ANDAIKAN DIDUNIA TIDAK MENGANUT
SISTEM EKONOMI KAPITALIS
(SDA tidak terkuras dan kedamaian dalam hidup akan bertahan lama)
(By Syamsul Bahri, SE Conservationis di Jambi, Dosen pada STIE SAK Kerinci)
Ekonomi kapitalis sebuah perjalanan sejarah yang cukup panjang di dunia ini, yang dimulai dari fase Pertama yang merupakan periode kolonialisasi, merupakan perkembangan kapitalisme di benua eropah, yang melakukan ekspansi untuk mendapatkan barang-barang mentah, yang merupakan bentuk penjajahan secara ekonomi dan fisik, serta sosial kemasyarakatan di daerah jajahan dan berakhir setelah negara jajahan memperjuangkan kemerdekaannya, atau diberikan kemerdekaannya. Fase kedua yang merupakan fase neokolonilsme, ketika penjajahan tidak lagi bersifat fisik secara langsung melainkan melalui penjajahan idiologi, fase kedua ini dikenal dengan era developmentalisme, dimana negara bekas penjajah masih mendominasi bekas negara jajahan, yaitu melalui kontrol terhadap ekonomi dan proses perubahan sosial negara bekas jajahan fisik, yang dirancang untuk perubahan sosial ekonomi negara-negara dunia ketiga, namun juga gagal untuk mewujudkan kesejahteranan, yang melibatkan negara-negara besar, secara awal intervensi negara besar untuk memberikan perlinduingan pada negara dunia ke 3, justru menimbulkan gejoal civil. pada fase ini justru eksploitasi sumber daya alam, dengan meninggalkan kearifan lokal dan memarjinalkan masyarakat, fase ini kebijakan ekonomi dunia dipengaruhi oleh agen-agen neokolonialsme berbentuk WTO, IMF, Bank Dunia yang merupakan aktor dan agen globalisasi, denga memberikan resep dan rekomendasi dikenal dengan Program Penyesuaian Struktural (Structural Adjusment Programme-SAP) kepada negara-negara dunia ketiga yang berintikan menciptakan ketergantungan duina ketiga berkaitan dengan utang dengan memenuhi persyaratan yang telah ditentukan melalui Program Penyesuaian Struktural (Structural Adjusment Programme-SAP) justru mempuruk dunia ketiga, akibatnya terjadi krosi ekonomi dunia tahun 1997, bahkan melibatkan agen rahasia untuk membuat sebuah scenerio intervensi militer yang secara hakiki merupakan intervensi ekonomi, sehingga beberapa pemimpin yang tidak kooperatif akan ditumbangkan dengan berbagi cara dan staretgi, agar mau dan bisa bekerja sama.
Akaibat dari dua fase tersebut diatas, terkurasnya Sumber Daya Alam, karena di negara ke 3, keterbelakangan pendidikan, dan lemahnya sistim ekonomi yang mengakibatkan banyak utang, serta rusaknya ekologi, serta terjadinya krisis civil, kondisi ini juga berlaku bagi negara dunia ke yang memiliki kekayaan minyak dan gas bumi, sehingga jarak antara si miskin dan si kaya semekin lebar, bahkan startegi untuk mengusai SDA yang berada di Negera Dunia ketiga, tidak hanya melalui jaraingan ekonomi, bahkan sampai melalui jaringan pemutaran balik fakta melalui intelejen untuk mencipatakan tekanan baik ekonomi maupun politik, bahkan sampai pada peperangan, sehingga motif HAM Internasional dan Teroris Global hanya sebuah grand design untuk memainkan peran diplomatik dan mempengaruhi publik untuk kepentingan ekonomi.
Fase selanjutnya adalah pasar bebas
Apa yang dirasakan oleh dunia ke III dan dunia saat ini, krisis ekonomi, kelangkaan pangan dan kemiskinan serta gejolak Politik Civil dan Meliter merupakan sebuah hasil dari sistim ekonomi kapitalis dengan pola yang kuat menguasai yang lemah, yang kaya menguasai yang miskin, yang pintar menguasai yang tidak pintar, sehingga memunculkan dampak global yaitu perubahan pemanasan global (Global Climate Change) yang membawa pengaruh signifikan terjadap hidup dan kehidupan dunia, kemiskinan semakin melebar, baik miskin secara ekonomi, maupun miskin secara sosial.
Sebagaimana judul diatas, “Andaikan didunia tidak menganut sistem ekonomi kapitalis”, maka jarak antara yang kaya dengan miskin tidak akan terjadi, mungkin jarak yang kaya dengan yang belum kaya, Sumber daya alam tidak dilihat hanya sebagi faktor ekonomi, pendidikan akan berjalan sesuai dengan proses dan kemampuan negara, gejolak sosial dan peperangan bermotof ekonomi tidak terjadi
Ambruknya Wall Street dan krisis finansial yang mengguncang ekonomi dunia akibat krisis subprime mortgage di AS mengingatkan semua pendukung free market economy untuk berpikir ulang. Bahwa ekonomi pasar bebas yang tidak disertai transparansi, kejujuran, akuntabilitas, dan tanggung jawab akan berujung pada kebangkrutan.
Tapi, bukan berati menyimpulkan bahwa kehancuran krisis ini adalah sinyal untuk kembali ke ekonomi terpusat, ekonomi komando, atau ekonomi dengan peran sangat dominan negara. Sejarah berbagai negara maju menunjukkan ekonomi pasar bebas mampu mengantarkan rakyatnya lebih cepat meraih kemakmuran dan kesejahteraan dibanding negara-negara yang terlalu mengandalkan peran negara dalam perekonomian.
Ambruknya perusahaan finansial di AS dihuni segerombolan orang yang hanya berusaha meraih keuntungan, meluas sampai pada dunia ke 3 dalam krisis finansial serius lebih disebabkan oleh kerakusan para pemodal pebisnis dan profesional di pasar finansial. apa pun caranya, termasuk rekayasa keuangan, demi menggapai gaji dan bonus besar. Kerakusan itu bertumbuh subur karena kevakuman hukum dan minimnya pengawasan
Teori ekonomi capitalis yang hampir hancur tersebut, hendaknya mengarah kepada perubahan yang berintikan, planet yang harus diselamatkan, kemiskinan yang harus dientaskan, keuntungan yang proforsional, yang lebih dikenal dengan 'Tiga P' yakni profit, people, dan planet. Operasional menerapkan dengan konsisten good corporate governance, yakni fairness, transparancy, accountability, dan responsibility. Untuk lingkungan masyarakat dan alam, perusahaan wajib menjalankan corporate social responsibility. bahkan lebih jauh untuk pemlihan pemipin baik negara, perusahaan, maupun daerah, eksekutif maupun legeslatif lebih difokuskan kepada pemimpin yang memenuhi kriteria Emotional & Spiritual Intelligence, yang menggabungkan 3 inti penting dalam menjalankan hidup dan kehidupan, sehingga perusahaan/negara/masyarakat/daerah harus dijalankan oleh orang-orang yang memiliki spiritualitas, emosional dan intelligence, tidak hanya kemampuan secara akademis, agamais, namun memiliki kemampuan EQ,SQ, IQ yang tercermin dalam tindakan jujur, tanggung jawab, visioner, disiplin, kerjasama, adil, dan peduli.
alamat Pengelola Sungai Penuh/Sarolangun/Kerinci Jambi alamat email syamsulbahri_1605@yahoo.com
Senin, 14 September 2009
STIMULUS EKONOMI YANG BELUM MULUS
STIMULUS EKONOMI YANG BELUM MULUS
By Syamsul Bahri, SE (Pengamat Lingkungan di Jambi/Conservationis di TN Bukit 12, Dosen STIE SAK Kerinci)
Krisis ekonomi global yang melanda seluruh dunia, termasuk Negara Indonesia, direpotkan untuk mempertahankan kekuatan ekonomi, meminimalkan dampak krisis, telah memukul sejumlah negara berkembang. Krisis membuat aliran modal keluar, menurunkan bantuan, dan menghambat ekspor. Tahun ini diperkirakan 400.000 bayi akan meninggal sebagai dampak tak langsung dari krisis ekonomi, di luar kematian rutin (Presiden Bank Dunia Robert Zoellick di Brussels, Belgia, Sabtu (21/3)
Untuk mengatasi krisis, hampir semua negara sudah dan akan mencanangkan stimulus atau peningkatan anggaran pemerintah untuk menggenjot permintaan. Juga sudah dibahas rencana penyelamatan perbankan yang didera kredit macet dan enggan menyalurkan kredit.
Begitu juga dengan negara Indonesia, yang sudah direncanakan stimulus ekonomi pada bulan Maret 2009, namun sampai saat ini Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) belum turun sehingga proyek-proyek yang dibiayai dengan anggaran stimulus juga belum bisa dikerjakan, pada hal kondisi triwulan I sudah hampir habis.
Kondisi ini memang dirasakan sangat terlambat, karena baik menteri, Gubernur, bupati/wali kota, kayaknya tidak fokus untuk mensukseskan stimulus tersebut, mereka lebih disibukan dengan perjuangan Partai dalam menyukseskan Partai dan caleg dalam memenuhi BPP baik di Propinsi, Pusat, Kabupaten dan Kota, hal itu cukup beralasan, karena apa yang diraih hari ini sudah hampir berakhir, dan yang harus di kejar adalah kekuasaan pasca Pemilu Tahun 2009, terutama untuk dapat mengusung Capres dan Wacapres.
,
Walaupun secara pondamental kekuatan ekonomi Indonesia merupakan yang cukup kuat di Asia Tenggara, yang didukung pasar domestik. Di sini peran dari konsumsi rumah tangga menjadi krusial, yaitu proporsi konsumsi rumah tangga terhadap produk domestik bruto sekitar 65 persen. Jika konsumsi rumah tangga dapat tumbuh 5 persen, pertumbuhan ekonomi dari konsumsi rumah tangga sudah 3,25 persen, disamping mungkin pengaruh konsumsi Pesta Demokrasi
Stimulus disadari merupakan penanggulangan jangka pendek, namun diharapkan akan memberikan pengaruh yang positif jangka panjang terutama dalam mendukung ekonomi berbasis pertanian secara intensif, untuk memperkuat pondamental ekonomi yang terbukti meberi andil yang cukup besar mempertahankan kekuatan ekonomi dalam berbagai krisis ekonomi
Karena krisis ekonomi global, tidak hanya dipengaruhi oleh financial (fiskal dan moneter), tetapi juga dipengarhi oleh perubahan iklim globbal, dimana bancana alam, yang menimbulkan berbagai kerusakan potensi ekonomi terutama ekonomi berbasis pertanian, dengan tidak mengabaikan sektor lain seperti perindustrian, yang membawa pengaruh terhadap berbagai aspek.
Sehingga stimulus tersebut dapat memahami kondisi yang menjadi persoalan pokok dalam perekonomian Indonesia, tentunya stimulus akan memberikan dampak peningkatan daya beli masyarakat.
Pemilihan prioritas stimulus dan pembiayaannya jadi penting. Inilah yang akan membuat stimulus menjadi efektif, dihartapkan kebijakan pemanfaatan Dana Stimulus diarahkan bagi sektor pertanian darat maupun laut dan faktor pendukung kegiatan Pertanian adalah kerusakan hutan dll, khususnya bagi pertanian sekaligus mengurangi ketergantungan pada produk pertanian asing dan menambah dorongan pro produksi dalam negeri serta, hal ini mengutip statemen Duta Besar PBB untuk Millenium Development Goals (MDGs) Asia Pasifik, Erna Witoelar menyatakan perusakan lingkungan menyebabkan masyarakat semakin miskin karena rusaknya sumber daya potensial. "Angka kemiskinan akan terus naik seiring dengan kerusakan lingkungan," Berdasarkan hasil evaluasi program MDGs di Asia Pasifik, tahun 2006 Indonesia dinilai mengalami penurunan pencapaian target MDGs. "Penurunannya sangat parah," kata dia dalam diskusi "Pemenuhan dan Pemulihan Keadilan Ekologis,". Penyebab utamanya adalah bencana alam akibat kerusakan ekologis dan konflik politik. Mundurnya pencapaian pembangunan itu, kata dia, menyebabkan masyarakat semakin miskin, akses pada sarana pendidikan dan kesehatan minim dan lingkungan yang semakin rusak.
Memang kenyataan ini, belum banyak dilirik dalam mengentaskan kemiskinan di Indonesia, sehingga beberapa kajian Indikator dan penyebab kemiskinan serta upaya pengentasan kemiskian secara lintas sektoral di Indonesia aspek ekologis sangat minim diperhatikan terutama mengurangi kerusakan ekologis seperti deforestrasi, sehingga kerusakan ekologis sebagai suatu penyebab kemisikinan terbesar baik di desa maupun di kota secara bertahap dan kontinyu serta pasti
Karena pelaksanaan stimulus tanpa mengatasi akar masalah, tentunya tidak akan menyelesaikan masalah atau meminimalkan dampak, tentunya melakukan sesuatu tanpa memberi efek yang pas
By Syamsul Bahri, SE (Pengamat Lingkungan di Jambi/Conservationis di TN Bukit 12, Dosen STIE SAK Kerinci)
Krisis ekonomi global yang melanda seluruh dunia, termasuk Negara Indonesia, direpotkan untuk mempertahankan kekuatan ekonomi, meminimalkan dampak krisis, telah memukul sejumlah negara berkembang. Krisis membuat aliran modal keluar, menurunkan bantuan, dan menghambat ekspor. Tahun ini diperkirakan 400.000 bayi akan meninggal sebagai dampak tak langsung dari krisis ekonomi, di luar kematian rutin (Presiden Bank Dunia Robert Zoellick di Brussels, Belgia, Sabtu (21/3)
Untuk mengatasi krisis, hampir semua negara sudah dan akan mencanangkan stimulus atau peningkatan anggaran pemerintah untuk menggenjot permintaan. Juga sudah dibahas rencana penyelamatan perbankan yang didera kredit macet dan enggan menyalurkan kredit.
Begitu juga dengan negara Indonesia, yang sudah direncanakan stimulus ekonomi pada bulan Maret 2009, namun sampai saat ini Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) belum turun sehingga proyek-proyek yang dibiayai dengan anggaran stimulus juga belum bisa dikerjakan, pada hal kondisi triwulan I sudah hampir habis.
Kondisi ini memang dirasakan sangat terlambat, karena baik menteri, Gubernur, bupati/wali kota, kayaknya tidak fokus untuk mensukseskan stimulus tersebut, mereka lebih disibukan dengan perjuangan Partai dalam menyukseskan Partai dan caleg dalam memenuhi BPP baik di Propinsi, Pusat, Kabupaten dan Kota, hal itu cukup beralasan, karena apa yang diraih hari ini sudah hampir berakhir, dan yang harus di kejar adalah kekuasaan pasca Pemilu Tahun 2009, terutama untuk dapat mengusung Capres dan Wacapres.
,
Walaupun secara pondamental kekuatan ekonomi Indonesia merupakan yang cukup kuat di Asia Tenggara, yang didukung pasar domestik. Di sini peran dari konsumsi rumah tangga menjadi krusial, yaitu proporsi konsumsi rumah tangga terhadap produk domestik bruto sekitar 65 persen. Jika konsumsi rumah tangga dapat tumbuh 5 persen, pertumbuhan ekonomi dari konsumsi rumah tangga sudah 3,25 persen, disamping mungkin pengaruh konsumsi Pesta Demokrasi
Stimulus disadari merupakan penanggulangan jangka pendek, namun diharapkan akan memberikan pengaruh yang positif jangka panjang terutama dalam mendukung ekonomi berbasis pertanian secara intensif, untuk memperkuat pondamental ekonomi yang terbukti meberi andil yang cukup besar mempertahankan kekuatan ekonomi dalam berbagai krisis ekonomi
Karena krisis ekonomi global, tidak hanya dipengaruhi oleh financial (fiskal dan moneter), tetapi juga dipengarhi oleh perubahan iklim globbal, dimana bancana alam, yang menimbulkan berbagai kerusakan potensi ekonomi terutama ekonomi berbasis pertanian, dengan tidak mengabaikan sektor lain seperti perindustrian, yang membawa pengaruh terhadap berbagai aspek.
Sehingga stimulus tersebut dapat memahami kondisi yang menjadi persoalan pokok dalam perekonomian Indonesia, tentunya stimulus akan memberikan dampak peningkatan daya beli masyarakat.
Pemilihan prioritas stimulus dan pembiayaannya jadi penting. Inilah yang akan membuat stimulus menjadi efektif, dihartapkan kebijakan pemanfaatan Dana Stimulus diarahkan bagi sektor pertanian darat maupun laut dan faktor pendukung kegiatan Pertanian adalah kerusakan hutan dll, khususnya bagi pertanian sekaligus mengurangi ketergantungan pada produk pertanian asing dan menambah dorongan pro produksi dalam negeri serta, hal ini mengutip statemen Duta Besar PBB untuk Millenium Development Goals (MDGs) Asia Pasifik, Erna Witoelar menyatakan perusakan lingkungan menyebabkan masyarakat semakin miskin karena rusaknya sumber daya potensial. "Angka kemiskinan akan terus naik seiring dengan kerusakan lingkungan," Berdasarkan hasil evaluasi program MDGs di Asia Pasifik, tahun 2006 Indonesia dinilai mengalami penurunan pencapaian target MDGs. "Penurunannya sangat parah," kata dia dalam diskusi "Pemenuhan dan Pemulihan Keadilan Ekologis,". Penyebab utamanya adalah bencana alam akibat kerusakan ekologis dan konflik politik. Mundurnya pencapaian pembangunan itu, kata dia, menyebabkan masyarakat semakin miskin, akses pada sarana pendidikan dan kesehatan minim dan lingkungan yang semakin rusak.
Memang kenyataan ini, belum banyak dilirik dalam mengentaskan kemiskinan di Indonesia, sehingga beberapa kajian Indikator dan penyebab kemiskinan serta upaya pengentasan kemiskian secara lintas sektoral di Indonesia aspek ekologis sangat minim diperhatikan terutama mengurangi kerusakan ekologis seperti deforestrasi, sehingga kerusakan ekologis sebagai suatu penyebab kemisikinan terbesar baik di desa maupun di kota secara bertahap dan kontinyu serta pasti
Karena pelaksanaan stimulus tanpa mengatasi akar masalah, tentunya tidak akan menyelesaikan masalah atau meminimalkan dampak, tentunya melakukan sesuatu tanpa memberi efek yang pas
POLEMIK KAWASAN KONSERVASI DI INDONESIA ERA OTONOMI DAERAH
POLEMIK KAWASAN KONSERVASI DI INDONESIA ERA OTONOMI DAERAH
(Kompensasi dan kompensasi)
By Syamsul Bahri, SE Pengamatan Lingkungan dan Ekonomi
(bahritnks@telkom.net)
Taman Nasional sebagaimana di amanatkan oleh UU No. 5 tahun 1990, tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, pasal 1 (14) adalah adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Sedangkan kawasan pelestarian Alam (KPA) pasal 1 (13) adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun di perairan yang mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, menurut pasal 6 adalah Sistem penyangga kehidupan merupakan satu proses alami dari berbagai unsur hayati dan nonhayati yang menjamin kelangsungan kehidupan makhluk, dan pasal 7 adalah Perlindungan sistem penyangga kehidupan ditujukan bagi terpeliharanya proses ekologis yang menunjang kelangsungan kehidupan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia,
Dari pemahaman pasal-pasal tersebut, makan dapat diuraikan jelas bahwa taman nasional sbb
1. pasal 1 (14) yang dikelola melalui sistim zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dimana setiap zonasi memiliki ketentuan-ketentuan, salah satu zonanya adalah zona pemanfaatan yang akan memberikan akses masyarakat untuk dapat memanfaatkan potensi non timber secara lestari dan bertanggung jawab, sedsuai Sehingga pemanfaatan sebagaimana pasal 26 bahwa pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dilakukan melalui kegiatan: pemanfaatan kondisi lingkungan kawasan pelestarian alam; pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar, pasal 27 Pemanfaatan kondisi lingkungan kawasan pelestarian alam dilakukan dengan tetap menjaga kelestarian fungsi kawasan. dalam rangka meningkatkan pendapatan masyarakat, sehingga apa yang banyak dikatakan oleh banyak tokoh bahwa taman nasional itu seranting pohon tidak boleh diambil, seekor nyamuk tidak boleh dibunuh, sudah terjawab, namun bagaimana memanfaatkan potensi itu berdasarkan azas pelestarian, dalam bentuk Pemanfaatan jasa lingkungan dan wisata alam, serta zona yang memungkinkan untuk dimanfaatkan secara sangat terbatas seperti zona rimba.
2. Pasal 1 (13) mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, fungsi utama adalah menyangga kehidupan, sehingga peran dan fungsi Taman Nasional melindungi dan menyangga kehidupan mahluk hidup termasuk manusia, yang berada disekitarnya dan didalam kawasan, betepa pentingnya makna penyangga kehidupan
3. Pasal 6 sistim penyangga kehidupan yang menjamin kelangsungan mahluk hidup, termasuk manusia
4. Pasal 7 sistim penyangga ditujukan untuk terpeliharanya proses kehidupan/ekologis untuk kesejahteraan masyarakat.
Dalam penentuan sebuah taman nasional dilihat dari indikator memiliki ekosistem asli, dan melindungi kawasan yang berada di bawah dan atau sekitarnya, tanpa melihat aspek administratif, melainkan berorientasi pada ekolgis, atau bioregional, mungkin terdapat dalam lebih satu kabupaten, lebih satu propinsi, lintas negara.
Pemahaman ini nampaknya menjadi dilematis dalam era Otonomi daerah, yang menganggap bahwa SDA dilihat dari aspek willayah administratif dan nilai ekonomi langsung jangka pendek yang menjadi sumber PAD dalam mendukung pembangunan, padahal prinsip ini akan sangat merugikan pengelolaan kawasan konservasi, yang mengalami tekanan dari berbagai orientasi pembangunan yang menurus pada eksploitatif dan perubahan bentang alam, dimana kawasan konservasi menjadi penyangga ekonomi dan penyangga kehidupan bagi masyarakat sekitarnya dan yang berada dihilirnya
Dilematis ini terus dan terus berkembang dan tekanan kawasan konservasi sebagai penyangga kehidupan semakin berat dan fakta mengatakan bahwa banyak tempat dan banyak daerah serta negara telah merasakan akibat pembangunan yang tidak dan atau kurang memperhatikan lingkungan, dan mereka mulai teriak dan meminta kepada pemimpin untuk kembali memperhatikan RTRW yang berdimensi mencegah bencana dan mendukung ekonomi jangka panjang.
Memang disadari rezim yang memerintah pada suatu Kabupaten/Propinsi berusaha untuk meningkatkan pendapatan yang terakumulasi dalam PAD, melalui berbagai eksploitatif kawasan hutan (peruntukannya adalah fungsi lindung/konservasi dll) di konversi menjadi baik untuk perkebunan sawit, pertambangan, Pemanfaatan Kayu dll, namun hendaknya juga memikirikan dampak yang akan diterima oleh penguasa selanjutnya dan generasi yang akan datang, jangan sampai pemimpin dan generasi yang akan datang harus menanggung beban, baik beban utang, opportunity cost, beban sosial, beban mental yang merupakan kemiskinan yang terskenerio untuk generasi yang akan datang.
Dilematis ini juga akan dapat dieleminir, melalui kempensasi yang diamanatkan oleh UU No. 41 tahun 1999, pasal 68 ayat 3 “Masyarakat di dalam dan di sekitar hutan berhak memperoleh kompensasi karena hilangnya akses dengan hutan sekitarnya sebagai lapangan kerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya akibat penetapan kawasan hutan, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku”., dan pasal 60 (1) “Masyarakat berkewajiban untuk ikut serta memelihara dan menjaga kawasan hutan dari gangguan dan perusakan”
Jelas bahwa mekanisme kompensasi yang telah ada mungkin melalui DAU, DAK, APBD Prop, PDRB Hijau, DNS, CDM, Carbon Trade dll, namun belum jelas dan belum difahami oleh masyarakat, sehingga mekanisme kompensasi perlu adanya penegasan dan ketentuan yang mengikat, baik kompensasi dari Negara, Propinsi, Lemgbaga Internasional, yang mengalokasikan dana pemberdayaan bagi masyarakat yang berada disekitar kawasan konservasi yang tidak bisa menikmati langsung nilai ekonomi hutan.
Banyak Kabupaten/LSM berteriak tentang mana kompensasi Taman Nasional, sebenarnya kompensasi tidak bisa diteriakan oleh Kabupaten/Propinsi yang memiliki kawasan konservasi, tetapi harus melalui proses kajian dan analis dalam penyusunan konsep yang menjadi sebuah Project proposal, ini harusnya menjadi pemikiran bagi pejabat untuk memikirkan kompensasinya. Kita juga harus menyadari bahwa masyarakat sekitar kawasan konservasi memiliki hak untuk hidup layak dan memiliki akses ekonomi ke pusat sumber perekonomian, tentunya tetap mengacu pada ketentuan yang berlaku
Disini jelas, dibutuhkan pemikiran yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat dengan tetap menjaga lingkungan, pejabat atau pemikir seperti ini sangat sulit muncul di era Otonomi daerah, karena hampir pejabat politik berorientasi pada financial benefit jangka pendek, sehinga masa yang akan datang dibutuhkan Pejabat yang arif dalam ekonomi, arif dalam lingkungan, berfikir global berorientasi lokal
Kenyataan banyak pejabat dan balon/calon pejabat justru perusakan lingkungan dalam kemasan apapun dijadikan komoditas kampanye, akhirnya setelah mereka menduduki jabatan tersebut dituntut oleh masyarakat, dan mereka sangat tahu bahwa apa yang mereka jual dalam kampanye politik, baik saa menjabat untuk mendapatkan simpati agar dipilih lagi, atau calon pejabat yang berusaha meraih simpati, jualan tersebut jelas bertentangan dengan UU dan Peraturan yang berlaku.
(Kompensasi dan kompensasi)
By Syamsul Bahri, SE Pengamatan Lingkungan dan Ekonomi
(bahritnks@telkom.net)
Taman Nasional sebagaimana di amanatkan oleh UU No. 5 tahun 1990, tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, pasal 1 (14) adalah adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Sedangkan kawasan pelestarian Alam (KPA) pasal 1 (13) adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun di perairan yang mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, menurut pasal 6 adalah Sistem penyangga kehidupan merupakan satu proses alami dari berbagai unsur hayati dan nonhayati yang menjamin kelangsungan kehidupan makhluk, dan pasal 7 adalah Perlindungan sistem penyangga kehidupan ditujukan bagi terpeliharanya proses ekologis yang menunjang kelangsungan kehidupan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia,
Dari pemahaman pasal-pasal tersebut, makan dapat diuraikan jelas bahwa taman nasional sbb
1. pasal 1 (14) yang dikelola melalui sistim zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dimana setiap zonasi memiliki ketentuan-ketentuan, salah satu zonanya adalah zona pemanfaatan yang akan memberikan akses masyarakat untuk dapat memanfaatkan potensi non timber secara lestari dan bertanggung jawab, sedsuai Sehingga pemanfaatan sebagaimana pasal 26 bahwa pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dilakukan melalui kegiatan: pemanfaatan kondisi lingkungan kawasan pelestarian alam; pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar, pasal 27 Pemanfaatan kondisi lingkungan kawasan pelestarian alam dilakukan dengan tetap menjaga kelestarian fungsi kawasan. dalam rangka meningkatkan pendapatan masyarakat, sehingga apa yang banyak dikatakan oleh banyak tokoh bahwa taman nasional itu seranting pohon tidak boleh diambil, seekor nyamuk tidak boleh dibunuh, sudah terjawab, namun bagaimana memanfaatkan potensi itu berdasarkan azas pelestarian, dalam bentuk Pemanfaatan jasa lingkungan dan wisata alam, serta zona yang memungkinkan untuk dimanfaatkan secara sangat terbatas seperti zona rimba.
2. Pasal 1 (13) mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, fungsi utama adalah menyangga kehidupan, sehingga peran dan fungsi Taman Nasional melindungi dan menyangga kehidupan mahluk hidup termasuk manusia, yang berada disekitarnya dan didalam kawasan, betepa pentingnya makna penyangga kehidupan
3. Pasal 6 sistim penyangga kehidupan yang menjamin kelangsungan mahluk hidup, termasuk manusia
4. Pasal 7 sistim penyangga ditujukan untuk terpeliharanya proses kehidupan/ekologis untuk kesejahteraan masyarakat.
Dalam penentuan sebuah taman nasional dilihat dari indikator memiliki ekosistem asli, dan melindungi kawasan yang berada di bawah dan atau sekitarnya, tanpa melihat aspek administratif, melainkan berorientasi pada ekolgis, atau bioregional, mungkin terdapat dalam lebih satu kabupaten, lebih satu propinsi, lintas negara.
Pemahaman ini nampaknya menjadi dilematis dalam era Otonomi daerah, yang menganggap bahwa SDA dilihat dari aspek willayah administratif dan nilai ekonomi langsung jangka pendek yang menjadi sumber PAD dalam mendukung pembangunan, padahal prinsip ini akan sangat merugikan pengelolaan kawasan konservasi, yang mengalami tekanan dari berbagai orientasi pembangunan yang menurus pada eksploitatif dan perubahan bentang alam, dimana kawasan konservasi menjadi penyangga ekonomi dan penyangga kehidupan bagi masyarakat sekitarnya dan yang berada dihilirnya
Dilematis ini terus dan terus berkembang dan tekanan kawasan konservasi sebagai penyangga kehidupan semakin berat dan fakta mengatakan bahwa banyak tempat dan banyak daerah serta negara telah merasakan akibat pembangunan yang tidak dan atau kurang memperhatikan lingkungan, dan mereka mulai teriak dan meminta kepada pemimpin untuk kembali memperhatikan RTRW yang berdimensi mencegah bencana dan mendukung ekonomi jangka panjang.
Memang disadari rezim yang memerintah pada suatu Kabupaten/Propinsi berusaha untuk meningkatkan pendapatan yang terakumulasi dalam PAD, melalui berbagai eksploitatif kawasan hutan (peruntukannya adalah fungsi lindung/konservasi dll) di konversi menjadi baik untuk perkebunan sawit, pertambangan, Pemanfaatan Kayu dll, namun hendaknya juga memikirikan dampak yang akan diterima oleh penguasa selanjutnya dan generasi yang akan datang, jangan sampai pemimpin dan generasi yang akan datang harus menanggung beban, baik beban utang, opportunity cost, beban sosial, beban mental yang merupakan kemiskinan yang terskenerio untuk generasi yang akan datang.
Dilematis ini juga akan dapat dieleminir, melalui kempensasi yang diamanatkan oleh UU No. 41 tahun 1999, pasal 68 ayat 3 “Masyarakat di dalam dan di sekitar hutan berhak memperoleh kompensasi karena hilangnya akses dengan hutan sekitarnya sebagai lapangan kerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya akibat penetapan kawasan hutan, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku”., dan pasal 60 (1) “Masyarakat berkewajiban untuk ikut serta memelihara dan menjaga kawasan hutan dari gangguan dan perusakan”
Jelas bahwa mekanisme kompensasi yang telah ada mungkin melalui DAU, DAK, APBD Prop, PDRB Hijau, DNS, CDM, Carbon Trade dll, namun belum jelas dan belum difahami oleh masyarakat, sehingga mekanisme kompensasi perlu adanya penegasan dan ketentuan yang mengikat, baik kompensasi dari Negara, Propinsi, Lemgbaga Internasional, yang mengalokasikan dana pemberdayaan bagi masyarakat yang berada disekitar kawasan konservasi yang tidak bisa menikmati langsung nilai ekonomi hutan.
Banyak Kabupaten/LSM berteriak tentang mana kompensasi Taman Nasional, sebenarnya kompensasi tidak bisa diteriakan oleh Kabupaten/Propinsi yang memiliki kawasan konservasi, tetapi harus melalui proses kajian dan analis dalam penyusunan konsep yang menjadi sebuah Project proposal, ini harusnya menjadi pemikiran bagi pejabat untuk memikirkan kompensasinya. Kita juga harus menyadari bahwa masyarakat sekitar kawasan konservasi memiliki hak untuk hidup layak dan memiliki akses ekonomi ke pusat sumber perekonomian, tentunya tetap mengacu pada ketentuan yang berlaku
Disini jelas, dibutuhkan pemikiran yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat dengan tetap menjaga lingkungan, pejabat atau pemikir seperti ini sangat sulit muncul di era Otonomi daerah, karena hampir pejabat politik berorientasi pada financial benefit jangka pendek, sehinga masa yang akan datang dibutuhkan Pejabat yang arif dalam ekonomi, arif dalam lingkungan, berfikir global berorientasi lokal
Kenyataan banyak pejabat dan balon/calon pejabat justru perusakan lingkungan dalam kemasan apapun dijadikan komoditas kampanye, akhirnya setelah mereka menduduki jabatan tersebut dituntut oleh masyarakat, dan mereka sangat tahu bahwa apa yang mereka jual dalam kampanye politik, baik saa menjabat untuk mendapatkan simpati agar dipilih lagi, atau calon pejabat yang berusaha meraih simpati, jualan tersebut jelas bertentangan dengan UU dan Peraturan yang berlaku.
MANAJEMEN KONSERVASI DAN OTONOMI DAERAH
BERKACA DICERMIN RETAK
(MANAJEMEN KONSERVASI DAN OTONOMI DAERAH)
(by Syamsul Bahri, SE, Conservationis di Jambi, Dosen STIE-SAK, syamsul_12@yahoo.co.id)
Era otonomi daerah yang diimplementasikan sejak Januari 2001, secara fundamental akan menyusun ulang bentuk hubungan antara pemerintah pusat di Jakarta dan otoritas lokal dalam semua sektor, termasuk sektor kehutanan. Otoritas propinsi dan Kabupaten menjadi semakin menolak inisiatif-inisiatif gaya lama yang diatur dari pusat. Pada saat yang bersamaan, pemerintah pusat tetap bertanggung jawab atas kawasan yang di Konservasi. Dalam banyak kasus, hal ini menjadikan lumpuhnya manajemen kawasan Konservasi. Meskipun kepastian soal kekuasaan hukum di kawasan Konservasi antara pemerintah pusat dan otoritas tingkat daerah sudah jelas, namun kepentingan PAD membuat management konservasi menjadi tidak kuat, kecenderungan desentralisasi membuka pintu terhadap peningkatan partisipasi lokal dalam hal alokasi dan manajemen sumber-sumber daya alam dan peningkatan tanggung jawab pemerintah di tingkat lokal. Namun, jika tidak dilaksanakan dengan baik, desentralisasi juga menaruh risiko besar terjadinya percepatan kerusakan lingkungan.
Keadaan kawasan konservasi yang terus memburuk dan cepatnya kerusakan hutan dataran rendah sampai dataran tinggi merupakan ancaman umum terhadap keanekaragaman hayati Sumatera yang nampak nyata. Sebenarnya para pemimpin politik dan eksekutif hendak bercermin dengan cermin yang benar, tidak bercermin di kaca retak, dengan kondisi yang sudah terjadi saat ini, dimana tempat di wilayah Indonesia bahkan dunia mengalami bencana, karena faktor lingkungan dan daya lenting lingkungan yang sudah tidak mampu lagi, kenyataannya, para pemimpin saat ini justru bercermin di kaca retak, bencana yang menimpa justru ingin diciptakan dengan membuat kebijaksanaan yang cenderung tidak berfihak pada lingkungan yang akan memperbesar bencana yang akan timbul dimasa yang akan datang, kebijakan yang sangat tidak berfihak pada lingkungan antara lain merencanakan pembangunan memotong kawasan konservasi, mengksploitasi kawasan tersebut menjadi lahan pertambangan, perkebunan, menjadikan lahan tersebut menjadi areal transmigrasi, jelas kawasan tersebut dilindungi oleh Undang-Undang, seakan-akan era otonomi membutakan kan mata dan menghalalkan cara hanya untuk memenuhi PAD jangka pendek selama rezin mereka berkuasa, dan bagimana pemimpin berikutnya menerima akibat baik akibat opportunity maupun bencana yang discenerio dimasa yang akan datang.
Sebelum membicarakan ancaman-ancaman pokok lainnya, penting untuk mempertimbangkan penyebab-penyebab utamanya:
1. Kurangnya kemauan politik. Meskipun deklarasi-deklarasi di tingkat nasional telah mengarah pada penghentian pengrusakan hutan yang illegal/legal dan perdagangan satwa liar yang ilegal, hanya ada sedikit kemauan politik atau perhatian yang terorganisir baik untuk melakukan hal yang sama pada tingkat lokal. Bahkan cenderung Kemauan politik tingkat regional dalam bentuk deklarasi serta kesepakatan baik menghentikan Illegal loging, perburuan satwa, maupun deklarasi pelestarian kawasan konservasi cenderung merupakan lip servise dan sangat tidak ada kemauan untuk mengimplementasikan
2. Kemiskinan. Kemiskinan yang terstruktur akibat kebijakan yang tidak berfihak pada lingkungan masa yang akan datang lebih besar
3. Korupsi, kolusi dan nepotisme. Penyalahgunaan wewenang untuk mendapatkan keuntungan pribadi merupakan warisan yang telah merajalela dan banyak didokumentasikan sejak dulu. Keterlibatan berbagai pihak dalam pengrusakan sumber-sumber daya hutan.
4. Penegakan hukum yang tidak berfungsi. Tiadanya penegakan hukum, khususnya dalam sektor kehutanan, telah umum diketahui, bahkan dalam pernyataan-pernyataan resmi oleh Menteri Kehutanan Indonesia.
5. Dorongan kuat terhadap pembabatan dan perubahan fungsi hutan. Keuntungan dari industri minyak kelapa sawit dan kebangkrutan industri kertas dan bubur kertas, mendorong terjadinya pembabatan, pembakaran dan perubahan fungsi hutan dalam skala besar, proses pembalakan dan perubahan fungsi tersebut memberikan mata pencaharian bagi masyarakat lokal, yang meskipun tidak sah namun sangat dibutuhkan.
6. Dorongan terhadap upaya konservasi tidak memadai. Nilai dari layanan-layanan ekologis (misalnya pengendalian banjir, fungsi-fungsi aliran air, dan pemanfaatan hasil-hasil hutan yang diatur dengan baik) tidaklah dipahami dengan baik, sementara hukuman terhadap pembabatan hutan yang ilegal kurang memadai.
Kondisi menyebabkan terparah karena terjadi
1. Penebangan Kayu Legal dan Ilegal Pemanfaatan hasil hutan baik kayu maupun non-kayu yang tidak sah dan ilegal terjadi merajalela di seluruh Sumatera, terkadang mendapat dukungan dari militer, polisi , serta industri-industri perkayuan, kertas dan bubur kertas. Harga kayu ilegal jauh lebih rendah dari kayu legal, sehingga operasi yang legal tidak mendapat keuntungan ekonomis. Situasi ini diperburuk oleh meningkatnya permintaan kayu dari Cina, sebagai akibat adanya larangan penebangan kayu di negara tersebut. Kayu ilegal dari Sumatera diselundupkan melalui Malaysia untuk memenuhi permintaan dari Cina, Amerika Utara, Eropa, dan Jepang. Industri kertas dan bubur kertas merupakan faktor utama ancaman yang terjadi akibat penebangan kayu..
2. Perkebunan Kelapa Sawit pemerintah daerah mempromosikan ekspansi dari perkebunan kelapa sawit. Beberapa Gubernur mengumumkan rencana untuk mengubah hutan menjadi kelapa sawit. Situasi ini mencerminkan besarnya rencana ekspansi kelapa sawit yang akan dilaksanakan di tempat lain, setidaknya di Propinsi Jambi, Riau dan di Sumatera utara. Pada saat yang bersamaan, kebakaran hutan banyak terjadi di seluruh Sumatera, khususnya di wilayah tengah dan selatan. Dengan meningkatnya harga minyak kelapa sawit, para pembangun perkebunan yang haus akan tanah di Sumatera dengan sengaja membakar hutan dengan skala wilayah yang luas.
3. Perdagangan Satwa dan Perburuan Liar Perdagangan satwa dan perburuan liar terjadi merajalela di Sumatera. Insentif keuangan untuk perburuan gelap sangat tinggi, sementara kesadaran dan penegakan hukum atas peraturan perdagangan satwa liar masih rendah..
4. Rencana dan Pembangunan Jalan Jalan merupakan rute dimana para penduduk dan truk-truk penebangan ilegal mendapat akses ke kawasan hutan yang dahulu terpencil, beserta semua spesies yang hidup di dalamnya. Jalan-jalan untuk penebangan hutan ini seringkali menjadi rute transportasi resmi yang diadopsi oleh pemerintah lokal. Di sebagian besar wilayah Sumatera, pembangunan jalan untuk penebangan ini menandai tahap pertama hilangnya hutan secara keseluruhan. Pemerintah lokal nampaknya cenderung untuk mengakomodasi konstruksi jalan sebagai suatu bentuk mendapatkan penghasilan. Gambar dari satelit mencatat ratusan jalan-jalan untuk penebangan melintasi jauh sampai ke dalam hutan-hutan Konservasi dan taman-taman nasional. Propinsi Aceh mempunyai rencana untuk membangun sistem jalan masuk, mulai dari Banda Aceh selatan sampai ke batas Ekosistem Leuser. Baru-baru ini, sebuah rencana pembangunan di Taman Nasional Kerinci Seblat, meskipun ada peraturan yang melarangnya. Secara umum, pola pembangunan jalan menunjukkan bahwa fragmentasi hutan yang lebih besar akan terjadi dalam waktu dekat.
5. Pertambangan Ledakan bisnis pertambangan dimulai pada tahun 90-an, telah menyebabkan pembangunan jalan di daerah yang dahulu terisolasi, pengrusakan hutan, banjir, dan polusi sungai, mengakibatkan kontaminasi di sistem sungai sekitar, hilangnya sumber-sumber daya air untuk penduduk desa sekitar, serta masih banyak kekuatiran lainnya.
Kondisi ini akan memperburuk mutu lingkungan, namun betapa besarnya managemen konservasi akan sangat sulit bisa mengatasi kondisi ini, apabila Pemerintah Kabupaten/Propinsi tetap bercermin di Kaca Rerak, tentunya akan menciptakan bahaya dan bencana lebih besar lagi dimasa yang akan datang.
Apalagi saat ini di beberapa daerah Kabupaten/kota dan propinsi di Sumatera akan melaksanakakan Pil”bup/Wako”kada dan Pil”gub”kada dalam rentan waktu 2010-2015, Isu PAD dan sumber PAD yang bersumber dari kawasan konservasi, serta Pembangunan jalan/infrastruktur dalam kawasan konservasi menjadi isu politik (Black Issue) yang cukup trend dalam materi kampanye dan sosialisasi para bakal calon baik Bupati/Wali kota maupun Gubernur, dengan hitungan ekonomi nilai kayu dan dampak jangka pendek terhadap infrastrukrtur yang dibangun, sebaiknya menghitung nilai ekonomi tersebut harus secara komprehensif, karena hutan konservasi memiliki nilai langsung sangat kecil dibandingkan nilai ekonomi tidak langsung, yang dikatakan nilai ekonomi total kawasan konservasi.
Pengabaikan nilai ekonomi total kawasan konservasi, memberikan nilai nyata yang terjadi bencana bahorok, gempa dan tsunami aceh dan jogya, Tasik Malaya, banjir Jakarta, lumpur panas Lapindo, banjir Riau, Jambi, Pulau, Sumatera Barat, kebakaran hutan hampir semua wilayah di Indonesia, kasus buyat, dan masih banyak lainnya.
kondisi ini justru hendaknya menjadi cermin bagi pejabat bagaimana meminimlkan bencana tersebut, jangan bercermina di kaca retak, yang membuat kebijakan yang tidak berorientasi pada lingkungan, apakah bercermin di kaca retak ini akan dilanjutkan .............................?
Diharapkan dalam pembangunan ekonomi saat ini, adalah memadukan prinsip sinergitas antara kegiatan konservasi dengan pembangunan ekonomi (darusman dan widada 2004), adalah (1) Konservasi merupakan landasan pembangunan ekonomi berkelanjutan, tanpa ada ketersediaan dan jaminan SDAH, maka pembangunan ekonomi akan terhenti; (2)Pembangunan ekonomi merupakan landasan pembangunan konservasi konservasi berkelanjutan, tanpa ada manfaat ekonomi bagi masyarakat secara berkelanjutan, dipastikan pembangunan konservasi akan akan hancur, karena masyarakat tidak peduli; (3) Kegiatan pembangunan ekonomi dan pembangunan konservasi bertujuan untuk meningkatkan mutu kehidupan dan kesejahteraan masyarakat; (4) dengan pengetahuan dan pemahaman konservasi, maka manusia lebih mampu dan memahami kompleksitas tentang ekologi dan ekosistem sehingga menyadari, bahwa SDA perlu dikelola secara hati-hati dan, agar tetap lestari meskipipu SDA itu dimanfaatkan secara terus menerus; (5) Dengan pengetahuan ekonomi, manusia akan lebih arif menentukan pilihan aktivitas ekonomi yang paling rasional dalam mengunakan SDA untuk memenuhi kebutuhan hidup dan meningkatkan kesejahteraan secara berkesinambungan
Dan perlu mernjadi catatan bahwa Kebutuhan adanya konservasi keanekaragaman hayati di Sumatera merupakan salah satu hal yang paling mendesak di planet ini, dalam meminimalkan bencana.
(MANAJEMEN KONSERVASI DAN OTONOMI DAERAH)
(by Syamsul Bahri, SE, Conservationis di Jambi, Dosen STIE-SAK, syamsul_12@yahoo.co.id)
Era otonomi daerah yang diimplementasikan sejak Januari 2001, secara fundamental akan menyusun ulang bentuk hubungan antara pemerintah pusat di Jakarta dan otoritas lokal dalam semua sektor, termasuk sektor kehutanan. Otoritas propinsi dan Kabupaten menjadi semakin menolak inisiatif-inisiatif gaya lama yang diatur dari pusat. Pada saat yang bersamaan, pemerintah pusat tetap bertanggung jawab atas kawasan yang di Konservasi. Dalam banyak kasus, hal ini menjadikan lumpuhnya manajemen kawasan Konservasi. Meskipun kepastian soal kekuasaan hukum di kawasan Konservasi antara pemerintah pusat dan otoritas tingkat daerah sudah jelas, namun kepentingan PAD membuat management konservasi menjadi tidak kuat, kecenderungan desentralisasi membuka pintu terhadap peningkatan partisipasi lokal dalam hal alokasi dan manajemen sumber-sumber daya alam dan peningkatan tanggung jawab pemerintah di tingkat lokal. Namun, jika tidak dilaksanakan dengan baik, desentralisasi juga menaruh risiko besar terjadinya percepatan kerusakan lingkungan.
Keadaan kawasan konservasi yang terus memburuk dan cepatnya kerusakan hutan dataran rendah sampai dataran tinggi merupakan ancaman umum terhadap keanekaragaman hayati Sumatera yang nampak nyata. Sebenarnya para pemimpin politik dan eksekutif hendak bercermin dengan cermin yang benar, tidak bercermin di kaca retak, dengan kondisi yang sudah terjadi saat ini, dimana tempat di wilayah Indonesia bahkan dunia mengalami bencana, karena faktor lingkungan dan daya lenting lingkungan yang sudah tidak mampu lagi, kenyataannya, para pemimpin saat ini justru bercermin di kaca retak, bencana yang menimpa justru ingin diciptakan dengan membuat kebijaksanaan yang cenderung tidak berfihak pada lingkungan yang akan memperbesar bencana yang akan timbul dimasa yang akan datang, kebijakan yang sangat tidak berfihak pada lingkungan antara lain merencanakan pembangunan memotong kawasan konservasi, mengksploitasi kawasan tersebut menjadi lahan pertambangan, perkebunan, menjadikan lahan tersebut menjadi areal transmigrasi, jelas kawasan tersebut dilindungi oleh Undang-Undang, seakan-akan era otonomi membutakan kan mata dan menghalalkan cara hanya untuk memenuhi PAD jangka pendek selama rezin mereka berkuasa, dan bagimana pemimpin berikutnya menerima akibat baik akibat opportunity maupun bencana yang discenerio dimasa yang akan datang.
Sebelum membicarakan ancaman-ancaman pokok lainnya, penting untuk mempertimbangkan penyebab-penyebab utamanya:
1. Kurangnya kemauan politik. Meskipun deklarasi-deklarasi di tingkat nasional telah mengarah pada penghentian pengrusakan hutan yang illegal/legal dan perdagangan satwa liar yang ilegal, hanya ada sedikit kemauan politik atau perhatian yang terorganisir baik untuk melakukan hal yang sama pada tingkat lokal. Bahkan cenderung Kemauan politik tingkat regional dalam bentuk deklarasi serta kesepakatan baik menghentikan Illegal loging, perburuan satwa, maupun deklarasi pelestarian kawasan konservasi cenderung merupakan lip servise dan sangat tidak ada kemauan untuk mengimplementasikan
2. Kemiskinan. Kemiskinan yang terstruktur akibat kebijakan yang tidak berfihak pada lingkungan masa yang akan datang lebih besar
3. Korupsi, kolusi dan nepotisme. Penyalahgunaan wewenang untuk mendapatkan keuntungan pribadi merupakan warisan yang telah merajalela dan banyak didokumentasikan sejak dulu. Keterlibatan berbagai pihak dalam pengrusakan sumber-sumber daya hutan.
4. Penegakan hukum yang tidak berfungsi. Tiadanya penegakan hukum, khususnya dalam sektor kehutanan, telah umum diketahui, bahkan dalam pernyataan-pernyataan resmi oleh Menteri Kehutanan Indonesia.
5. Dorongan kuat terhadap pembabatan dan perubahan fungsi hutan. Keuntungan dari industri minyak kelapa sawit dan kebangkrutan industri kertas dan bubur kertas, mendorong terjadinya pembabatan, pembakaran dan perubahan fungsi hutan dalam skala besar, proses pembalakan dan perubahan fungsi tersebut memberikan mata pencaharian bagi masyarakat lokal, yang meskipun tidak sah namun sangat dibutuhkan.
6. Dorongan terhadap upaya konservasi tidak memadai. Nilai dari layanan-layanan ekologis (misalnya pengendalian banjir, fungsi-fungsi aliran air, dan pemanfaatan hasil-hasil hutan yang diatur dengan baik) tidaklah dipahami dengan baik, sementara hukuman terhadap pembabatan hutan yang ilegal kurang memadai.
Kondisi menyebabkan terparah karena terjadi
1. Penebangan Kayu Legal dan Ilegal Pemanfaatan hasil hutan baik kayu maupun non-kayu yang tidak sah dan ilegal terjadi merajalela di seluruh Sumatera, terkadang mendapat dukungan dari militer, polisi , serta industri-industri perkayuan, kertas dan bubur kertas. Harga kayu ilegal jauh lebih rendah dari kayu legal, sehingga operasi yang legal tidak mendapat keuntungan ekonomis. Situasi ini diperburuk oleh meningkatnya permintaan kayu dari Cina, sebagai akibat adanya larangan penebangan kayu di negara tersebut. Kayu ilegal dari Sumatera diselundupkan melalui Malaysia untuk memenuhi permintaan dari Cina, Amerika Utara, Eropa, dan Jepang. Industri kertas dan bubur kertas merupakan faktor utama ancaman yang terjadi akibat penebangan kayu..
2. Perkebunan Kelapa Sawit pemerintah daerah mempromosikan ekspansi dari perkebunan kelapa sawit. Beberapa Gubernur mengumumkan rencana untuk mengubah hutan menjadi kelapa sawit. Situasi ini mencerminkan besarnya rencana ekspansi kelapa sawit yang akan dilaksanakan di tempat lain, setidaknya di Propinsi Jambi, Riau dan di Sumatera utara. Pada saat yang bersamaan, kebakaran hutan banyak terjadi di seluruh Sumatera, khususnya di wilayah tengah dan selatan. Dengan meningkatnya harga minyak kelapa sawit, para pembangun perkebunan yang haus akan tanah di Sumatera dengan sengaja membakar hutan dengan skala wilayah yang luas.
3. Perdagangan Satwa dan Perburuan Liar Perdagangan satwa dan perburuan liar terjadi merajalela di Sumatera. Insentif keuangan untuk perburuan gelap sangat tinggi, sementara kesadaran dan penegakan hukum atas peraturan perdagangan satwa liar masih rendah..
4. Rencana dan Pembangunan Jalan Jalan merupakan rute dimana para penduduk dan truk-truk penebangan ilegal mendapat akses ke kawasan hutan yang dahulu terpencil, beserta semua spesies yang hidup di dalamnya. Jalan-jalan untuk penebangan hutan ini seringkali menjadi rute transportasi resmi yang diadopsi oleh pemerintah lokal. Di sebagian besar wilayah Sumatera, pembangunan jalan untuk penebangan ini menandai tahap pertama hilangnya hutan secara keseluruhan. Pemerintah lokal nampaknya cenderung untuk mengakomodasi konstruksi jalan sebagai suatu bentuk mendapatkan penghasilan. Gambar dari satelit mencatat ratusan jalan-jalan untuk penebangan melintasi jauh sampai ke dalam hutan-hutan Konservasi dan taman-taman nasional. Propinsi Aceh mempunyai rencana untuk membangun sistem jalan masuk, mulai dari Banda Aceh selatan sampai ke batas Ekosistem Leuser. Baru-baru ini, sebuah rencana pembangunan di Taman Nasional Kerinci Seblat, meskipun ada peraturan yang melarangnya. Secara umum, pola pembangunan jalan menunjukkan bahwa fragmentasi hutan yang lebih besar akan terjadi dalam waktu dekat.
5. Pertambangan Ledakan bisnis pertambangan dimulai pada tahun 90-an, telah menyebabkan pembangunan jalan di daerah yang dahulu terisolasi, pengrusakan hutan, banjir, dan polusi sungai, mengakibatkan kontaminasi di sistem sungai sekitar, hilangnya sumber-sumber daya air untuk penduduk desa sekitar, serta masih banyak kekuatiran lainnya.
Kondisi ini akan memperburuk mutu lingkungan, namun betapa besarnya managemen konservasi akan sangat sulit bisa mengatasi kondisi ini, apabila Pemerintah Kabupaten/Propinsi tetap bercermin di Kaca Rerak, tentunya akan menciptakan bahaya dan bencana lebih besar lagi dimasa yang akan datang.
Apalagi saat ini di beberapa daerah Kabupaten/kota dan propinsi di Sumatera akan melaksanakakan Pil”bup/Wako”kada dan Pil”gub”kada dalam rentan waktu 2010-2015, Isu PAD dan sumber PAD yang bersumber dari kawasan konservasi, serta Pembangunan jalan/infrastruktur dalam kawasan konservasi menjadi isu politik (Black Issue) yang cukup trend dalam materi kampanye dan sosialisasi para bakal calon baik Bupati/Wali kota maupun Gubernur, dengan hitungan ekonomi nilai kayu dan dampak jangka pendek terhadap infrastrukrtur yang dibangun, sebaiknya menghitung nilai ekonomi tersebut harus secara komprehensif, karena hutan konservasi memiliki nilai langsung sangat kecil dibandingkan nilai ekonomi tidak langsung, yang dikatakan nilai ekonomi total kawasan konservasi.
Pengabaikan nilai ekonomi total kawasan konservasi, memberikan nilai nyata yang terjadi bencana bahorok, gempa dan tsunami aceh dan jogya, Tasik Malaya, banjir Jakarta, lumpur panas Lapindo, banjir Riau, Jambi, Pulau, Sumatera Barat, kebakaran hutan hampir semua wilayah di Indonesia, kasus buyat, dan masih banyak lainnya.
kondisi ini justru hendaknya menjadi cermin bagi pejabat bagaimana meminimlkan bencana tersebut, jangan bercermina di kaca retak, yang membuat kebijakan yang tidak berorientasi pada lingkungan, apakah bercermin di kaca retak ini akan dilanjutkan .............................?
Diharapkan dalam pembangunan ekonomi saat ini, adalah memadukan prinsip sinergitas antara kegiatan konservasi dengan pembangunan ekonomi (darusman dan widada 2004), adalah (1) Konservasi merupakan landasan pembangunan ekonomi berkelanjutan, tanpa ada ketersediaan dan jaminan SDAH, maka pembangunan ekonomi akan terhenti; (2)Pembangunan ekonomi merupakan landasan pembangunan konservasi konservasi berkelanjutan, tanpa ada manfaat ekonomi bagi masyarakat secara berkelanjutan, dipastikan pembangunan konservasi akan akan hancur, karena masyarakat tidak peduli; (3) Kegiatan pembangunan ekonomi dan pembangunan konservasi bertujuan untuk meningkatkan mutu kehidupan dan kesejahteraan masyarakat; (4) dengan pengetahuan dan pemahaman konservasi, maka manusia lebih mampu dan memahami kompleksitas tentang ekologi dan ekosistem sehingga menyadari, bahwa SDA perlu dikelola secara hati-hati dan, agar tetap lestari meskipipu SDA itu dimanfaatkan secara terus menerus; (5) Dengan pengetahuan ekonomi, manusia akan lebih arif menentukan pilihan aktivitas ekonomi yang paling rasional dalam mengunakan SDA untuk memenuhi kebutuhan hidup dan meningkatkan kesejahteraan secara berkesinambungan
Dan perlu mernjadi catatan bahwa Kebutuhan adanya konservasi keanekaragaman hayati di Sumatera merupakan salah satu hal yang paling mendesak di planet ini, dalam meminimalkan bencana.
DEMOKRASI BERDIMENSI KOSMOKRASI
DEMOKRASI BERDIMENSI KOSMOKRASI
(Manusia dan lingkungan sebagai sebuah kesatuan yang saling ketergantungan)
By Syamsul Bahri, SE (Conservationis di TNBD/Pengamat/Dosen pada STIE SAK)
syamsul_12@yahoo.co.id
Suasana perpolitikan di Indonesia pasca pemilu legislatif sebagai sebuah konsekuensi untuk menduduki kursi legislatif dan mengusung calon presiden dan calon wakil presiden, dengan syarat-syarat yang telah ditentukan, sehingga beberapa partai berdasarkan data sementara belum memiliki peluang untuk mengusung pasangan calon Presiden, berusaha untuk mengadakan lobby politik, terutama partai yang pernah berjaya dan besar di Negara Indonesia.
Beberapa pimpinan partai politik dan tokoh-tokoh politik memunculkan beberapa bentuk koalisi, baik untuk keperluan pasangan presiden maupun parlemen, melakukan lobby dan pembentukan blok-blok. Yang terlihat dari luar, kelihatannya semuanya berorientasi pada kekuasaan dengan mengatasnamakan kepentingan rakyat, dengan tanpa melihat platform yang selama ini menjadi pemisah antara nasionalis dan agamais. Ini sebuah indikasi bahwa bahwa demokrasi politik di Indonesia berorientasi pada “anthroposentris”, memiliki kecenderung pada kekuasaan mengatasnamakan rakyat, dengan dukungan dari rakyat. Walaupun atas nama rakyat, sesuai pengertian demokrasi, namun dari banyak pengalaman yang telah ada, selama ini rakyat hanya diatasnamakan, dan fakta yang terjadi adalah bahwa kemiskinan dan rakyat miskin semakin susah dientaskan, semakin lapar, semakin muncul bermacam penyakit di masyarakat, semakin banyak musibah dan bencana alam, semakin jauh jarak kaya dan miskin, semakin banyak orang kaya baru, semakin terkurasnya sumberdaya alam yang menjadi ancaman kemiskinan yang berkepanjangan, semakin banyak kekayaan dijadikan dasar kekuasaan baik kekuasaan dalam demokrasi ekonomi maupun demokrasi politik, semakin langkanya idealisme, semakin marjinalnya ketokohan, dan semakin kuasanya uang.
Pernyataan tersebut bukan tanpa dasar, bahwa kekuasaan berdasarkan uang dan penguasaan sepertinya semakin menjadi trend dalam Pemilu tahun 2009 ini, yang selanjutnta memunculkan dinasti politik, ‘politik menyusu’, politik koncoisme bahkan beberapa tokoh yang mengaku reformis banyak menempatkan keluarga, mantan pejabat, isteri, anak dan lain-lain sebagai sebagai calon wakil rakyat yang akan duduk di parlemen, tentunya dengan dukungan finansial dan ketokohan sang tokoh dan penguasaan dalam partai politik tertentu, yang merupalam indikasi dan ancaman “plutokrasi”, yang mengembangkan demokrasi liberal (demokrasi pasar), demokrasi yang tidak “affirmative action”, memperkecil peran “civil sociaty organization”.
Demokrasi yang berdimensi manusia “anthroposentris” hanya melihat dari aspek manusia sebagai centralistic; padahal demokrasi adalah suara rakyat dan rakyat adalah menjadi bagian dari lingkungan sebagai tempat hidup yang tidak dapat dipisahkan sebagai sumber ekonomi yang berdimensi uang dan non uang yang tak ternilai. Dalam kaitannya dengan alam yang kita pijak ini, demokrasi yang semacam itu hanya melihat sumberdaya alam dari nilai uang dan keuntungan semata-mata. Dan fakta mengatakan bahwa demokrasi di Indonesia selama ini masih sangat sedikit yang berfikir bahwa rakyat dan lingkungan alam menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan dengan berbagi manfaat yang didapat dari alam
Sedangkan demokrasi yang berdimensi kosmokrasi merupakan sebuah pemahaman demokrasi yang lebih ‘mendalam’, seperti yang telah dikemukan oleh John Keane pada saat Konferensi untuk Perubahan Iklim (UNFCCC) 2007 di Bali, yaitu demokrasi yang melebihi isu demokrasi yang selama ini dipahami oleh masyarakat terutama oleh banyak politikus. Demokrasi yang berdimensi demikian berusaha mengakomodasi aspek rakyat dan aspek ekologi menjadi bagian yang tak terpisahkan.
Pimpinan politik yang mengaku sebagai penganut demokrasi dengan dimensi kosmokrasi akan melahirkan pemimpin politik yang tidak sekedar berlegitimasi demokrasi alias optimal didukung publik, tetapi juga berlegitimasi kosmos yang didukung dan direstui oleh rakyat dan alam. Dan tentunya perlakuan terhadap alam menjadi bagian dari visi dan misi dalam usaha untuk pelestarian, penyelamatan dan pemanfaatan berkesinambungan yang empatik dan rasional.
Hal tersebut dikarenakan demokrasi kosmokrasi akan memunculkan kesadaran akan arti penting lingkungan hidup dan eksistensi makhluk selain manusia baik secara mikro maupun makro. Ini tentunya dibutuhkan juga aksi-aksi nyata dalam rangka mencegah kerusakan-kerusakan (alam) yang fatal. Kita bisa melihat bahwa isu perubahan iklim sudah merupakan isu aktual yang menjadi perhatian internasional, tidak sekedar banjir di Jakarta, kekeringan di sejumlah daerah sehingga gagal panen.
Mungkinkah muncul politisi dalam demokrasi berdimensi kosmokrafi di Indonesia? Politisi dan kekuasaan yang pro-lingkungan hidup? Kita harus yakin, harus ada! Namun, kalau kita lihat perkembangan pasca pemilu legislatif, sangat sedikit politisi yang menuju kekuasaan yang menganut demokrasi berdimensi kosmokrasi. Ini ironis sekali, fakta menyatakan bahwa Indonesia adalah sebagai sebuah negara yang mengalami laju deforestasi sangat besar, kebakaran hutan dimana-mana, dan sebuah negara yang rawan bencana lingkungan, serta begitu banyak kasus kemiskinan dan kelaparan yang belum menemukan solusi yang tepat
Di sinilah kosmokrasi pro rakyat dan pro lingkungan dibutuhkan di Indensia untuk mengentaskan berbagai masalah ekonomi, kemiskinan, kelaparan, pendidikan, ketersedian pangan, mengatasi bencana alam, mengembalikan demokrasi pangan dan lain sebagainya. Jadi yang saat ini kita butuhkan adalah bukan hanya melihat kekuasaan yang memiliki kecenderungan sebagai sebuah koalisi yang survival dan tidak permanent, bukan hanya dengan melihat koalisi yang terbentuk secara platform, ideologi, dan sejarah partai. Juga bukan koalisi yang didasarkan karena kekuasaan dan ingin menguasai, yang berorientasi pada kekuasan sang manusia yang digambarkan dalam ketokohan yang ditokohkan. Namun sejauh pengamatan penulis, saat ini kita belum menemukan politisi yang sepenuhnya berorientasi kosmos (baca: manusia dan lingkungannya).
Demokrasi secara hakiki bukan hanya urusan bersifat kalkulatori tentang angka dan penghitung suara, serta kekuasaan. Demokrasi adalah sarana emansipasi kemanusiaan (baca: manusia dan lingkungan) untuk lepas dari jerat kesewenangan penguasa.
Dan dengan pengamatan baik dalam pelaksanaan pra pileg dan hasil pileg maupun dalam debat Capres dan wapres, rakyat dan lingkungan sangat kurang diperahtikan, pada hal demokrasi itu adalah suatu proses untuk mewjudkan kesejahteraan manusia secara hakiki yang dipengaruhi oleh faktor ekonomi dengan pemahaman faktor ekologi sebagai dasar persyaratan untuk perwujudan kesejahteraan yang berkesinambungan.
Apa yang diuraikan di atas, sesuai statemen Duta Besar PBB untuk Millenium Development Goals (MDGs) Asia Pasifik, Erna Witoelar menyatakan perusakan lingkungan menyebabkan masyarakat semakin miskin karena rusaknya sumber daya potensial. “Angka kemiskinan akan terus naik seiring dengan kerusakan lingkungan,” Berdasarkan hasil evaluasi program MDGs di Asia Pasifik, tahun 2006 Indonesia dinilai mengalami penurunan pencapaian target MDGs. “Penurunannya sangat parah,” kata dia dalam diskusi “Pemenuhan dan Pemulihan Keadilan Ekologis,”. Penyebab utamanya adalah bencana alam akibat kerusakan ekologis dan konflik politik. Mundurnya pencapaian pembangunan itu, kata dia, menyebabkan masyarakat semakin miskin, akses pada sarana pendidikan dan kesehatan minim dan lingkungan yang semakin rusak, sehingga saat ini demokrasi berdimensi kosmokrasi menjadi sesuatu yang sangat diharapkan.
(Manusia dan lingkungan sebagai sebuah kesatuan yang saling ketergantungan)
By Syamsul Bahri, SE (Conservationis di TNBD/Pengamat/Dosen pada STIE SAK)
syamsul_12@yahoo.co.id
Suasana perpolitikan di Indonesia pasca pemilu legislatif sebagai sebuah konsekuensi untuk menduduki kursi legislatif dan mengusung calon presiden dan calon wakil presiden, dengan syarat-syarat yang telah ditentukan, sehingga beberapa partai berdasarkan data sementara belum memiliki peluang untuk mengusung pasangan calon Presiden, berusaha untuk mengadakan lobby politik, terutama partai yang pernah berjaya dan besar di Negara Indonesia.
Beberapa pimpinan partai politik dan tokoh-tokoh politik memunculkan beberapa bentuk koalisi, baik untuk keperluan pasangan presiden maupun parlemen, melakukan lobby dan pembentukan blok-blok. Yang terlihat dari luar, kelihatannya semuanya berorientasi pada kekuasaan dengan mengatasnamakan kepentingan rakyat, dengan tanpa melihat platform yang selama ini menjadi pemisah antara nasionalis dan agamais. Ini sebuah indikasi bahwa bahwa demokrasi politik di Indonesia berorientasi pada “anthroposentris”, memiliki kecenderung pada kekuasaan mengatasnamakan rakyat, dengan dukungan dari rakyat. Walaupun atas nama rakyat, sesuai pengertian demokrasi, namun dari banyak pengalaman yang telah ada, selama ini rakyat hanya diatasnamakan, dan fakta yang terjadi adalah bahwa kemiskinan dan rakyat miskin semakin susah dientaskan, semakin lapar, semakin muncul bermacam penyakit di masyarakat, semakin banyak musibah dan bencana alam, semakin jauh jarak kaya dan miskin, semakin banyak orang kaya baru, semakin terkurasnya sumberdaya alam yang menjadi ancaman kemiskinan yang berkepanjangan, semakin banyak kekayaan dijadikan dasar kekuasaan baik kekuasaan dalam demokrasi ekonomi maupun demokrasi politik, semakin langkanya idealisme, semakin marjinalnya ketokohan, dan semakin kuasanya uang.
Pernyataan tersebut bukan tanpa dasar, bahwa kekuasaan berdasarkan uang dan penguasaan sepertinya semakin menjadi trend dalam Pemilu tahun 2009 ini, yang selanjutnta memunculkan dinasti politik, ‘politik menyusu’, politik koncoisme bahkan beberapa tokoh yang mengaku reformis banyak menempatkan keluarga, mantan pejabat, isteri, anak dan lain-lain sebagai sebagai calon wakil rakyat yang akan duduk di parlemen, tentunya dengan dukungan finansial dan ketokohan sang tokoh dan penguasaan dalam partai politik tertentu, yang merupalam indikasi dan ancaman “plutokrasi”, yang mengembangkan demokrasi liberal (demokrasi pasar), demokrasi yang tidak “affirmative action”, memperkecil peran “civil sociaty organization”.
Demokrasi yang berdimensi manusia “anthroposentris” hanya melihat dari aspek manusia sebagai centralistic; padahal demokrasi adalah suara rakyat dan rakyat adalah menjadi bagian dari lingkungan sebagai tempat hidup yang tidak dapat dipisahkan sebagai sumber ekonomi yang berdimensi uang dan non uang yang tak ternilai. Dalam kaitannya dengan alam yang kita pijak ini, demokrasi yang semacam itu hanya melihat sumberdaya alam dari nilai uang dan keuntungan semata-mata. Dan fakta mengatakan bahwa demokrasi di Indonesia selama ini masih sangat sedikit yang berfikir bahwa rakyat dan lingkungan alam menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan dengan berbagi manfaat yang didapat dari alam
Sedangkan demokrasi yang berdimensi kosmokrasi merupakan sebuah pemahaman demokrasi yang lebih ‘mendalam’, seperti yang telah dikemukan oleh John Keane pada saat Konferensi untuk Perubahan Iklim (UNFCCC) 2007 di Bali, yaitu demokrasi yang melebihi isu demokrasi yang selama ini dipahami oleh masyarakat terutama oleh banyak politikus. Demokrasi yang berdimensi demikian berusaha mengakomodasi aspek rakyat dan aspek ekologi menjadi bagian yang tak terpisahkan.
Pimpinan politik yang mengaku sebagai penganut demokrasi dengan dimensi kosmokrasi akan melahirkan pemimpin politik yang tidak sekedar berlegitimasi demokrasi alias optimal didukung publik, tetapi juga berlegitimasi kosmos yang didukung dan direstui oleh rakyat dan alam. Dan tentunya perlakuan terhadap alam menjadi bagian dari visi dan misi dalam usaha untuk pelestarian, penyelamatan dan pemanfaatan berkesinambungan yang empatik dan rasional.
Hal tersebut dikarenakan demokrasi kosmokrasi akan memunculkan kesadaran akan arti penting lingkungan hidup dan eksistensi makhluk selain manusia baik secara mikro maupun makro. Ini tentunya dibutuhkan juga aksi-aksi nyata dalam rangka mencegah kerusakan-kerusakan (alam) yang fatal. Kita bisa melihat bahwa isu perubahan iklim sudah merupakan isu aktual yang menjadi perhatian internasional, tidak sekedar banjir di Jakarta, kekeringan di sejumlah daerah sehingga gagal panen.
Mungkinkah muncul politisi dalam demokrasi berdimensi kosmokrafi di Indonesia? Politisi dan kekuasaan yang pro-lingkungan hidup? Kita harus yakin, harus ada! Namun, kalau kita lihat perkembangan pasca pemilu legislatif, sangat sedikit politisi yang menuju kekuasaan yang menganut demokrasi berdimensi kosmokrasi. Ini ironis sekali, fakta menyatakan bahwa Indonesia adalah sebagai sebuah negara yang mengalami laju deforestasi sangat besar, kebakaran hutan dimana-mana, dan sebuah negara yang rawan bencana lingkungan, serta begitu banyak kasus kemiskinan dan kelaparan yang belum menemukan solusi yang tepat
Di sinilah kosmokrasi pro rakyat dan pro lingkungan dibutuhkan di Indensia untuk mengentaskan berbagai masalah ekonomi, kemiskinan, kelaparan, pendidikan, ketersedian pangan, mengatasi bencana alam, mengembalikan demokrasi pangan dan lain sebagainya. Jadi yang saat ini kita butuhkan adalah bukan hanya melihat kekuasaan yang memiliki kecenderungan sebagai sebuah koalisi yang survival dan tidak permanent, bukan hanya dengan melihat koalisi yang terbentuk secara platform, ideologi, dan sejarah partai. Juga bukan koalisi yang didasarkan karena kekuasaan dan ingin menguasai, yang berorientasi pada kekuasan sang manusia yang digambarkan dalam ketokohan yang ditokohkan. Namun sejauh pengamatan penulis, saat ini kita belum menemukan politisi yang sepenuhnya berorientasi kosmos (baca: manusia dan lingkungannya).
Demokrasi secara hakiki bukan hanya urusan bersifat kalkulatori tentang angka dan penghitung suara, serta kekuasaan. Demokrasi adalah sarana emansipasi kemanusiaan (baca: manusia dan lingkungan) untuk lepas dari jerat kesewenangan penguasa.
Dan dengan pengamatan baik dalam pelaksanaan pra pileg dan hasil pileg maupun dalam debat Capres dan wapres, rakyat dan lingkungan sangat kurang diperahtikan, pada hal demokrasi itu adalah suatu proses untuk mewjudkan kesejahteraan manusia secara hakiki yang dipengaruhi oleh faktor ekonomi dengan pemahaman faktor ekologi sebagai dasar persyaratan untuk perwujudan kesejahteraan yang berkesinambungan.
Apa yang diuraikan di atas, sesuai statemen Duta Besar PBB untuk Millenium Development Goals (MDGs) Asia Pasifik, Erna Witoelar menyatakan perusakan lingkungan menyebabkan masyarakat semakin miskin karena rusaknya sumber daya potensial. “Angka kemiskinan akan terus naik seiring dengan kerusakan lingkungan,” Berdasarkan hasil evaluasi program MDGs di Asia Pasifik, tahun 2006 Indonesia dinilai mengalami penurunan pencapaian target MDGs. “Penurunannya sangat parah,” kata dia dalam diskusi “Pemenuhan dan Pemulihan Keadilan Ekologis,”. Penyebab utamanya adalah bencana alam akibat kerusakan ekologis dan konflik politik. Mundurnya pencapaian pembangunan itu, kata dia, menyebabkan masyarakat semakin miskin, akses pada sarana pendidikan dan kesehatan minim dan lingkungan yang semakin rusak, sehingga saat ini demokrasi berdimensi kosmokrasi menjadi sesuatu yang sangat diharapkan.
AIR HUJAN BERKAH ATAU AIR MATA ?
AIR HUJAN BERKAH ATAU AIR MATA ?
By Syamsul Bahri, SE
(pengamat lingkungan)
Dengan banyaknya peristiwa bencana alam di Indonesia pada bulan Desember 2005 sampai Juni 2006, terutama di Pulau Jawa dan beberapa pulau lainnya, dan munculnya tuntutan dari kelompok masyarakat yang berada disekitar hutan tentang pembagian manfaat hutan bagi masyarakat yang melindungi hutan dengan masyarakat yang memanfaatkan hutan secara langsung dalam bentuk kayu dan hasil hutan ikutan lainnya dan LSM tentang peninjauan kembali Tata Ruang yang ada, dengan melihat bahwa tata ruang yang sudah ada justru membawa bencana, ini manandakan bahwa hutan sebagai penyangga kehidupan sudah berkurang fungsinya, karena lebih dilihat sebagai sumber ekonomi dalam bentuk kayu dan hasil hutan ikutan.
Dulunya hutan sebagai pengatur tata guna air dan tata guna tanah yang keluar dalam bentuk air hujan yang membawa berkah untuk kehidupan, tetapi hutan saat ini justru menjadi sumber air mata yang membawa kesengsaraan dalam bentuk bencana alam, menimbulkan kerugian harta dan nyawa, serta kesengsaraan yang berkepanjangan.
Dari judul diatas, memang kalau kita lihat judul itu sangat tidak memilki korelasi, antara air hujan dan air mata, tetapi kondisi ini menjadi kenyataan, bahwa hampir semua daerah dengan kondisi hutan dan tata ruang menjadi permasalahan baik dimusim kemarau maupun dimusim hujan, sehingga saat ini Air Hujan menjadi Air mata, merupakan suatu bukti bahwa penyerobotan hutan sepakat tidak sepakat merupakan factor utama air hujan menjadi air mata.
Banjir dan bencana hendaknya menjadi cermin dan evaluasi bagi semua pihak bahwa saat in kemampuan hutan yang ada sudah tidak sanggup lagi untuk mendukung kehidupan, sehingga kemampuan tersebut harus diperkuat melalui kebijakan mempertahankan hutan yang masih ada dengan menghentikan semua kegiatan yang dapat merusak kelestariannya dan mengembalikan fungsi hutan tersebut melalui kegiatan GERHAN yang pelibatan masyarakat seutuhnya dapat lebih diperbesar, sehingga akan menimbulkan bahwa masyarakat memiliki tanggung jawab terhadap pelestarian hutan, tidak hanya terkesan masyarakat hanya sebagai buruh dan penonton, pelibatan tersebut mulai dari tahapan perencanaan, implementasi yang berorientasi pada peningkatan ekonomi masyarakat dan mengembalikan fungsi hutan
Kenyataan yang terjadi upaya pencegahan banjir di beberapa daerah, tidak bisa hanya melalui program kali bersih, pembuatan tanggul, pengerokan sungai, secara tekhnik konservasi sipil, dengan daya tahan dan kemampuan yang terbatas, dan akhirnya tidak mampu menahan debit air yang membawa erosi, namun yang lebih utama adalah penanagan penanaman hutan yang ada dihulu dan disekitar Sungai.
Memang harus disadari bahwa penaganan banjir dan bencana alam tidak bisa dilakukan secara administrative pemerintahan yang menonjolkan ego otonomi daerah, namun harus ditangani secara Bioregional management planning dalam kontek Daerah Aliran Sungai, sehingga memerlukan koordinasi dan implementasi yang lebih intensif, baik menyangkut masyarakat tentunya pemberdayaan ekonomi masyarakat, maupun menyangkut tekhnik pelaksanaan, yang saat ini banyaknya tuntutan masyarakat dan LSM terhadap pengelolaan hutan di Indonesia, memerlukan pengkajian yang lebih berpihak kepada masyarakat.
Tuntutan masyarakat dan Pemerintah Kabupaten antara lain dari masyarakat dan Pemerintah Kabupaten yang memiliki kawasan Konservasi lebih dari 30% yang berfungsi sebagai penyangga kehidupan terhadap pemberdayaan ekonomi masyarakat dan PAD, dalam bentuk sharing benefit (financial dan manfaat) dan perlakuan khusus oleh Pemerintah Propinsi dan Pusat serta lembaga Internasional merupakan suatu tuntutan yang wajar sebagai sebuah Kabupaten Otonom dalam rangka meningkat PAD dan Peningakatan Penerimaan DAU sebagai sumber pembiayaan pembangunan merupakan suatu hal yang wajar, karena Kabupaten tersebut secara financial tidak mendapatkan PAD dari kawasan yang dijaga dan dipertahankan.
Sesuai dengan tulisan Dr Aulia Tasman, SE. M.Sc di Jambi Independent tanggal 17 November 2003 yang berjudul “Akankah peristiwa Bahorok melanda Jambi” pertanyaan beliau menurut hemat kami peristiwa bahorok dan peristiwa lainnya bisa diminimalkan melanda Propinsi Jambi apabila kebijakan pembangunan tetap konsekwen mempertahankan dan melestarikan kawasan Lindung dan kawasan Konservasi antara lain TNKS (karena hulu dari Sungai-Sungai yang mengalir ke Wilayah Jambi yang bermuara ke Selat Berhala ) dan TNBT, TN Bukit 12 secara komprhensif mulai dari tatatan pemerintah sampai ke masyarakat adat, serta menjalankan seutuhya peraturan bidang Kehutanan dan Perkebunaan serta lingkungan hidup secara benar dalam kebijakan dan benar dalam implementasi, bukan pembenaran dalam pelaksanaan.
Bahwa air hujan merupakan berkah, tetapi saat ini air hujan justru menjadi momok bagi masyarakat, karena air hujan lebih cenderung membawa dampak munculnya Air mata,
Mari dengan melestarikan dan melindungi Kawasan Konservasi dan kawasan lindung, serta merahiblitasi kerusakannya melalui kebersamaan dalam langkah untuk pemberdayaan ekonomi masyarakat dan pemanfaatan jasa lingkungan dan wisata alam, air hujan akan menjadi berkah dan tidak menjadi air mata.
By Syamsul Bahri, SE
(pengamat lingkungan)
Dengan banyaknya peristiwa bencana alam di Indonesia pada bulan Desember 2005 sampai Juni 2006, terutama di Pulau Jawa dan beberapa pulau lainnya, dan munculnya tuntutan dari kelompok masyarakat yang berada disekitar hutan tentang pembagian manfaat hutan bagi masyarakat yang melindungi hutan dengan masyarakat yang memanfaatkan hutan secara langsung dalam bentuk kayu dan hasil hutan ikutan lainnya dan LSM tentang peninjauan kembali Tata Ruang yang ada, dengan melihat bahwa tata ruang yang sudah ada justru membawa bencana, ini manandakan bahwa hutan sebagai penyangga kehidupan sudah berkurang fungsinya, karena lebih dilihat sebagai sumber ekonomi dalam bentuk kayu dan hasil hutan ikutan.
Dulunya hutan sebagai pengatur tata guna air dan tata guna tanah yang keluar dalam bentuk air hujan yang membawa berkah untuk kehidupan, tetapi hutan saat ini justru menjadi sumber air mata yang membawa kesengsaraan dalam bentuk bencana alam, menimbulkan kerugian harta dan nyawa, serta kesengsaraan yang berkepanjangan.
Dari judul diatas, memang kalau kita lihat judul itu sangat tidak memilki korelasi, antara air hujan dan air mata, tetapi kondisi ini menjadi kenyataan, bahwa hampir semua daerah dengan kondisi hutan dan tata ruang menjadi permasalahan baik dimusim kemarau maupun dimusim hujan, sehingga saat ini Air Hujan menjadi Air mata, merupakan suatu bukti bahwa penyerobotan hutan sepakat tidak sepakat merupakan factor utama air hujan menjadi air mata.
Banjir dan bencana hendaknya menjadi cermin dan evaluasi bagi semua pihak bahwa saat in kemampuan hutan yang ada sudah tidak sanggup lagi untuk mendukung kehidupan, sehingga kemampuan tersebut harus diperkuat melalui kebijakan mempertahankan hutan yang masih ada dengan menghentikan semua kegiatan yang dapat merusak kelestariannya dan mengembalikan fungsi hutan tersebut melalui kegiatan GERHAN yang pelibatan masyarakat seutuhnya dapat lebih diperbesar, sehingga akan menimbulkan bahwa masyarakat memiliki tanggung jawab terhadap pelestarian hutan, tidak hanya terkesan masyarakat hanya sebagai buruh dan penonton, pelibatan tersebut mulai dari tahapan perencanaan, implementasi yang berorientasi pada peningkatan ekonomi masyarakat dan mengembalikan fungsi hutan
Kenyataan yang terjadi upaya pencegahan banjir di beberapa daerah, tidak bisa hanya melalui program kali bersih, pembuatan tanggul, pengerokan sungai, secara tekhnik konservasi sipil, dengan daya tahan dan kemampuan yang terbatas, dan akhirnya tidak mampu menahan debit air yang membawa erosi, namun yang lebih utama adalah penanagan penanaman hutan yang ada dihulu dan disekitar Sungai.
Memang harus disadari bahwa penaganan banjir dan bencana alam tidak bisa dilakukan secara administrative pemerintahan yang menonjolkan ego otonomi daerah, namun harus ditangani secara Bioregional management planning dalam kontek Daerah Aliran Sungai, sehingga memerlukan koordinasi dan implementasi yang lebih intensif, baik menyangkut masyarakat tentunya pemberdayaan ekonomi masyarakat, maupun menyangkut tekhnik pelaksanaan, yang saat ini banyaknya tuntutan masyarakat dan LSM terhadap pengelolaan hutan di Indonesia, memerlukan pengkajian yang lebih berpihak kepada masyarakat.
Tuntutan masyarakat dan Pemerintah Kabupaten antara lain dari masyarakat dan Pemerintah Kabupaten yang memiliki kawasan Konservasi lebih dari 30% yang berfungsi sebagai penyangga kehidupan terhadap pemberdayaan ekonomi masyarakat dan PAD, dalam bentuk sharing benefit (financial dan manfaat) dan perlakuan khusus oleh Pemerintah Propinsi dan Pusat serta lembaga Internasional merupakan suatu tuntutan yang wajar sebagai sebuah Kabupaten Otonom dalam rangka meningkat PAD dan Peningakatan Penerimaan DAU sebagai sumber pembiayaan pembangunan merupakan suatu hal yang wajar, karena Kabupaten tersebut secara financial tidak mendapatkan PAD dari kawasan yang dijaga dan dipertahankan.
Sesuai dengan tulisan Dr Aulia Tasman, SE. M.Sc di Jambi Independent tanggal 17 November 2003 yang berjudul “Akankah peristiwa Bahorok melanda Jambi” pertanyaan beliau menurut hemat kami peristiwa bahorok dan peristiwa lainnya bisa diminimalkan melanda Propinsi Jambi apabila kebijakan pembangunan tetap konsekwen mempertahankan dan melestarikan kawasan Lindung dan kawasan Konservasi antara lain TNKS (karena hulu dari Sungai-Sungai yang mengalir ke Wilayah Jambi yang bermuara ke Selat Berhala ) dan TNBT, TN Bukit 12 secara komprhensif mulai dari tatatan pemerintah sampai ke masyarakat adat, serta menjalankan seutuhya peraturan bidang Kehutanan dan Perkebunaan serta lingkungan hidup secara benar dalam kebijakan dan benar dalam implementasi, bukan pembenaran dalam pelaksanaan.
Bahwa air hujan merupakan berkah, tetapi saat ini air hujan justru menjadi momok bagi masyarakat, karena air hujan lebih cenderung membawa dampak munculnya Air mata,
Mari dengan melestarikan dan melindungi Kawasan Konservasi dan kawasan lindung, serta merahiblitasi kerusakannya melalui kebersamaan dalam langkah untuk pemberdayaan ekonomi masyarakat dan pemanfaatan jasa lingkungan dan wisata alam, air hujan akan menjadi berkah dan tidak menjadi air mata.
“GOLPUT (GOLONGAN PUTIH)”
“GOLPUT (GOLONGAN PUTIH)”
TANTANGAN TERBERAT KPUD
DALAM PIL”GUB”KADA JAMBI TAHUN 2010
By Syamsul Bahri, Conservationis Jambi, Pengamat dan Dosen STIE-SAK, syamsul_12@yahoo.co.id
Dari berbagai sumber munculnya golongan putih (Golput) dalam setiap Pemilu baik Pileg, Pilkada, maupun Pilpres tidak mungkin untuk dihindari, dan memang itu sebuah pilihan, dilatar belakang menurut beberapa pengamat adalah instrumen pemilu dan pilkada, yakni antara lain (1). figur kandidat yang ditetapkan dengan parameter profesional, moral, dan nilai jual di tengah masyarakat, ternyata calon yang muncul dinilai masyarakat tidak aspiratif dan tidak kapabel, (2) unsur nepotisme dari pihak parpol tertentu yang membuat masyarakat jenuh. (3) faktor yang juga paling dominan yang menjadi penyebab golput adalah sikap nepotisme pihak-pihak tertentu dalam menetapkan calon sementara, sedangkan dalam kondisi riil bertentangan dengan keinginan masyarakat secara umum hal itu akan memengaruhi orang untuk tidak memilih alias memilih untuk golput,” walaupun pilihan tersebut tidak mendukung upaya demokrasi, munculnya golput bukan hanya disebabkan oleh sebuah pilihan, melainkan disebabkan belum sempurnanya pelayanan KPUD dalam memberikan informasi dan pelayanan untuk warga negara yang akan menyalurkan hak politiknya seperti kisruh DPT dimaknai sebagai kesalahan administrasi, pada hal keselahan ini menyebabkan hak politik seseorang hilang, pada hal legalitas akurat DPT bagian terpenting dalam setiap pemilu demokratis, kesalahan itu diawali dengan kekacauan administrasi kependudukan, baca “SISTIM KEPENDUDUKAN DAN EFEK DOMINO” http://kerinci.info/index.php /Atrikel-Pengunjung/Syamsul-bahri-SE/sistim-kependudukan-dan-efek-domino.html, kisruh DPT merupakan akibat dari sistim kependudukan yang belum mantap.
KPUD untuk Pil”gub”kada Jambi sudah harus memahami dan mengantisipasi untuk mengatasi kondisi yang telah terjadi di Pileg, Pilkada, dan Pilpres di wilayah Propinsi Jambi, untuk mengurangi terjadinya gulput dikarenakan manajemen, pelayanan dan informasi tentang Pil”gub”kada yang belum maksimal.
Secara umum, gulput itu muncul disebabkan oleh (1) Memang Pilihan karena figur kondidat yang tidak dipercayai, unsur nepotisme dari pihak parpol tertentu yang membuat masyarakat jenuh, dll, dan (2) Sistim Managemen Pelayanan dan informasi Publik yang meliputi hak dan tanggung jawab pemilih yang belum dilakukan oleh KPUD secara optimal.
Dalam meminimalkan “Golput” KPUD bisa berbuat melalui (2) upaya meningkatkan upaya pelayanan dan penyebaran informasi publik kepada masyarakat, menyangkut hak dan tanggung jawab pemilih, sedangkan penyebab (1) memang menjadi pilihan, KPUD tidak bisa berbuat banyak
Maka, sedini mungkin dalam Pil”gub”kada Jambi tahun 2010, KPUD meningkatkan management pelayanan dan penyebaran Publik tersebut, untuk menciptakan dan melahirkan Pemimpin rakyat yang menjadi pilihan rakyat menuju Jambi yang sejahtera dan cemerlang, bersatu dalam membangun keadilan politik dan keadilan ekonomi masyarakat Jambi
Kalau kita amati data Golput dalam Pilleg di Indonesia, semakin hari semakin besar, seperti grafik diatas dan tahun 2009, merupakan golput yang tertinggi, yang mencapai 30% dan yang terkecil adalah tahun 1971 mencapai 6,67%
Begitu juga dengan Pil”bup”kada dan Pil”wako”kada di Propinsi Jambi, seperti merangin mencapai 27%, Bungo 16%, Tanjabtim 18%, Sarolangun 17%, Batanghari 27% dan Kerinci 30%
TANTANGAN TERBERAT KPUD
DALAM PIL”GUB”KADA JAMBI TAHUN 2010
By Syamsul Bahri, Conservationis Jambi, Pengamat dan Dosen STIE-SAK, syamsul_12@yahoo.co.id
Dari berbagai sumber munculnya golongan putih (Golput) dalam setiap Pemilu baik Pileg, Pilkada, maupun Pilpres tidak mungkin untuk dihindari, dan memang itu sebuah pilihan, dilatar belakang menurut beberapa pengamat adalah instrumen pemilu dan pilkada, yakni antara lain (1). figur kandidat yang ditetapkan dengan parameter profesional, moral, dan nilai jual di tengah masyarakat, ternyata calon yang muncul dinilai masyarakat tidak aspiratif dan tidak kapabel, (2) unsur nepotisme dari pihak parpol tertentu yang membuat masyarakat jenuh. (3) faktor yang juga paling dominan yang menjadi penyebab golput adalah sikap nepotisme pihak-pihak tertentu dalam menetapkan calon sementara, sedangkan dalam kondisi riil bertentangan dengan keinginan masyarakat secara umum hal itu akan memengaruhi orang untuk tidak memilih alias memilih untuk golput,” walaupun pilihan tersebut tidak mendukung upaya demokrasi, munculnya golput bukan hanya disebabkan oleh sebuah pilihan, melainkan disebabkan belum sempurnanya pelayanan KPUD dalam memberikan informasi dan pelayanan untuk warga negara yang akan menyalurkan hak politiknya seperti kisruh DPT dimaknai sebagai kesalahan administrasi, pada hal keselahan ini menyebabkan hak politik seseorang hilang, pada hal legalitas akurat DPT bagian terpenting dalam setiap pemilu demokratis, kesalahan itu diawali dengan kekacauan administrasi kependudukan, baca “SISTIM KEPENDUDUKAN DAN EFEK DOMINO” http://kerinci.info/index.php /Atrikel-Pengunjung/Syamsul-bahri-SE/sistim-kependudukan-dan-efek-domino.html, kisruh DPT merupakan akibat dari sistim kependudukan yang belum mantap.
KPUD untuk Pil”gub”kada Jambi sudah harus memahami dan mengantisipasi untuk mengatasi kondisi yang telah terjadi di Pileg, Pilkada, dan Pilpres di wilayah Propinsi Jambi, untuk mengurangi terjadinya gulput dikarenakan manajemen, pelayanan dan informasi tentang Pil”gub”kada yang belum maksimal.
Secara umum, gulput itu muncul disebabkan oleh (1) Memang Pilihan karena figur kondidat yang tidak dipercayai, unsur nepotisme dari pihak parpol tertentu yang membuat masyarakat jenuh, dll, dan (2) Sistim Managemen Pelayanan dan informasi Publik yang meliputi hak dan tanggung jawab pemilih yang belum dilakukan oleh KPUD secara optimal.
Dalam meminimalkan “Golput” KPUD bisa berbuat melalui (2) upaya meningkatkan upaya pelayanan dan penyebaran informasi publik kepada masyarakat, menyangkut hak dan tanggung jawab pemilih, sedangkan penyebab (1) memang menjadi pilihan, KPUD tidak bisa berbuat banyak
Maka, sedini mungkin dalam Pil”gub”kada Jambi tahun 2010, KPUD meningkatkan management pelayanan dan penyebaran Publik tersebut, untuk menciptakan dan melahirkan Pemimpin rakyat yang menjadi pilihan rakyat menuju Jambi yang sejahtera dan cemerlang, bersatu dalam membangun keadilan politik dan keadilan ekonomi masyarakat Jambi
Kalau kita amati data Golput dalam Pilleg di Indonesia, semakin hari semakin besar, seperti grafik diatas dan tahun 2009, merupakan golput yang tertinggi, yang mencapai 30% dan yang terkecil adalah tahun 1971 mencapai 6,67%
Begitu juga dengan Pil”bup”kada dan Pil”wako”kada di Propinsi Jambi, seperti merangin mencapai 27%, Bungo 16%, Tanjabtim 18%, Sarolangun 17%, Batanghari 27% dan Kerinci 30%
“EKONOMI KERAKYATAN / EKONOMI RAKYAT “ ATAU EKONOMI PANCASILA ?
“EKONOMI KERAKYATAN / EKONOMI RAKYAT “
ATAU
EKONOMI PANCASILA ?
(By Syamsul Bahri,SE, Conservationis dan Dosen STIE-SAK Kerinci, syamsul_12@yahoo.co.id)
Pemilihan Presiden secara demorasi yang Jurdil, dan luber telah dilaksanakan pada tanggal 8 Juli 2009, secara quick count telah memunculkan pemimpin Indonesia tahun 2009-2014, walaupun hasil resminya masih menunggu perhitungang KPU yang menjadi dasar, terlepas semua pernik dan permasalahan yang muncul, ada baiknya kita mencoba merenungkan dan memperhatikan materi Kampanye para Ca”wa”pres pada Pilpres tahun 2009 ini, dengan berbagai jargon kampnanye, yang berintikan fokus pada tatanan “ekonomi karakyatan”, yang mengklaim bahwa Ca”wa”pres ini sangat peduli dengan rakyat, pada hal “ekonomi karakyatan” secara prinsip belum jelas pemahaman dan pengertiannnya, kalaupun orientasi ekonomi untuk rakyat, jelas semua tatanan ekonomi dunia bertujuan untuk rakyat, baik itu liberal, sosialis.
Kalau menyimak dasar hukum untuk “perekonomian nasional”, yang telah dirumuskan Pendiri Negara “Bung Hatta” dalam sebuah konsep tentang Sistem Ekonomi Indonesia, waktu itu beliau belum memberikan nama “sistim ekonomi Indonesia”, dimana basik dan orientasi aktivitas ekonomi harus disatukan dalam organisasi koperasi sebagai bangun usaha yang sesuai dengan asas kekeluargaan, yang berazaskan prinsip demokrasi ekonomi, yaitu produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua, sedangkan pengelolaannya dipimpin dan diawasi oleh anggota masyarakat sendiri.
Konsep Sistem Ekonomi ini inilah yang kemudian dituangkan dalam UUD 1945 sebagai dasar sistem perekonomian nasional, dengan Pilar yang sejalan dengan agenda reformasi yang telah dituangkan dalam UUD 1945 pasal 33 tersebut yang diuraikan (1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan, (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara, dan (3) Bumi dan air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Dari uraian diatas, bahwa “kedaulatan ekonomi” dalam “demokrasi ekonomi”, di mana produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua di bawah pimpinan atau pemilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan bukan kemakmuran perorang. Oleh sebab itu, perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan, dengan bentuk usaha yang sesuai dengan prinsip tersebut adalah koperasi.
Apa yang terjadi selama ini mulai sejak Orde sebelumnya sampai sekarang, masih tingginya tingkat pengangguran, kemiskinan, ketimpangan ekonomi, dan kerusakan ekologis (lingkungan). Hal ini terjadi dalam kerangka dominasi jaringan modal internasional terhadap penguasaan faktor-faktor produksi (mineral/pertambangan dan perbankan) dan keterjebakan ekonomi Indonesia pada utang luar negeri (debt-trap), sehingga memunculkan pola hubungan (antarpelaku) ekonomi yang tidak seimbang dan cenderung eksploitatif-sub-ordinatif, baik dalam lingkup domestik maupun internasional.
Pernyataan diatas, didukung oleh fakta dan data antara lain (1) Privatisasi BUMN (Indosat, Telkom, Semen Gresik) dan aset strategis (mineral tambang, migas, air, dan hutan) nasional telah mengakibatkan beralihnya penguasaan tampuk produksi dari negara (rakyat) ke penguasaan asing; (2) Korporasi besar (MNC) menguasai dan mengelola SDA startegis di berbagai daerah dengan kontraprestasi yang sangat minimal terhadap daerah tersebut, yang berdampak pada kerusakan lingkunan alam dan sosial, kemiskinan masyarakat dari kekayaan negara seperti hutan, sungai, ikan, dan kebun; (3) Pekerja masih berada pada kondisi kesejahteraan yang rendah, sebagian besar hasil produksi (penjualan) dinikmati oleh top management, pemegang saham (shareholder-asing), dan elit perkotaan yang bisnisnya dibiayai dari dukungan dana perusahaan (iklan); (4) Meluas dan menguatnya kepemilikan asing dan dominasi korporasi berakibat besarnya aliran uang ke luar (negative net transfer). Aliran uang keluar ini bersumber dari hak sosial ekonomi pekerja, eksploitasi aset (SDA) di daerah, dan aset strategis (BUMN) nasional yang mengalir ke pemegang saham (shareholder) asing, di tambah lagi dengan beban bunga dan pokok utang luar negeri yang dibayar per tahun dengan APBN, hal ini sangat bertentangan dengan UUD 1945;
Peranan rakyat dalam kedaulatan ekonomi (sesuai UUD 1945) untuk penguasaan faktor-faktor produksi sangat minimal, bahkan peranannya berangsur-angsur kian terpinggirkan seiring arus globalisasi ekonomi yang telah merombak model produksi menjadi wujudnya yang kian kapitalistik-liberal dewasa ini
Dan memang disadari banyak pihak persoalan negara seperti ini tidak bisa diselesaikan dalam waktu sesingkatnya dalam satu atau dua periode Presiden, sehingga hampir semua ca(wa)pres mengusung tema kampanye “ekonomi kerakyatan”, saat ini laris manis, diasongkan sebagai ”produk unggulan” dijadikannya sebagai ”tameng” atau ”topeng” bukti keindonesiaan, bahkan sebagai “peluru politis”, namun apa yang diamanatkan dalam UUD 1945 sebagai sistim ekonomi Nasional bernama “ekonomi Karakyatan” ?
Pada prinsip dasar dari ekonomi tersebut roh dan jiwanya adalah “Pancasila dan UUD 1945”, kenapa bernama ekonomi “kerakyatan atau ekonomi rakyat”, pada hal nama yang telah dimunculkan ekonom Prof Emil Salim adalah “Ekonomi Pancasila” di sebuah forum pada tahun 1966 yang diperkuat oleh Prof Mubyarto.
Memang istilah yang paling tepat dan sekaligus mengingatkan kita kepada Pancasila sebagai dasar negara, adalah “ekonomi pancasila”, karena ekonomi Pancasila adalah ideologi dan ilmu serta sistem ekonomi jati diri Indonesia yang mengacu pada sistem nilai dan sistem sosial-budaya bangsa Indonesia yang berlandaskan etika dan falsafah Pancasila, diproses dan digali berdasarkan fakta kehidupan ekonomi masyarakat (real-economic life) rakyat Indonesia, sedangkan “ekonomi Kerakyatan” adalah bagian “Ekonomi Pancasila”, adalah sistem ekonomi yang berpihak pada rakyat, dalam arti mengedepankan serta memprioritas kepentingan rakyat.
Mudah-mudahan, dengan terpilihnya Pemimpin Nasional hasil Pilpres 2009, apa yang diamanatkan oleh “ekonomi Pancasila” dapat secara bertahap dikembalikan ke pada situasi yang diharapkan, seperti (1) Penguasaan tampuk Produksi (aset strategis-hajat hidup orang banyak) dari pengusaaan asing kembali ke negara (rakyat); (2) Pengelolaan aset yang tetap memperhatikan lingkungan, sosial, memberikan dampak positif dan multyflier efect positif pada peningkatan kesejahteraan raktyat; (3) Peningkatan daya beli dan kesejahteraan Pekerja, tidak hanya dinikmati oleh para top manager, pemilik saham; (4) Meminimalkan kepemilikan asing, (5) mengurangi beban bunga dan pokok hutang, (6) menjadikan petani sebagai bagian dalam penentuan harga dll, dengan demikian yang diharapkan terentasnya tingkat pengangguran, kemiskinan, ketimpangan ekonomi, dan kerusakan ekologis (lingkungan) di Indonesia.
ATAU
EKONOMI PANCASILA ?
(By Syamsul Bahri,SE, Conservationis dan Dosen STIE-SAK Kerinci, syamsul_12@yahoo.co.id)
Pemilihan Presiden secara demorasi yang Jurdil, dan luber telah dilaksanakan pada tanggal 8 Juli 2009, secara quick count telah memunculkan pemimpin Indonesia tahun 2009-2014, walaupun hasil resminya masih menunggu perhitungang KPU yang menjadi dasar, terlepas semua pernik dan permasalahan yang muncul, ada baiknya kita mencoba merenungkan dan memperhatikan materi Kampanye para Ca”wa”pres pada Pilpres tahun 2009 ini, dengan berbagai jargon kampnanye, yang berintikan fokus pada tatanan “ekonomi karakyatan”, yang mengklaim bahwa Ca”wa”pres ini sangat peduli dengan rakyat, pada hal “ekonomi karakyatan” secara prinsip belum jelas pemahaman dan pengertiannnya, kalaupun orientasi ekonomi untuk rakyat, jelas semua tatanan ekonomi dunia bertujuan untuk rakyat, baik itu liberal, sosialis.
Kalau menyimak dasar hukum untuk “perekonomian nasional”, yang telah dirumuskan Pendiri Negara “Bung Hatta” dalam sebuah konsep tentang Sistem Ekonomi Indonesia, waktu itu beliau belum memberikan nama “sistim ekonomi Indonesia”, dimana basik dan orientasi aktivitas ekonomi harus disatukan dalam organisasi koperasi sebagai bangun usaha yang sesuai dengan asas kekeluargaan, yang berazaskan prinsip demokrasi ekonomi, yaitu produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua, sedangkan pengelolaannya dipimpin dan diawasi oleh anggota masyarakat sendiri.
Konsep Sistem Ekonomi ini inilah yang kemudian dituangkan dalam UUD 1945 sebagai dasar sistem perekonomian nasional, dengan Pilar yang sejalan dengan agenda reformasi yang telah dituangkan dalam UUD 1945 pasal 33 tersebut yang diuraikan (1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan, (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara, dan (3) Bumi dan air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Dari uraian diatas, bahwa “kedaulatan ekonomi” dalam “demokrasi ekonomi”, di mana produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua di bawah pimpinan atau pemilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan bukan kemakmuran perorang. Oleh sebab itu, perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan, dengan bentuk usaha yang sesuai dengan prinsip tersebut adalah koperasi.
Apa yang terjadi selama ini mulai sejak Orde sebelumnya sampai sekarang, masih tingginya tingkat pengangguran, kemiskinan, ketimpangan ekonomi, dan kerusakan ekologis (lingkungan). Hal ini terjadi dalam kerangka dominasi jaringan modal internasional terhadap penguasaan faktor-faktor produksi (mineral/pertambangan dan perbankan) dan keterjebakan ekonomi Indonesia pada utang luar negeri (debt-trap), sehingga memunculkan pola hubungan (antarpelaku) ekonomi yang tidak seimbang dan cenderung eksploitatif-sub-ordinatif, baik dalam lingkup domestik maupun internasional.
Pernyataan diatas, didukung oleh fakta dan data antara lain (1) Privatisasi BUMN (Indosat, Telkom, Semen Gresik) dan aset strategis (mineral tambang, migas, air, dan hutan) nasional telah mengakibatkan beralihnya penguasaan tampuk produksi dari negara (rakyat) ke penguasaan asing; (2) Korporasi besar (MNC) menguasai dan mengelola SDA startegis di berbagai daerah dengan kontraprestasi yang sangat minimal terhadap daerah tersebut, yang berdampak pada kerusakan lingkunan alam dan sosial, kemiskinan masyarakat dari kekayaan negara seperti hutan, sungai, ikan, dan kebun; (3) Pekerja masih berada pada kondisi kesejahteraan yang rendah, sebagian besar hasil produksi (penjualan) dinikmati oleh top management, pemegang saham (shareholder-asing), dan elit perkotaan yang bisnisnya dibiayai dari dukungan dana perusahaan (iklan); (4) Meluas dan menguatnya kepemilikan asing dan dominasi korporasi berakibat besarnya aliran uang ke luar (negative net transfer). Aliran uang keluar ini bersumber dari hak sosial ekonomi pekerja, eksploitasi aset (SDA) di daerah, dan aset strategis (BUMN) nasional yang mengalir ke pemegang saham (shareholder) asing, di tambah lagi dengan beban bunga dan pokok utang luar negeri yang dibayar per tahun dengan APBN, hal ini sangat bertentangan dengan UUD 1945;
Peranan rakyat dalam kedaulatan ekonomi (sesuai UUD 1945) untuk penguasaan faktor-faktor produksi sangat minimal, bahkan peranannya berangsur-angsur kian terpinggirkan seiring arus globalisasi ekonomi yang telah merombak model produksi menjadi wujudnya yang kian kapitalistik-liberal dewasa ini
Dan memang disadari banyak pihak persoalan negara seperti ini tidak bisa diselesaikan dalam waktu sesingkatnya dalam satu atau dua periode Presiden, sehingga hampir semua ca(wa)pres mengusung tema kampanye “ekonomi kerakyatan”, saat ini laris manis, diasongkan sebagai ”produk unggulan” dijadikannya sebagai ”tameng” atau ”topeng” bukti keindonesiaan, bahkan sebagai “peluru politis”, namun apa yang diamanatkan dalam UUD 1945 sebagai sistim ekonomi Nasional bernama “ekonomi Karakyatan” ?
Pada prinsip dasar dari ekonomi tersebut roh dan jiwanya adalah “Pancasila dan UUD 1945”, kenapa bernama ekonomi “kerakyatan atau ekonomi rakyat”, pada hal nama yang telah dimunculkan ekonom Prof Emil Salim adalah “Ekonomi Pancasila” di sebuah forum pada tahun 1966 yang diperkuat oleh Prof Mubyarto.
Memang istilah yang paling tepat dan sekaligus mengingatkan kita kepada Pancasila sebagai dasar negara, adalah “ekonomi pancasila”, karena ekonomi Pancasila adalah ideologi dan ilmu serta sistem ekonomi jati diri Indonesia yang mengacu pada sistem nilai dan sistem sosial-budaya bangsa Indonesia yang berlandaskan etika dan falsafah Pancasila, diproses dan digali berdasarkan fakta kehidupan ekonomi masyarakat (real-economic life) rakyat Indonesia, sedangkan “ekonomi Kerakyatan” adalah bagian “Ekonomi Pancasila”, adalah sistem ekonomi yang berpihak pada rakyat, dalam arti mengedepankan serta memprioritas kepentingan rakyat.
Mudah-mudahan, dengan terpilihnya Pemimpin Nasional hasil Pilpres 2009, apa yang diamanatkan oleh “ekonomi Pancasila” dapat secara bertahap dikembalikan ke pada situasi yang diharapkan, seperti (1) Penguasaan tampuk Produksi (aset strategis-hajat hidup orang banyak) dari pengusaaan asing kembali ke negara (rakyat); (2) Pengelolaan aset yang tetap memperhatikan lingkungan, sosial, memberikan dampak positif dan multyflier efect positif pada peningkatan kesejahteraan raktyat; (3) Peningkatan daya beli dan kesejahteraan Pekerja, tidak hanya dinikmati oleh para top manager, pemilik saham; (4) Meminimalkan kepemilikan asing, (5) mengurangi beban bunga dan pokok hutang, (6) menjadikan petani sebagai bagian dalam penentuan harga dll, dengan demikian yang diharapkan terentasnya tingkat pengangguran, kemiskinan, ketimpangan ekonomi, dan kerusakan ekologis (lingkungan) di Indonesia.
Langganan:
Postingan (Atom)