PENGELOLAAN TN BUKIT DUA BELAS DAN
PENGUATAN EKONOMI LOKAL
(Sebuah solusi Pengentasan Kemiskinan dan Konservasi)
Oleh Syamsul Bahri, SE
(Conservationist, Pengamat, Dosen STIE-SAK)
Kemiskinan identik dengan keterbelakangan merupakan fenomena sosial yang dialami oleh negara dunia ketiga, termasuk Indonesia, sebuah kondisi sosial yang merupakan fenomena terbalik, karena kemiskinan di dunia ketiga hampir didominiasi oleh negara yang kaya akan Potensi Sumber Daya Alam hayati dan Non Hayati. Sedangkan menurut Menurut Kuncoro, (1997: 102–103), Kemiskinan didefinisikan sebagai ketidak mampuan untuk memenuhi standar hidup minimum, dan jka kita lihat kantong kemiskinan yang ada di Indonesia sekitar 31 juta atau 13% , secara general justru banyak berada di desa-desa, seperti tercermin pada data statistik tercatat bahwa dari seluruh penduduk Indonesia mencapai lebih kurang 239 juta jiwa, sekitar mencapai 31 juta atau 13% lebih termasuk kategori masyarakat miskin, dan 12% atau diantarnya sebagai masyarakat miskin, sekitar 48,8 juta jiwa atau 12% tinggal di dalam dan sekitar kawasan hutan. Dari 48,8 juta jiwa penduduk yang tinggal di dalam dan sekitar hutan tersebut 10,2 juta jiwa atau 25% diantaranya tergolong dalam kategori miskin (Departemen Kehutanan, 2006), desa dan indikator desa, lebih dimaknai sebagai sebuah pemukiman yang bedekatan dengan hutan dan kawasan hutan, tentuntya dengan berbagai problema desa yang telah dirasakan oleh masyarakat desa secara turun temurun.
Data tersebut cukup memprihatinkan ditengah-tengah ekonomi global yang menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah salah satu negara dengan tingkat pertumbubuhan ekonomi yang membanggakan yang disampaikan melalui data statistik, yang lebih mempertegaskan bahwa Indonesia sebagai sebuah negara dengan urutan ke 3 ekonomi dunia terbaik setelah Negara India.
Dengan memperhatikan data dan informasi tersebut diatas, Pemberdayaan Masyarakat (enpowerment civil society) sekitar Hutan merupakan sebuah program Departemen Kehutanan yang terintegrasi dengan program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) dalam upaya mengentaskan kemiskinan di Indonesia, hal ini sesuai dengan Ketentuan bahwa masyarakat dan pemberdayaan masyarakat dari aspek UU No. 32 Tahun 2004 menjadi bagian dari Pemerintah Kabupaten/Propinsi, namun Departemen Kehutanan sesuai dengan Undang Undang Kehutanan No. 41 Tahun 1999 pasal 2: “Penyelenggaraan kehutanan berasaskan manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan, dan keterpaduan”. Dalam pasal selanjutnya disebutkan bahwa penyelenggaraan kehutanan bertujuan untuk kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan.
Balai Taman Nasional Bukit Duabelas, dalam pengelolaan Kawawasn Konservasi, sangat memahami kondisi tersebut diatas, dan secara bertahap melakukan pemberdayaan ekonomi dengan kegiatan penguatan ekonomi lokal desa sekitar kawasan TNBD sebagai desa dan masyarakat penyangga melalui penguatan ekonomi kelompok tani atau gabungan kelompok tani (Gapoktan), atau kelompok usaha.
Sesuai data statistik BTNBD, saat ini terdapat 23 desa Penyangga TNBD yang menyebar di 3 Kabupaten yaitu Kabupaten Sarolangun, tebo dan Kabupaten Batanghari dan 4 Kecamatan yaitu Kecamatan Air Hitam, kecamatan Muara Tabir, Marosebo Ulu dan Batin XXIV
Kegiatan Penguatan Ekonomi lokal tersebut telah dimulai pada tahun ke 3 semenjak operasional secara resmi Balai Taman Nasional Bukit Duabelas yaitu semenjak tahun 2009, dari 23 desa Penyangga, telah dilakukan kegiatan pemberdayaan melalui kelompok usaha di 11 desa Penyangga yaitu Desa Bukit Suban, Pematang Kabau, Desa Baru dan Semurung di Kecamatan Air Hitam Kabupaten Sarolangun; Desa Olak Besar, Jelutih Kecamatan Batin XXIV Kabupaten Batanghari; Desa Sungai Lingkar, Desa Padang Kelopo Kecamatan Muarosebo Ulu Kabupaten Batang Hari; Desa Sungai Jernih, Tanah Garo, dan Tambun Arang, Kecamatan Muara Tabir Kabupaten Tebo, yang ditentukan berdasarkan kajian dan analisis skala prioritas.
Dari kegiatan pemberdayaan dan penguatan ekonomi lokal tersebut melalui kelompok usaha yang tergabung dalam Kelompok Tani, kelompok usaha Home Industri dll di 11 desa, sebanyak 82 % bantuan dalam bentuk dukungan untuk kegiatan Pertanian masyarakat, sedangkan sisanya 18% bantuan dalam bentuk kegiatan Industri Rumah tangga (Home Industry) tepat guna, seperti Konveksi, dan pengolahan tahu, kerajinan dll.
Bantuan terasebut lebih bersifat ransangan dan ajakan kepada kelompok untuk mengurangi tekanan dan tingkat ketergantungan terhadap hasil hutan dan hutan secara langsung, sekaligus untuk menumbuh kembangkan peningkatan nilai tambah dan peningkatan pendapatan keluarga anggota Kelompok Usaha, minimal dapat menembus terpenuhinya kebutuhan minimum keluarga atau menembus Powerty line (garis kemiskinan).
Pelaksanaan pemberdayaan ekonomi melalui penguatan ekonomi lokal ini dilakukan melalui tahapan Orientasi lapangan yang dilanjutkan dengan identifikasi, analisis aspek kelayakan ekologi/konservasi, kelayakan ekonomi (yang tercermin dari kelayakan produksi, pasar), kelayakan financial, kelayakan tehnis, kelayakan sosial budaya dan lainnya, melalui pembahasan kesepakatan kelompok usaha/kelompok tani di desa penyangga TNBD secara transparan dan musyawarah, untuk mewjudkan pemberdayaan yang berkelanjutan. Azas musyawarah, azas kesepahaman dan azas button up, azas kesetaraan menjadi paradigma untuk ”membangunan kesepahaman” dalam proses pelaksanaan penguatan ekonomi lokal yang dilaksanakan di Taman Nasional Bukit Duabelas
Sesungguhnya upaya konservasi adalah jawaban untuk mengatasi pesatnya laju kerusakan lingkungan hidup dan sumber daya alam, dengan harapan kegiatan konservasi dilakukan secara berkelanjutan serta adil dan memberi manfaat bagi masyarakat di sekitar kawasan konservasi, melalui pendekatan pemberdayaan masyarakat dalam kegiatan konservasi yang lebih berkeadilan dan berkelanjutan dalam bentuk penguatan ekonomi lokal, diharapkan dapat menghasilkan kerangka pendekatan alternatif tentang “Distribusi Biaya dan Manfaat Konservasi secara Adil” (Equitable Distribution of Costs and Benefits-EDCB) dalam melakukan kegiatan konservasi di lapangan. Kegiatan konservasi menekankan penguatan peran masyarakat dalam mengelola sumber daya alam secara lestari yang bermanfaat bagi kesejahteraan mereka, tentu saja keberhasilan upaya pengelolaan kawasan konservasi, sangat memerlukan peran aktif masyarakat lokal di sekitarnya. Apabila masyarakat lokal merasakan manfaatnya secara langsung, baik itu secara ekonomi maupun sosial dan lingkungan, maka upaya pelestarian keanekaragaman hayati dapat dikatakan berhasil.
Penguatan ekonomi lokal melalui pemberdayaan masyarakat sekitar hutan adalah untuk mendukung pencapaian tujuan pertama Deklarasi MDGs (Millenium Development Goals) 2015, yaitu menurunkan angka kemiskinan pada tahun 2015.
wo kunjungi http://iklansungaipenuh.blogspot.com
BalasHapus