POLEMIK KAWASAN KONSERVASI DI INDONESIA ERA OTONOMI DAERAH
(Kompensasi dan kompensasi)
By Syamsul Bahri, SE Pengamatan Lingkungan dan Ekonomi
(bahritnks@telkom.net)
Taman Nasional sebagaimana di amanatkan oleh UU No. 5 tahun 1990, tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, pasal 1 (14) adalah adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Sedangkan kawasan pelestarian Alam (KPA) pasal 1 (13) adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun di perairan yang mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, menurut pasal 6 adalah Sistem penyangga kehidupan merupakan satu proses alami dari berbagai unsur hayati dan nonhayati yang menjamin kelangsungan kehidupan makhluk, dan pasal 7 adalah Perlindungan sistem penyangga kehidupan ditujukan bagi terpeliharanya proses ekologis yang menunjang kelangsungan kehidupan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia,
Dari pemahaman pasal-pasal tersebut, makan dapat diuraikan jelas bahwa taman nasional sbb
1. pasal 1 (14) yang dikelola melalui sistim zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dimana setiap zonasi memiliki ketentuan-ketentuan, salah satu zonanya adalah zona pemanfaatan yang akan memberikan akses masyarakat untuk dapat memanfaatkan potensi non timber secara lestari dan bertanggung jawab, sedsuai Sehingga pemanfaatan sebagaimana pasal 26 bahwa pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dilakukan melalui kegiatan: pemanfaatan kondisi lingkungan kawasan pelestarian alam; pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar, pasal 27 Pemanfaatan kondisi lingkungan kawasan pelestarian alam dilakukan dengan tetap menjaga kelestarian fungsi kawasan. dalam rangka meningkatkan pendapatan masyarakat, sehingga apa yang banyak dikatakan oleh banyak tokoh bahwa taman nasional itu seranting pohon tidak boleh diambil, seekor nyamuk tidak boleh dibunuh, sudah terjawab, namun bagaimana memanfaatkan potensi itu berdasarkan azas pelestarian, dalam bentuk Pemanfaatan jasa lingkungan dan wisata alam, serta zona yang memungkinkan untuk dimanfaatkan secara sangat terbatas seperti zona rimba.
2. Pasal 1 (13) mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, fungsi utama adalah menyangga kehidupan, sehingga peran dan fungsi Taman Nasional melindungi dan menyangga kehidupan mahluk hidup termasuk manusia, yang berada disekitarnya dan didalam kawasan, betepa pentingnya makna penyangga kehidupan
3. Pasal 6 sistim penyangga kehidupan yang menjamin kelangsungan mahluk hidup, termasuk manusia
4. Pasal 7 sistim penyangga ditujukan untuk terpeliharanya proses kehidupan/ekologis untuk kesejahteraan masyarakat.
Dalam penentuan sebuah taman nasional dilihat dari indikator memiliki ekosistem asli, dan melindungi kawasan yang berada di bawah dan atau sekitarnya, tanpa melihat aspek administratif, melainkan berorientasi pada ekolgis, atau bioregional, mungkin terdapat dalam lebih satu kabupaten, lebih satu propinsi, lintas negara.
Pemahaman ini nampaknya menjadi dilematis dalam era Otonomi daerah, yang menganggap bahwa SDA dilihat dari aspek willayah administratif dan nilai ekonomi langsung jangka pendek yang menjadi sumber PAD dalam mendukung pembangunan, padahal prinsip ini akan sangat merugikan pengelolaan kawasan konservasi, yang mengalami tekanan dari berbagai orientasi pembangunan yang menurus pada eksploitatif dan perubahan bentang alam, dimana kawasan konservasi menjadi penyangga ekonomi dan penyangga kehidupan bagi masyarakat sekitarnya dan yang berada dihilirnya
Dilematis ini terus dan terus berkembang dan tekanan kawasan konservasi sebagai penyangga kehidupan semakin berat dan fakta mengatakan bahwa banyak tempat dan banyak daerah serta negara telah merasakan akibat pembangunan yang tidak dan atau kurang memperhatikan lingkungan, dan mereka mulai teriak dan meminta kepada pemimpin untuk kembali memperhatikan RTRW yang berdimensi mencegah bencana dan mendukung ekonomi jangka panjang.
Memang disadari rezim yang memerintah pada suatu Kabupaten/Propinsi berusaha untuk meningkatkan pendapatan yang terakumulasi dalam PAD, melalui berbagai eksploitatif kawasan hutan (peruntukannya adalah fungsi lindung/konservasi dll) di konversi menjadi baik untuk perkebunan sawit, pertambangan, Pemanfaatan Kayu dll, namun hendaknya juga memikirikan dampak yang akan diterima oleh penguasa selanjutnya dan generasi yang akan datang, jangan sampai pemimpin dan generasi yang akan datang harus menanggung beban, baik beban utang, opportunity cost, beban sosial, beban mental yang merupakan kemiskinan yang terskenerio untuk generasi yang akan datang.
Dilematis ini juga akan dapat dieleminir, melalui kempensasi yang diamanatkan oleh UU No. 41 tahun 1999, pasal 68 ayat 3 “Masyarakat di dalam dan di sekitar hutan berhak memperoleh kompensasi karena hilangnya akses dengan hutan sekitarnya sebagai lapangan kerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya akibat penetapan kawasan hutan, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku”., dan pasal 60 (1) “Masyarakat berkewajiban untuk ikut serta memelihara dan menjaga kawasan hutan dari gangguan dan perusakan”
Jelas bahwa mekanisme kompensasi yang telah ada mungkin melalui DAU, DAK, APBD Prop, PDRB Hijau, DNS, CDM, Carbon Trade dll, namun belum jelas dan belum difahami oleh masyarakat, sehingga mekanisme kompensasi perlu adanya penegasan dan ketentuan yang mengikat, baik kompensasi dari Negara, Propinsi, Lemgbaga Internasional, yang mengalokasikan dana pemberdayaan bagi masyarakat yang berada disekitar kawasan konservasi yang tidak bisa menikmati langsung nilai ekonomi hutan.
Banyak Kabupaten/LSM berteriak tentang mana kompensasi Taman Nasional, sebenarnya kompensasi tidak bisa diteriakan oleh Kabupaten/Propinsi yang memiliki kawasan konservasi, tetapi harus melalui proses kajian dan analis dalam penyusunan konsep yang menjadi sebuah Project proposal, ini harusnya menjadi pemikiran bagi pejabat untuk memikirkan kompensasinya. Kita juga harus menyadari bahwa masyarakat sekitar kawasan konservasi memiliki hak untuk hidup layak dan memiliki akses ekonomi ke pusat sumber perekonomian, tentunya tetap mengacu pada ketentuan yang berlaku
Disini jelas, dibutuhkan pemikiran yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat dengan tetap menjaga lingkungan, pejabat atau pemikir seperti ini sangat sulit muncul di era Otonomi daerah, karena hampir pejabat politik berorientasi pada financial benefit jangka pendek, sehinga masa yang akan datang dibutuhkan Pejabat yang arif dalam ekonomi, arif dalam lingkungan, berfikir global berorientasi lokal
Kenyataan banyak pejabat dan balon/calon pejabat justru perusakan lingkungan dalam kemasan apapun dijadikan komoditas kampanye, akhirnya setelah mereka menduduki jabatan tersebut dituntut oleh masyarakat, dan mereka sangat tahu bahwa apa yang mereka jual dalam kampanye politik, baik saa menjabat untuk mendapatkan simpati agar dipilih lagi, atau calon pejabat yang berusaha meraih simpati, jualan tersebut jelas bertentangan dengan UU dan Peraturan yang berlaku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar