Kamis, 07 Januari 2010

PILKADA RAWAN KOROPSI

Perbaiki Aturan dan Pengawasan Pemilihan Kepala Daerah
Kompas, Jumat, 8 Januari 2010 | 03:09 WIB

Jakarta, kompas - Potensi korupsi dalam pemilihan kepala daerah tahun 2010 yang dilakukan di 244 daerah dinilai sangat tinggi. Potensi korupsi itu makin tinggi di daerah yang salah satu calonnya adalah pihak yang tengah berkuasa atau incumbent.

Potensi korupsi dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) terutama dalam bentuk penyalahgunaan anggaran negara, manipulasi dana kampanye, dan politik uang.

Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW) Fahmi Badoh menuturkan hal itu di Jakarta, Kamis (7/1). ”Pilkada tahun ini sangat dekat waktunya dengan Pemilu 2009 sehingga beberapa persoalan terkait pemilu lalu, termasuk pola korupsinya, bisa ditiru dalam pilkada,” katanya.

Salah satu pola korupsi, menurut Fahmi, adalah menggunakan anggaran negara untuk program populis dari calon yang memiliki akses ke kekuasaan. Hal ini terutama akan mudah dilakukan incumbent. ”Ini terjadi karena tak ada aturan pelarangan yang tegas terkait penggunaan uang negara untuk pilkada. Seperti yang terjadi saat pemilu lalu, incumbent bisa membuat program populis menjelang pemilihan,” katanya.

Dari catatan ICW, menjelang pemilu lalu terjadi pembengkakan penggunaan APBN sebesar 50 persen untuk program bantuan sosial yang bersifat populis. ”Kami khawatir pola ini ditiru dalam pilkada,” ujarnya.

Penyalahgunaan fasilitas jabatan dan kekuasaan juga diperkirakan marak pada pilkada tahun 2010. Hal ini juga mewarnai pelanggaran Pemilu 2009. Dari hasil pemantauan ICW dan jaringan kerja di empat daerah, Jakarta, Semarang, Surabaya, dan Yogyakarta, ditemukan 54 indikasi pelanggaran ketentuan terkait dengan fasilitas jabatan.

Fenomena penggunaan fasilitas jabatan yang terjadi pada Pemilu 2009, kata Fahmi, justru lebih banyak terjadi di daerah ketimbang di tingkat nasional. Potensi korupsi itu diperkirakan akan terjadi lagi, terutama di daerah yang minim pengawasan dari masyarakat dan media.

Abdullah Dahlan, peneliti ICW, menambahkan, potensi manipulasi dana kampanye terjadi karena longgarnya aturan. ”Lemahnya aturan dikhawatirkan akan memudahkan masuknya aliran dana dari sumber haram ke rekening pemenangan kampanye pasangan calon. Kondisi ini akan diperparah dengan lumpuhnya pengawasan atas dana kampanye,” ujarnya

Selain itu, kata Abdullah, potensi korupsi dalam pilkada juga dimungkinkan karena tidak ada standar anggaran pilkada. Sampai sekarang tak ada standar penggunaan dana APBD untuk kepentingan pilkada.

Politik uang dalam pilkada, kata Abdullah, sangat mungkin terjadi mulai dari penentuan nominasi kandidat oleh partai politik pendukung hingga pencoblosan. ”Sebagaimana Pemilu 2009, di perkotaan, pembagian uang secara langsung dilakukan pada masa kampanye. Di pedesaan, praktik politik uang terjadi dalam bentuk pemberian sembako, pembagian uang dalam forum pengajian, serta dalih dana bantuan desa,” lanjutnya.

Abdullah mengatakan, korupsi pilkada akan sangat sulit diusut pula. (AIK)
sumber :http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/01/08/03091120/pilkada.rawan.korupsi

Senin, 21 Desember 2009

BIAYA POLITIK DAN ARUS PERUBAHAN DALAM PIL”GUB”KADA PROP JAMBI (Cost Politik berbanding terbalik dengan Aspirasi masyarakat)

By Syamsul Bahri, SE (syamsul_12@yahoo.co.id)
 
PIL”GUB”KADA Prop Jambi yang kemungkinan besar tetap dilaksanakan tahun 2010 merupakan PIL”GUB”KADA yang ke dua kali untuk “Bumi sepucuk Jambi sembilan lurah”, sebuah pesta demokrasi, jika dilihat  berdasarkan pengalaman 1 kali Pil”gub”kada  Tahun 2005, dan berapa Pil”bup” kada di beberapa wilayah Kabupaten/kota dalam Propinsi Jambi

Dengan fakta politik saat ini dalam dinamika politik terutama dalam PIL”GUB”KADA tahun 2010, telah memunculkan beberapa bekal calon gubernur sebanyak (data sementara) sebanyak 9 (sembilan) orang (sesuai pemantauan penulis), baik bacagub yang berasal dari Incumbent (bupati aktif), seperti Hasan Basri Agus (HBA), Zulfikar Ahmad (ZA), Madjid Mu’az (MM), Safrial (Sf), Abdullah Hich (ABH) dan Politisi seperti Zurman Manaf (ZM), Ahamd Murady Drmansyah (AMD), serta pengusaha seperti Hajrin Nurdin (HN) dan Ahamd Murady darmansyah (AMD), serta Sudirman M Johan (SMJ) dari Akademisi dan ini merupakan sesuatu yang sangat luar biasa dibandingkan dengan PIL”GUB”KADA Kabupaten/kota lain di Indonesia, disamping banyaknya calon, secara persyaratan untuk menjadi balon gubenrnur, secara umum beluam ada, karena secara konkrit Perahu Parpol pengusung belum ada kesepakatan yurudis, termasuk akan memakai jalur perorangan, tetapi gaung perahu saat ini semakin santer dan bergema dengan berbagai trik dan startegi, tanpa memperhatikan apa yang diinginkan masyarakat, bahkan membentur mekanisme  dan komitmen yang disepakati dan dibuat sendiri oleh masing-masing parpol.
Terkesan apa yang terjadi, untuk menyeleksi serta berkoalisi antar Parpol, terkesan mengabaikan azas dan flat form partai yang selama ini menjadi roh dan jiwa gerakan parpol secara nasional, jika dimungkin untuk berkoalisi, tentunya terjadi “koalisi semu”, yang kompak dalam rangka PIL”GUB”KADA saja, namun diyakinkan akan bercerai berai bahkan terpecah belah setelah masa bulan madu nantinya. Dengan melihat proses dan fakta sementara yang terjadi, pemilihan bacagub oleh parpol memiliki kecenderungan adalah (1). Take and give, baik financial maupun non financial; (2).komitmen kesepakatan untuk parpol bersakala 5 tahun  kedepan; (3). Mengabaikan flat form dan jiwa serta roh partai; (4). Menghianati komitmen dan kesepakatan yang dibuat sendiri, koalisi semu dan hanya terbatas pada proses untuk pemenangan, sehingga akan terpecah setelah itu, karena azas dan flat form yang sangat berbeda, bahkan visi dan misi sang “bacagub” tidak begitu menjadi bagian persyaratan seleksi, namun lebih diutamakan transkasi untuk Parpol untuk jangka waktu 5 tahun, sunggu ironis
Kondisi ini diperparah tarik ulur calon pedamping, kecenderungan apa yang terjadi di tingkat seleksi untuk bacagub, akan lebih diperluas dalam kontek penentuan bacawagub, sehingga penggabungan 2 personal dengan jiwa yang berbeda dalam sebuah visi dan misi dalam satu pasangan terkesan terpaksa dan dipaksakan nantinya, walaupun visi dan misi merupakan visi dan misi bacagub, namun sebagai bacawagub juga harus sealing pemahaman dan mengerti dalam aplikasinya, kalaupun bisa menyatu nantinya dalam waktu yang singkat sebuah hal yang sangat istimewa, sehingga tidak terkesan hanya untuk memenuhi kebutuhan administrative saja, sehingga secara tahapan proses penentuan bacagub dan bacawagub memberi kesan hanya sebuah ambisius kekuasaan, tidak melalui proses yang komprehensif, kondisi ini menjadi sebuah catatan bagi masyarakat pemilih.
Secara mekanisme pasangan bacagub / bacawagub menjadi cagub / cawagub melalui proses pendaftaran ke KPU, tentunya dengan dukungan Partai Politik sesuai ketentuan kursi yang dimiliki atau melalui jalur perorangan dengan prosentase dukungan yang telah ditetapkan, mesin politik yang diserahkan ke calon melalui mekanisme dan prosedur yang telah ditentukan oleh Parpol, untuk melakukan konsolidasi dan sosialisasi dan kampanye pemenangan, namun pendayung perahu tsb masih berada di Kekuatan elit Parpol atau pengurus partai.
Dari semua tahapan dan kegiatan yang dilakukan, baik pra, proses, maupun saat pelaksanaan pencontrengan, semuanya dibutuhkan biaya atau cost politik yang mungkin dalam tahap pra (sosialisasi) beberapa bacagub menghabiskan dana milyaran rupiah, apalagi sampai pada saat pencontrengan, diperkirakan setiap pasangan cagub dengan dukungan parpol setingkat “kapal pesiar” mungkin akan menghabiskan lebih 100 milyar, apakah dana tersebut merupakan uang hilang atau uang habis, dan justru sangat tidak benar bahwa uang tersebut apakah cost politik dan/atau money politik merupakan uang habis, dari kajian ekonomi itu merupakan investasi jangka pendek selama 5 tahun yang spekulatif.
Dengan cost politik dan/atau money politik sebesar tersebut, yang secara hukum ekonomi tidak mungkin merupakan capital lose atau capital fligt, namun merupakan Capital Investation, sehingga disadari, bahwa masyarakat dan para individu masih memiliki hati nurani serta memiliki tanggung jawab moral untuk memperbaiki dan membangun Jambi yang akan datang, yang terakumulasi dalam “arus perubahan”, secara hitungan matematika ekonomi, keinginan calon untuk membangun dan membawa arus perubahan berbanding terbalik dengan cost politik. Hal ini disadari oleh masyarakat bahwa dibanyak daerah, semakin besar biaya yang dikeluarkan calon dalam proses PIL”GUB”KADA semakin kecil perubahan positif yang didapat oleh masyarakat. Disadari atau tidak disadari bahwa cost politik adalah investasi bagi calon, setiap investasi tentu sudah memperhitungkan rugi laba, walaupun investasi financial dan non financial dalam PIL”GUB”KADA lebih cenderung investasi spekulasi dengan resiko yang cukup tinggi.
Fakta yang factual bahwa sistim dan mekanisme menggiring untuk jabatan public harus diperebutkan melalui uang yang kadang jumlahnya tidak masuk akal itu, maka konsekuensinya adalah terjadinya penyimpangan-penyimpangan di dalam dunia birokrasi. Hukum bisnis akan berlaku. Uang yang telah dikeluarkan sebelumnya untuk mendapatkan jabatan tersebut harus bisa kembali. Jika untuk menjadi caleg, bupati, wali kota atau gubernur dan seterusnya harus mengeluarkan uang, maka selesai menduduki jabatan itu, sejumlah uang tersebut harus kembali semuanya, dan bahkan harus lebih banyak lagi jumlahnya, agar bisa disebut beruntung. Sebagai akibatnya, sebagaimana yang banyak terjadi akhir-akhir ini, banyak pejabat sepert Gubernur dan wakil gubernur.
Memang berebut itu biayanya sangat mahal, apalagi berebut kekuasaan di zaman sekarang. Tidak sedikit wilayah public, di negeri ini, yang menuntut beaya tinggi bagi calon pejabatnya. Mereka harus menyediakan modal besar. Rakyat pun juga tahu semua itu. Akhirnya jabatan itu di mata public juga tidak terlalu dianggap mulia dan terhormat. Hal itu disebabkan karena, mereka menjadi pejabat bukan karena prestasi yang mulia, semisal lebih pandai, lebih arif dan juga berakhlak mulia, melainkan sebatas karena ditopang oleh uang. Lantas dengan begitu, rakyat akan menganggap bahwa jabatan itu tidak lebih hanya sebatas permainan untuk mendapatkan kekuasaan dan uang belaka.
Masyarakat Jambi membutuhkan sebuah Perubahan yang merupakan arus yang sangat kuat di tengah-tengah masyarakat, baik di akar rumput maupun di level menengah ke atas, arus ini menjadi sesuatu yang akan dimanfaatkan oleh para Calon, dan isu ini meupakan factor penentu kemenangan dalam proses PIL”GUB”KADA Jambi nantinya, bahwa pemimpin Jambi yang akan datang, harus sesuai dengan keinginan dan kebutuhan Pembangunan globalisasi, maka masyarakat Jambi mengingin terjadinya perubahan pada tahun kepemimpinan 2010-2015, dengan kriteria antara lain, memilki kemampuan Internasional dan Nasional serta Lokal, Arief dalam ekonomi dan Lingkungan, bisa memahami dan mendengarkan kebutuhan serta memenuhi kebutuhan masyarakat berdasarkan skala prioritas, Bebas KKN dan Berkepribadian sebagai panutan.
Mudahan-mudahan, Jambi masa depan akan lebih baik, sipapun yang menjadi Pemimpin Jambi dan mengusung arus perubahan akan membawa Jambi lebih baik, amin. 

Minggu, 20 Desember 2009

Tokoh Kerinci Harus Segera Bersatu Sikapi Pilgub

Jambi Global | Politik
JAMBI - Wakil Ketua DPD PAN Kabupaten Kerinci Dedi Masyuni SE yang juga anggota DPRD Provinsi Jambi daerah pemilihan Kerinci berharap tokoh-tokoh Kerinci baiik yang ada di Kerinci maupun di luar Kerinci untuk bersatu dalam menyikapi ajang pemilihan gubernur (Pilgub) Jambi 2010. Dedi berkeyakinan dengan bersatunya tokoh-tokoh Kerinci maka siapa pasangan Cagub-Cawagub yang didukung berpotensi untuk keluar sebagai pemenang di Pilgub Jambi periode 2010-2015. ''Harapan saya selaku wakil rakyat Provinsi Jambi daerah pemilihan Kerinci-Sungaipenuh agar tokoh-tokoh Kerinci dan Kota Sungaipenuh ataupun elit-elit Kerinci dan Kota Sungaipenuh untuk bersatu. Beliau-beliau tersebut harus bersedia duduk satu meja membahas dan mendiskusikan siapa yang sebaiknya dan selayaknya didukung untuk memimpin Jambi lima tahun ke depan,'' kata Dedi Masyuni yang juga Sekretaris Komisi III DPRD Provinsi Jambi kepada jambiglobal, Minggu, 13/12/2009.

Disebutnya, jumlah pemilih yang berada di Kerinci dan Kota Sungaipenuh relatif besar yakni mencapai 254.123 orang ditambah lagi dengan warga Kerinci yang berada di luar Kerinci dalam Provinsi Jambi. Sedangkan total pemilih di Provinsi Jambi pada Pilpres 2.198.902 orang. ''Di era pemilihan langsung ini kan suara rakyat sangat berarti karena mereka yang langsung memilih. Oleh karena itu posisi tawar Kerinci sangat besar dan srategis. dan ini harus diawali dengan para tokoh itu sendiri,'' kata Dedi Masyuni.
Siapa figur tokoh Kerinci yang sebaiknya diusung maju di Pilgub Jambi? Dedi enggan menyebutkannya. ''Silahkan di kalangan pra tokoh yang membahasnya,'' katanya.
Meski Dedi enggan menyebutkan tokoh Kerinci yang layak dan pantas dimunculkan, namun sejauh ini nama yang muncul antara lain Ami Taher (mantan anggota DPR RI) , Prof Dr Sudirman, M Rahman (Wakil Bupati Kerinci), Muradi Darmansyah (anggota DPR RI dari hanura). Selain itu ada pula tokoh Kerinci lainnya Rizal Djalil, Nuzran Joher, Fauzi Siin, Rafli Nur , Nur Kamal dan lainnya. Perlunya tokoh Kerinci segera menyikapi Pilgub engan cara duduk satu meja juga diungkapkan Khaidirman yang selama ini masuk dalam tim sukses Prof. DR Sudirman. ''Sangat perlu para tokoh Kerinci duduk satu meja mendisukusikan siapa tokoh asal Kerinci yang akan didukung,'' kata Khaidirman yang berdomisili di Kota Jambi kepada Jambiglobal, Minggu, 13/12/2009. (janewar www.jambiglobal.com)

Selasa, 15 Desember 2009

KERINCI SEBLAT PENGHASIL TAKSOL SATU-SATUNYA DI INDONESIA

Kerinci Seblat Penghasil Taksol Satu-satunya di Indonesia

S I A R A N P E R S
Nomor: S.660/PIK-1/2009

KERINCI SEBLAT PENGHASIL TAKSOL SATU-SATUNYA DI INDONESIA

Penemuan senyawa kimia taksol telah memberikan harapan baru bagi pasien yang terserang virus kanker. Senyawa taksol mempunyai keaktifan yang dapat membunuh virus penyebar berbagai kanker, seperti kanker payudara dan kanker rahim. Taksol adalah senyawa kimia dipertenoid tipe taksan yang telah diisolasi dari spesies taxus. Taxus sumatrana atau dikenal dengan Sumatran yew (Cemara Sumatra) merupakan satu-satunya jenis Taxus yang tumbuh di Indonesia, yaitu di Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). Jenis ini tumbuh secara alami di TNKS pada ketinggian 1400 mdpl – 2300 mdpl pada punggung-punggung bukit atau tepian jurang. Kulit, daun, cabang, ranting dan akar dari Genus Taxus merupakan sumber Taxane, dimana paclitaxel atau lebih dikenal dengan merk dagang Taxol diekstraksi, sebagai obat yang sangat sukses digunakan dalam pengobatan kemoterapi untuk berbagai jenis kanker. Seiring dengan tingginya tingkat eksploitasi yang dilakukan untuk memperoleh bahan aktif taxane di dunia farmasi, maka populasi taxus di dunia telah menurun secara drastis. Permintaan fenomenal terhadap bahan aktif paclitaxel dan berbagai senyawa golongan taxane lainnya berlangsung mulai tahun 1990-an dan sampai saat ini paclitaxel merupakan obat anti kanker paling dicari di dunia. Sejak tahun 2005 Genus Taxus telah dimasukkan ke dalam Appendix II CITES.

Tidak seperti jenis Taxus lainnya yang tumbuh di Eropa dan Amerika yang sudah banyak diteliti, Taxus sumatrana yang tumbuh di Indonesia hanya mendapatkan sedikit perhatian. Padahal jenis ini merupakan salah satu jenis yang potensial untuk dikembangkan baik untuk tujuan konservasi maupun produksi. Salah satu penelitian yang telah dilakukan untuk jenis ini adalah dari aspek keragaman genetik dan uji stek. Berdasarkan hasil penelitian, meskipun habitat alami Taxus sumatrana di Indonesia hanya diketahui ada di kawasan Kerinci Seblat namun jenis ini memiliki keragaman genetik dalam populasi yang cukup tinggi, sedangkan keragaman genetik antar populasi tergolong sedang. Perbanyakan vegetatif jenis ini berhasil dilakukan dengan media terbaik adalah cocopit; sekam pada perbandingan 2:1 v/v dengan menggunakan metode pengkabutan. Persentase stek hidup dan berakar mencapai 66,7%. (#)

Jakarta, 15 Desember 2009
Kepala Pusat Informasi Kehutanan,
ttd.
M a s y h u d
NIP. 19561028 198303 1 002

Sumber http://www.dephut.go.id/index.php?q=id/node/5990

Kamis, 03 Desember 2009

Tingkat Kesejahteraan Petani Jambi Terendah

Kamis, 3 Desember 2009 | 03:33 WIB

JAMBI, KOMPAS - Tingkat kesejahteraan petani di Provinsi Jambi secara nasional berada pada urutan terendah. Tingginya laju pertumbuhan ekonomi daerah tersebut ternyata tidak berbanding lurus dengan tingkat kesejahteraan petaninya. Ini terjadi karena laju pertumbuhan ekonomi Jambi lebih banyak digerakkan oleh tingginya tingkat konsumsi rumah tangga.

Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Jambi Dyan Pramono Effendi, Rabu (2/12), menyatakan, rendahnya tingkat kesejahteraan petani di Provinsi Jambi tersebut diukur dari nilai tukar petani (NTP). NTP diperoleh dari perbandingan indeks harga yang diterima petani terhadap indeks harga yang dibayar petani.

”Dengan kata lain, biaya hidup ditambah biaya produksi yang dikeluarkan petani di Provinsi Jambi lebih besar dibanding pendapatan yang diterimanya. Artinya, daya beli petani lebih rendah dibanding harga-harga kebutuhan hidupnya,” kata Dyan.

Dalam perhitungan NTP, jika pendapatan petani sama dengan jumlah biaya hidup ditambah biaya produksi, maka skornya 100. Jika di bawah 100, artinya pendapatan petani lebih rendah dibanding harga-harga kebutuhan hidup dan biaya bertani.

Berdasarkan data BPS, NTP Provinsi Jambi selama Agustus sampai Oktober 2009 berada di urutan terendah di antara 33 provinsi se-Indonesia. Pada bulan Oktober, misalnya, NTP Provinsi Jambi adalah 93,66. Sementara itu, NTP rata-rata Indonesia adalah 100,79.

Rendahnya NTP Provinsi Jambi itu terjadi di semua subsektor. NTP tanaman pangan sebesar 94,45, NTP hortikultura (97,21), NTP tanaman perkebunan rakyat (90,64), NTP peternakan (98,13), dan NTP perikanan sebesar 91,6.

Terpuruk

Sepanjang Januari hingga Oktober 2009, NTP Provinsi Jambi terus terpuruk di bawah 100. Hal yang sama terjadi di enam bulan pada tahun 2008, yakni Januari, Februari, September, Oktober, November, dan Desember.

Wakil Sekretaris Himpunan Kerukunan Tani Indonesia Provinsi Jambi Doni Parasaribu menyatakan, rendahnya kesejahteraan petani di Jambi akibat sistem pertanian termasuk pola distribusi penjualan secara keseluruhan tidak berpihak pada kepentingan petani. Ini, misalnya, sangat jelas dialami petani plasma di perkebunan karet yang hanya dijadikan alat produksi perusahaan.

Peran Pemerintah Provinsi Jambi dan daerah tingkat dua sebagai fasilitator dinilai tidak jalan, malah yang marak adalah suburnya pungutan liar oleh oknum aparat dan birokrat sehingga menyebabkan biaya produksi membengkak. Ujung-ujungnya, perusahaan menekan pengeluaran yang berkaitan dengan kesejahteraan petani.

Secara terpisah, Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Jambi Tagor Nasution menyatakan, pihaknya menyangsikan validitas data BPS tersebut. Alasannya, laju pertumbuhan ekonomi Jambi yang 70 persen masyarakatnya adalah petani tergolong tinggi.

”Saya kurang percaya kepada data itu karena pertumbuhan ekonomi Jambi termasuk tinggi di Sumatera,” kata Tagor.

Berdasarkan data BPS, laju pertumbuhan ekonomi Provinsi Jambi pada triwulan ketiga sebesar 2,01. Ini, menurut Dyan, termasuk tinggi.

Namun, tingginya laju pertumbuhan ekonomi tersebut lebih banyak disebabkan tingginya tingkat konsumi rumah tangga sehingga tidak berbanding lurus dengan peningkatan kesejahteraan petani. (LAS)

sumber http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/12/03/03333421/tingkat.kesejahteraan.petani.jambi.terendah

Rabu, 25 November 2009

UJIAN NASIONAL DAN KELULUSAN SISWA (Penciptaan generasi intelektual Semu ???)

UJIAN NASIONAL DAN  KELULUSAN SISWA
(Penciptaan generasi intelektual Semu ???)
By Syamsul Bahri, SE, Pengamat, Conservationist, Dosen STIE-SAK, syamsul_12@yahoo.co.id

Berita pelaksanaan ujian nasional bulan Maret 2010 seharusnya tidak mengagetkan (Kompas, 12/11), dan memang menjadi sebuah dilema dalam proses pendidikan di Indonesia, karena kecenderungan proses pendidikan di Indonesia mengarah pada proses menjadikan siswa menjadi “pintar”, bukan bertujuan memcerdaskan kehidupan bangsa, sebagaimana dituangkan dalam pembukaan UUD 1945, sebagai salah satu tujuan dari pendirian Negara ini adalahn “mencerdaskan kehidupan bangsa:
Apa yang disampaikan diatas, terlihat indikasi bahwa pelaksanaan ujian nasional akan dilaksanakan pada bulan Maret 2010, membawa implikasi dalam proses pembelajaran, antara lain “pemadatan pengajaran” dalam bentuk pembentukan “les tambahan”,“tim sukses” Ujian nasional tingkat sekolah, dimana proses pembelajaran diarahkan untuk bagaimana strategi menjawab pertanyaan, dengan memberikan peluang “try out” oleh lembaga-lembaga pendidikan yang direkomendasikan, membuat kosentrasi siswa hanya dipusatkan pada kiat menjawab pertanyaan secara tepat, dalam wilyaha ranah “hapalan” dalam rangka mempertahan dan mengangkat nama baik sekolah dan nama baik kepala sekolah dan Pemerintahan Kabupaten/kota, tentunya pengabaian terhadap nilai jelajah intelektual siswa.
Dengan mekanisme yang telah ditetapkan dalam Ujian Nasional, melalui kriteria kelulusan, kecenderungan menciptakan siswa lulus, bukan menciptakan siswa yang memiliki nilai-nilai kecerdasan/jelajah intelektual yang siap beradaptasi dengan segala pernik pernik bentuk persoalan dan  “pemahaman” materi, seharusnya kelulusan siswa ditentukan oleh proses pembelajaran selama 6 tahun untuk tingkat dasar, dan 3 tahun untuk tingkat menengah dan atas, namun yang terjadi saat ini adalah nilai kelulusan yang tercipta adalah “intelektual semu”, atau “ siswa pintar” tentunya memungkinkan siswa untuk tidak siap menerima kondisi dan situasi yang berbeda. Hasil ini sementara menjadi kebanggan dari sekolah dan Pemerintah Kabupaten/kota, dimana siswa mereka dapat lulus dengan prosentase yang baik dalam Ujian Nasional.

Sebagai hasil akhir dari sebuah proses pembelajaran yang tercipta seperti Ujian Nasional ini adalah bagaimana bisa mendapat Ijazah (STTB), bukan kreativitas yang handal yang mampu menghadapi semua situasi dengan kreativitas dan kompetensi, tentunya apabila siswa tersebut bernasib baik dan menjadi pejabat, maka kecenderungan akan menjadi pejabat dengan “target kesemuan” juga, lebih mengutamakan dan menciptakan kondisi kedamaian semu, dengan segala kongkalikokang

Jelas disini tujuan Pendidikan Nasional yang diamanatkan dalam UUD 1945 adalah ”mencerdaskan kehidupan bangsa, dan fungsi pendidikan Nasional diuraikan dalam UU Pendidikan Nasional No 20 tahun 2003 adalah mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab

Sesuai UU No.20 Tahun 2003,  tentang sistim Pendidikan Nasional Bab XVI pasal 57 ayat (2)  evalausi dilakukan kepada peserta didik, lembaga, dan program pendidikan pada jalur formal dan informal untuk semua jenjang, satuan  dan jenis pendidikan, sedangkan pasal 58 ayat (1) evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh Pendidik untuk mamantau proses kemampuan dah perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan  dan pasal 1 ayat (17) standar nasional Pendidikan adalah criteria minimal tentang sistim pendidikan diseluruh wilayah NKRI, sedangkan Pasal 35 ayat (1) dalam penjelasan “kompetensi kelulusan adalah merupakan kualifikasi kemampauan kelulusan yang mencakup sikap, pengetahuan dan ketrampilan”, disini jelas bahwa kelulusan tidak bisa ditentukan hanya oleh materi yang diujii dalam ujian nasional, karena sikap, kemampuan dan ketrampilan yang hanya diketahui oleh Pendidik/guru tidak dinilai oleh Ujian Nasional, kembali lagi peran pendidik dikebirikan. Pasal 37 materi wajib yang harus diakomodir dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah memuat Pendidikan Agama, PKN, Bahasa, Matematika, IPA, IPS, Seni dan Budaya Penjas, Ketarmpilan dan jasa, muatan local, kata “ wajib” merupakan suatu bentuk yang wajib diajarkan kepada anak didik, konsekwenasinya materi tersebut menjadi indicator sebuah kelulusan anak didik.

Kamis, 05 November 2009

MASA DEPAN KITA ADA DIMANA ???


MASA DEPAN KITA ADA DIMANA ???
(Agenda Utama Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II)
By Syamsul Bahri, SE Conservationist, Pengamat, Dosen STIE-SAK, syamsul_12@yahoo.co.id


Terlepas terbentuknya dan terpilih Menteri KIB II memenuhi aspek Presidential, Zaken Kabinet atau tidak, namun salah satu langkah maju untuk mencoba melihat Indonesia dari berbagai segi telah dilakukan Rembuk Nasional (National Summit 29-31 Oktober 2009), dengan menghasilkan sebuah target yang fantastik, yaitu pertumbuhan ekonomi Indonesia sampai tahun 2014 sebesar 7,0%-8,0%, dengan kegiatan-kegiatan lebih mengutamakan Investasi sektor real, antara lain revitalisasi sektor Pangan (Sub sektor Tanaman pangan dan Holtikultura, Perkebunan, Peternakan, Kehutanan), salah satu tujuan utama adalah menciptakan ketahanan pangan dan kedaulatan pangan di Indonesia serta perbaikan dan pengembangan Infrastruktur dan ketahanan energi yang berjalan seiring

Rembuk Nasional (National Summit) bermaksud ”menyapu bersih” berbagai peraturan yang dinilai menghambat tercapainya target pertumbuhan ekonomi 7-8 persen tahun 2014 (Kompas, 29/10/2009). Demi efisiensi dan pemerintahan yang bersih, maksud itu patut didukung, apabila acuan pada keberhasilan adalah pertumbuhan ekonomi, namun seyogyannya tidak menerobos pilar-pilar ekonomi yang bermaksud melindungi barang dan jasa publik yang bersifat strategis.dalam UUD 1945.

Pilar ekonomi yang tertuang dalam UUD 1945, pasal 33  yang diuraikan  (1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan, (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara, dan (3) Bumi dan air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk “sebesar-besar kemakmuran rakyat”,

Karena inti dari Pilar ekonomi tersebut yang tertuang dalam UUD 1945, “sebesar-besar kemakmuran rakyat”, (tentunya tanpa membedakan kelas) yang belum tentu bisa terpenuhi melalui indikator pertumbuhan ekonomi semata-mata, karena dipandang pertumbuhan ekonomi selama ini telah menciptakan jarak miskin dan kaya semakan jauh, sedangkan salah tujuan Pembanguan Nasional adalah meningkatkan kesejahteraan serta mengentaskan kemiskinan.

Target dan Program Nasional Summit, hendaknya disamping pilar ekonomi yang tertuang dalam UUD 1945, perlu diperhatikan apa yang disamnpaikan oleh Prof. Dr. Emil Salim pada tanggal 15 April 2008 di Istana Isen Mulang, Palangka Raya (Kalteng) “Masa depan kita ada dimana?”, selanjutnya beliau sendiri yang menjawab bahwa “masa depan kita ada di hutan, dengan segala isinya, flora (hewan), fauna (tumbuhan), jasa lingkungan (air, udara, ekowisata), gudangnya ilmu pengetahuan dan sebagainya……!”, dipertegas oleh beliau menekankan akan arti pentingnya kelestarian dan kelangsungan berbagai fungsi dan manfaat hutan untuk generasi kini dan masa mendatang (Kalimantan Post, 30-06-09 11:10), pernyataan Emil  Salim tersebut sejalan dengan penjelasan Duta Besar PBB untuk Millenium Development Goals (MDGs) Asia Pasifik, Erna Witoelar menyatakan perusakan lingkungan menyebabkan masyarakat semakin miskin karena rusaknya sumber daya potensial. "Angka kemiskinan akan terus naik seiring dengan kerusakan lingkungan," Berdasarkan hasil evaluasi program MDGs di Asia Pasifik, tahun 2006 Indonesia dinilai mengalami penurunan pencapaian target MDGs. "Penurunannya sangat parah," kata dia dalam diskusi "Pemenuhan dan Pemulihan Keadilan Ekologis,". Penyebab utamanya adalah bencana alam akibat kerusakan ekologis dan konflik politik. Mundurnya pencapaian pembangunan itu, kata dia, menyebabkan masyarakat semakin miskin, akses pada sarana pendidikan dan kesehatan minim dan lingkungan yang semakin rusak.

Sehingga revitalisasi sector pangan, tidak bisa lepas dari bagaimana kita mengoptimalkan fungsi penyangga kehidupan (penyangga ekonomi) dari sebuah kawasan Konservasi dan atau kawasan Lindung, karena kawasan ini secara ekonomi memiliki nilai ekonomi langsung dan nilai ekonomi yang tidak langsung sebagai penyangga ekonomi masyarakat yang sangat besar, apabila revitalisasi sector pangan mengabaikan peran dan fungsi penyangga kehidupan, tentunya target pencapaian pertumbuhan ekonomi akan mengalami hambatan, bahkan mungkin turun, karena factor penyangga akan sangat berpengaruh atas keberlangsungan dan keberlanjutan peningkatan “kemakmuran rakyat”.

Sebuah kebijakan yang tidak berfihak kepada penyelamatan pelestarian hutan dan lingkungan sebuah kebijakan yang tidak areif dalam pembangunan nasional, dan merupakan sebuah kebijakan pemiskinan terstruktur di Indonesia, dan kondisi hutan dan lingkungan Indonesia cukup memprihatinkan, dengan indicator yang dirasakan adalah bencana demi bencana melanda Indonesia hampir tiap tahun