PILKADA LANGSUNG TERHADAP PEMBANGUNAN


REFELEKSI PILKADA LANGSUNG
TERHADAP PEMBANGUNAN
Oleh Syamsul Bahri, SE

Sosiolog Barrington Moore Jr dalam buku Social Origins of Dictatorship and Democracy mengemukakan ”tak ada kelompok borjuis, tak ada demokrasi”. Sebuah asumsi dari Barrington Moore, demokrasi akan tumbuh dan berkembang jika kelas borjuis menjadi kuat dan aktif dalam proses demokratisasi.

Kondisi itu terjadi di Indonesia saat ini, para kelompok berjuis, ”berlomba” merambah dunia politik sebagai pejabat public, fenomena kedekatan berjois dan dunia politik bukan hal baru. Pada era Orde Baru sejumlah pengusaha menduduki berbagai jabatan publik, dalam mewjudkan hubungan antara Pemerintah dan rakyat..

Hubungan antara pemerintahan (state) dengan rakyat/warga Negara (society) berada alam tatanan bingkai interaksi politik dalam wujud organisasi Negara, hubungan tersebut dalam bungkusan yang indah namanya  “demokrasi”. Bahwa demokrasi  menjadi cara terbaik dalam perkembangan organisasi negara modern, merupakan instrumen universal, namun juga memiliki karakteristik ideografis seperti demokrasi liberalis, demokrasi sosialis dan bahkan demokrasi Pancasila, di Indonesia demokrasi diimplemntasikan dalam demokrasi dalam lingkup negara dan demokrasi lokal.

Sistem politik daerah yang dikenal dengan demokrasi local salah satunya di wujudakan dengan Pemilihan Kepala daerah dan Legeslatif secara langsung baik Propinsi maupun Kabupaten/kota, yang merupakan sub system dari sistem politik nasional dalam tatanan berbangsa dan bernegara.
Demokrasi adalah sebuah system untuk mewujudkan tatanan berbangsa dan bernegara yang diimplementasikan dalam penyelengaraan Negara dari eksekutif, legeslatif dan yudikatif bekerja dan berbuat untuk Negara dalam hal ini “Pemilik Negara” yaitu Rakyat, karena kedaulan rakayat, dengan indicator keberhasilan adalah pada tatanan ekonomi yang mapan di tingkat masyarakat sebagaimana yang diimpikan oleh Pembukaan UUD 1945 yaitu alinea terakhir “…….serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, hal ini didukung oleh Pernyataan Surya Paloh (Metro TV, senin, 1 februari 2010, jam 18;02 wib) "Berulang kali dan dimana saja saya katakan. Demokrasi itu bukan tujuan. Demokrasi itu hanyalah alat untuk mencapai tujuan," kata Surya Paloh saat berpidato dalam pendeklarasian Ormas Nasionalis Demokrat di Istora Senayan Jakarta, Senin (1/2) sore, bahkkan ditambahkan oleh beliau “tidak ada gunanya demokrasi kalau tidak menghantarkan kepada kesejahteraan sosial yang lebih baik. Keadilan sosial yang lebih baik. Kehidupan yang lebih nyaman serta mendorong persatuan dan kesatuan”
Justru yang terjadi di Indonesia, malah apa yang dikatakan oleh Mahattir Muhammad dalam sebuah pernyataan “Kalau saya disuruh memilih antara hidup dalam suasana demokrasi, tetapi sulit mencari makanan, dengan hidup dalam situasi hak-hak pribadi dibatasi, tetapi bisa dapat bekerja, gampang carai makan, masih bisa nabung, maka saya akan lebih memilih hidup dengan beberapa pribadi saya dibatasi “
Lalu apa persoalan mendasar, sehingga apa yang seharusnya menjadi tujuan sebuah demokrasi tersebut tidak tercapai, apakah sistimnya yang salah atau pelaksanaannya yang salah
Demokrasi lokal yang diwujudkan dalam pemilihan legeslatif dan eksekutif di daerah, terutama pemilihan kepala daerah, merupakan sebuah momentum yang memerlukan sebuah jawaban dari sebuah pertanyaan besar dalam pelaksanaannya. Pertanyaan ini berkaitan dengan demokrasi partisipatoris yang akan dilakukan, betapa tidak, pemberian kedaulatan rakyat daerah pada elitnya masih diwarnai ketidakjelasan, baik dari prosedur kerja penyelenggara maupun peserta dan posisi pemilihnya, karena demokrasi local dibangun untuk memberikan peluang yang menjadi impian dari rakyat di daerah dalam pemberian legitimasi
Lalu apa lacurnya, Pilkada langsung justru menimbulkan banyak hal negative dalam upaya mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sangat sulit dicapai, karena untuk menjadi Pimpinan daerah mengahruskan cost dan money politik yang luar biasa, tentunya membawa implikasi pada tatan bagaimana mengembalikan cost dan money politik yang telah dikeluarkan, yang tentunya akan melakukan pembangunan yang berorientasi pada guna proyek dengan mengabaikan manfaat proyek, mengeksploitasi SDA tanpa melihat nilai-nilai lingkungan dan nilai ekonomi tidak langsung yang akan mengorbankan masuarakat dan lingkungan jangka panjang; seterusnya penempatan SKPD atau Kepala Dinas beserta perangkat tidak berdasarkan keahlian (zaken cabinet) namun berorientasi kepada balas jasa dan balas budi kepada tim pendukung dengan tetap berpegang kepada berapa banyak kemungkinan pengembalian Invetasti Politik kepada Kepala Daerah
Dengan tatanan yang tercipta dalam sistim demokrasi tersebut, pembangunan Kesejahteraan masyarakat menjadi bagian yang terlupakan, karena dasar pembangunan tidak berdasarkan kepada kebutuhan untuk meningkatkan kesejahteraan walaupun itu menjadi “jualan kampanye”, melainkan berorientasi berapa banyak financial benefit yang direoleh, fakta saat ini, bahwa kemiskinan memang turun, tetapi bukan turan dalam jumlah, melainkan turun ke anak cucu kita.
Memang kita harus menyadari, bahwa kepentingan Parpol penguasa di pusat/daerah terhapa kemenangan Pimpinan Daerah/Pimpinan Nasional tidak bias dipungkiri sebagai sebuah asset partai uantuk mendukung kelancaran perjalanan partai, baik melalui kebijaksanaan atau kebijakan yang mengarah pada benefit ke Parpol penguasa sangat tinggi, sehingga sinkronisasi Programn Pembanguan dari Pusat sampai ke Daerah, jelas tidak akan mungkin terjadi, karena secara nasional Pimpinan Nasional adalah Partai democrat, sedangkan di daerah tentunya terdiri dari berbagai Parrtai pemenang, yang memiliki agenda yang sama tahun 2014, tentunya kesengajaan untuk ketidak sinkronisasi memang hal yang diskeneriokan.
Memang banyak pemikir dan ahli mengatakan “bahwa untuk terwujudnya suatu demokrasi yang baik, dibutuhkan sebuah proses yang panjang dan biaya yang tinggi”, apakah kalimat pembenaran tersebut membenarkan penciptaan kesengsaraan dan penderitaan masyarakat ?
Mari kita lihat dan evaluasi sistim demokrasi dalam pilkada langsung saat ini, sangat sedikit yang berjalan dengan damai, sangat banyak yang membuahkan hasil perpecahan kelompok, penciptaan kemiskinan.