DAS BATANGHARI
DALAM TATANAN ECOBIOREGION MANAGEMENT (2)
Oleh Syamsul Bahri, SE
(Pengamat, Conservationist di Jambi, Dosen STIE SAK)
Oleh banyak pengamat dan ekonom bahwa meanstream pembangunan dengan model pertumbuhan ekonomi terbukti telah gagal dalam upaya pengentasan kemiskinan dan mewujudkan perhatian terhadap pelestarian lingkungan hidup, bahkan telah terbukti menghasilkan pelanggaran terhadap hak azasi manusia dan peningkatan kemiskinan, penciptaan kelompok kaya dan kelompok miskin yang semekin jauh dan semakin jauh, kerusakan SDA yang membawa implikasi terhadap bencana alam, kerawanan pangan dll
Daerah Aliran Sungai (DAS) Batanghari menurut data dari BP DAS Batanghari hanya tersisa sebagai hutan sekiatr 173.300 hektar dari total 5,1 juta hektar di sepanjang DAS Batanghari atau tinggal 3,5 persen. Sebanyak 4,9 juta hektar hutan dalam keadaan sangat kritis hingga potensial kritis (Kompas, Selasa, 23 November 2010), sungguh memprihatinkan, dan lahan seluas tersebut cenderung berada dalam kawasan konservasi antara lain TNKS, TNBD, TNBT, TNB, hal ini disebabkan berubuh fungsi hutan yang berada disekitar dan sepanjang Sungai Batanghari, hal ini terbukti semenjak euforia Otonomi Daerah yang diikuti desentralisasi pengelolaan sumberdaya alam, yang memiliki kecenderungan bahwa potensi sumberdaya hutan yang ada dalam wilayah administratifnya bebas dieksploitasi untuk kepentingan daerah dan berusaha mengeksploitasi hutan dari aspek ekonomi jangka pendek terutama penggelembungan PAD, sehingga munculnya pembukaan hutan untuk beralih fungsi menjadi lahan perkebunan, pertambangan, logging dan illegal logging yang mengabaikan aspek konservasi termasuk keinginan dan pembangunan jalan membelah Taman Nasional
Pemikiran implementasi euforia otonomi yang cenderung berorientasi pada ekonomi jangka pendek tersebut berakibat telah timbul dampak yang lebih luas seperti banjir besar-besaran setiap tahun, kebakaran hutan dalam skala besar, dan meningkatnya jumlah DAS kritis setiap tahun, yang berdampak pada tujuan Otonomi yang sesungguhnya menjadi bias, dalam arti tujuan kesejahteraan rakyat yang semu, karena cenderung kesejahteraan dengan ancaman bencana alam yang memiliki dimensi ancaman terhadap kesejahteraan yang semu, seperti kerawanan pangan, kerawanan energi listrik terutama yang bersumber dari PLTA, terganggunya transportasi darat dan sungai yang membawa implikasi pada ekonomi mikro dan makro.
Kondisi DAS Batanghari tersebut dalam frame ecobioregion management sebagai aset ekonomi berkelanjutan, dan sebagai aset lingkungan dan ekologi memerlukan penanganan yang serius dalam kontek meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam wilayah DAS tersebut, melalui upaya terintegrasi multi sektor untuk merehablitasi DAS yang bergerak dalam frame ecobaioregion management, tentunya kajian komprehensif dalam tataruang berbasisi ekonomi dan ekosistem, apa lagi DAS Batang Hari diklasifikasi sebagai satu dari 22 DAS dengan kategori sangat kritis (super critical) yang merupakan DAS terbesar kedua di Sumatera dengan jumlah luas daerah tangkapan air (water catchment area) 4,9 juta hektar dan secara administratif meliputi propinsi Sumatera Barat dan Jambi.
Tentunya pendekatan muliti sektoral yang komprehensif berdasarkan batas ekologis yang terintegrasi dengan komunitas manusia, yang selama ini cenderung egosektoral dan spatial, tentunya harus di hindari, apalagi Upaya kearah ecobioregion management untuk DAS Batanghari yang terletak di Prop Jambi dan sebagaian di Prop Sumatera Barat, merupakan langkah yang seharusnya dilakukan oleh Pemerintah Prop Jambi, bahkan seluruh Pemerintahan di Pulau Sumartera sebagaimana yang telah menjadi ”Kesepakatan Gubernur se Sumatera dalam dokumen Kesepakatan bersama seluruh Gubernur Sumatera untuk penyelamatan ekosistem Pulau Sumatera”, di Jakarta pada tanggal 18 September 2008 dalam upaya penyelamatan dan pelestarian ekosistem Sumatera guna menyeimbangkan fungsi ekologis dengan pembangunan ekonomi masyarakat melalui antara lain Penataan tata ruang pulau sumatera berbasis ekosistem, restorasi kawasan krisis untuk perlindungan sistem kehidupan, melindungi kawasan yang memiliki nilai penting perlindungan sistem kehidupan, keanekaragaman hayati dan perubahan iklim, kesepakatan tersebut disaksikan oleh Menteri Dalam Negeri, Menteri Lingkungan Hidup, Menteri Pekerjaan Umum dan Menteri Kehutanan.
Kenayataannya, apa yang menjadi kesepakatan Gubenrnur se-Sumatera belum dilaksanakan secara utuh, hal ini dapat dilihat dari implementasi yang terjadi, banyaknya keinginan untuk merubahn fungsi hutan untuk kepentingan diluar ekologi dan lingkungan, walaupun kenyataannyanya bahwa perubahan fungsi hutan yang memliki kecenderungan berfungsi lindung, sedangkan dampak yang kitarasakan saat ini bencana banjir, longsor, kekeringan dan kebakaran hutan dan lahan dll sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan kehidupan masyarakat di sekitar DAS Batanghari, tentunya implikasi ekonomi dan kerawanan pangan sesuatu yang sangat sulit untuk hindari.
Oleh banyak pengamat dan ekonom bahwa meanstream pembangunan dengan model pertumbuhan ekonomi terbukti telah gagal dalam upaya pengentasan kemiskinan dan mewujudkan perhatian terhadap pelestarian lingkungan hidup, bahkan telah terbukti menghasilkan pelanggaran terhadap hak azasi manusia dan peningkatan kemiskinan, penciptaan kelompok kaya dan kelompok miskin yang semekin jauh dan semakin jauh, kerusakan SDA yang membawa implikasi terhadap bencana alam, kerawanan pangan dll.