Syamsul Bahri*) Perambahan hutan dan illegal logging menimbulkan kerugian negara triliunan rupiah, bukan hanya di areal hutan produksi, hutan lindung, bahkan menjarah sampai kawasan konservasi, yang merupakan ancaman bagi lingkungan hidup dan berdampak secara global. Kondisi ini sangat memprihatinkan, disamping terdapat kerugian negara dan lebih lagi terhadap lingkungan dan mutu lingkungan yang berlanjut layaknya multiflier efect. Pemerintah telah menempuh berbagai cara untuk menyelamatkan kawasan-kawasan konservasi, baik melalui pemberdayaan masyarakat, penguatan institusi pengelolaa kawasan konservasi, pengamanan terpadu, dll. Namun, hasilnya belum dapat dinikmati oleh masyarakat dan Pemerintah Kabupaten atau Propinsi yang berada di sekitar kawasan konservasi tersebut. Hal ini diksebabkan adanya pemberlakuan yang secara riil belum adil, dimana era otonomi daerah semua wilayah memiliki hak dan tanggung jawab untuk mensejahterakan masyarakat melalui pemanfaatan potensi sumber daya alam (SDA) daerah, dilain pihak Kabupaten yang memiliki kawasan konservasi dalam memperoleh pendapatan asli daerah (PAD) sangat terbatas untuk bisa memanfaatakn potensi SDA secara eksploitatif, karena bentang alam kawasan mengharuskan pengelolaan melalui aspek konservasi untuk melindungi wilayah Kabupaten sendiri dan Kabupaten Lainnnya yang berada di sekitarnya. Kondisi ini menimbulkan dilema dalam pengelolaan kawasan konservasi di Indonesia. Oleh karena itu untuk mengatasi permasalahan ini diperlukan kearifan dan kebijakan yang berpihak kepada masyarakat, terutama masyarakat dan Pemkab yang memiliki kawasan Konservasi dalam upaya menggerak roda pembangunan dan mensejahterakan masyarakat agar tetap berprinsip pada pemanfaatan yang lestari. Di era globalisasi seperti sekarang ini, pengelolaan hutan di Indonesia, secara logika menimbulkan suatu penafsiran ketidak adilan, setiap kayu yang ditebang secara legal dikenai pungutan provisi sumber daya alam dan dana reboisasi yang dikembalikan kepada daerah penghasil sesuai prosentase yang telah ditentukan, untuk mereahabilitasi kawasan yang sudah ditebang, ini memacu Daerah untuk berlomba-lomba menebang hutan yang menjadi kewenangannnya, dengan harapan dana yang akan dikembalikan juga akan besar. Kondisi ini menimbulkan ironis bagi Kabupaten yang tiodak memiliki kawasan hutan yang bisa menghasilkan kayu illegal, tentunya akan membawa konsewensi dana untuk Pembangunan juga relatif tidak ada. Permasalahan ketidak adilan tersebut menimbulkan gagasan dan Ide untuk membentuk sebuah Kabupaten Konservasi dan Dana Alokasi Khusus Konservasi merupakan suatu hal yang memerlukan pemahaman dan pemihakan kepada masyarakat dan Pemerintah Kabupaten, dalam konsep Kabupaten Konservasi memerlukan komitmen dan konsekwensi Peningkatan PAD yang saling sinergis antara pemanfaatan yang lestari dan pembangunan ekonomi. Pembentukan Kabupaten Konservasi menjadikan masyarakat dan pemkab lebih memiliki komitmen untuk menyelamatkan hutan konservasi dan komitmen untuk mensejahterakan masyarakat, sehingga Kabupaten Konservasi melalui mekanisme Dana Alokasi Khusus Konservasi, antara lain Kabupaten Konservasi mendapat pembagian yang sama dengan daerah penghasil kayu yang memiliki areal Konversi dan Hutan Produksi, peluang untuk menjual jasa lingkungan dalam bentuk Carbon trade, air, dan kontribusi internasional dalam bentuk Payment for Enviromental Service – PES ( {Pembayaran untuk setiap jasa yang berkenaan dengan lingkungan) Beberapa Kabupaten yang memiliki indikasi Hight Conservation Value Forest (HCVF), telah ditetapkan dan akan mengajukan diri sebagai Kabupaten Konservasai, seperti Kabupaten Kapuas Hulu, Kabupaten Malinau, Kabupaten Murung Mas, Kabupaten Murung Jaya (Kalimantan), Kabupaten Lebong dan beberapa Kabupaten yang berada disekitar Taman Nasional. Sehingga beberapa Kabupaten yang memiliki kawasan Konservasi berteriak bahwa ” Mana konpensasi ?”, merupakan suatu hal yang sangat wajar, karena mereka hanya menjadi lilin untuk memberikian kontribusi ekologis bagi Kabupaten lain dan dunia, sementara mereka belum bisa memanfaatkan potensi tersebut secara optimal untuk kepentingan pembangunan. Namun perangkat hukum di pemerintah Pusat untuk menjawab tantangan ini belum ada, kondisi ini menjadikan dilematis, sementara hutan konservasi yang menjadi ciri dari Negara Indonesia perlu diselamatkan, namun perangkat untuk Kabupaten Konservasi masih dalam proses Kabupaten Konservasi dengan mekanisme yang akan diatur dalam perangkat hukum, menjadi suatu solusi untuk menyelamatkan hutan di Indonesia, sekaligus menjawab tantangan bahwa masyarakat dan pemkab yang dilingkungi oleh Kawasan Konservasi juga memiliki hak dan tanggung jawab untuk hidup yang layak di bumi persada Indonesia. *)Pengamat lingkungan, e-mail: bahritnks@telkom.net Sumber : http://www.conservation.or.id/home.php?modul=news&catid=28&tcatid=410&page=g_news.detail |
alamat Pengelola Sungai Penuh/Sarolangun/Kerinci Jambi alamat email syamsulbahri_1605@yahoo.com
Kamis, 06 Januari 2011
Apakah Kabupaten Konservasi Merupakan Solusi Penyelamatan Hutan?
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar