HUTAN ADAT HIANG KABUPATEN KERINCI
POTENSI EKONOMI DALAM PERDAGANGAN KARBON
(Bersama dengan Nilai – nilai Ekonomi dari TN Kerinci Seblat)
Sebagai Sumber PAD Kabupaten dan Propinsi
By Syamsul Bahri, SE. Conservationist di Jambi, Dosen STIE SAK Kerinci. Syamsul_@yahoo.co.id
“Masa depan kita ada dimana? ”Pertanyaan tersebut dilontarkan oleh seorang guru besar emeritus FE-UI Prof. Dr. Emil Salim pada tanggal 15 April 2008 di Istana Isen Mulang, Palangka Raya (Kalteng), selanjutnya beliau sendiri yang menjawab bahwa “masa depan kita ada di hutan, dengan segala isinya, flora (hewan), fauna (tumbuhan), jasa lingkungan (air, udara, ekowisata), gudangnya ilmu pengetahuan dan sebagainya……!” Pada waktu itu Prof. Emil Salim sangat jelas menekankan akan arti pentingnya kelestarian dan kelangsungan berbagai fungsi dan manfaat hutan untuk generasi kini dan masa mendatang (Kalimantan Post, 30-06-09 11:10)
Statemen dan pernyataan Prof. Dr. Emil Salim , telah difahami dan disadari oleh masyarakat adat, antara lain masyarakat adat Hiang, berdasarkan Keputusan Bupati Kepala Daerah Tk II Kerinci dengan Keputusan No. 226 Tahun 1993, tanggal 7 Desember 1993, dikelola oleh masyarakat adat yang tergabung dalam masyarakat “Hutan Adat Ninek Limo Hiang Tinggi, Ninek Empat Betung Kuning, Muara Air Dua Kecamatan Setinjau Laut, (selanjutnya disebut Hutan Adat Adat Hiang) dikelola melalui organisasi Kelompok Kerja Hutan adat, yang terdiri dari perwakilan kelompok masyarakat tiga desa, petinggi serta pembantu dengan tugas dan wewenangnya yang sudah diatur dalam Keputusan Bupati
Pengelolaan hutan adat ini bertujuan dan berfungsi untuk perlindungan keanakeragaman hayati, memilihara sumber mata air dan tanah serta daerah tangkapan air, dan terciptanya peran serta masyarakat dalam upaya mendukung usaha-usaha pelestarian lingkungan hidup
Hutan adat Hiang, merupakan pengatur tata air dan kesuburan tanah, bagi masyarakat yang berada di muara/hilir, sehingga sumber air Hutan adapt ini, mengairi daerah-daerah yang berda di Kecamatan, berdasarkan analisa citra Satelit Tahun 2005, bahwa hutan adat ini mengairi sbb
1. Kecamatan Setinjau Laut seluas ± 80 % dari luas Kecamatan
2. Kecamatan Sungai Penuh seluas ±10 % dari luas Kecamatan
3. Kecamatan Danau Kerinci ± 30 % dari luas Kecamatan
4. Kecamatan Air Hangat Timur seluas ± 60 % dari luas Kecamatan
Berdasarkan Penelitian Sdr Syamsul Bahri, dengan judul ”Penilaian Ekonomi Sumber Daya Alam Hutan Adat Ninek Limo Hiang Tinggi, Ninek Empat Betung Kuning, Muara Air Dua, Kecamatan Setinjau laut Kabupaten Kerinci Hutan adat Hiang tahun 2005” memiliki Net Present Value (discount factor 12,5 % selama 10 Tahun) sebesar Rp221.492.769.368,29,-atau 97,62 %, atau Rp 22.149.276.937, setiap Tahun, dengan tidak mengeksploitasi hutan adat dalam bentuk kayu komersil yang bernilai secara ekonomi dengan Net Present Value (discount factor 12,5 % selama 10 Tahun) sebesar Rp5.392.067.753,09 atau 2,38 %
Sebagaimana diketahui Hutan adat Hiang dengan luas 858,95 ha, merupakan salah satu hutan yang dikelola oleh masyarakat adat dan mendapat penghargaan tertinggi oleh Pemerintah sebagai penghargaan Lingkungan Hidup, sesuai Surat Menteri negara Lingkungan Hidup No. B.2781/SES/LH/05/2005, tanggal 31 Mei 2005, tentang penganugrahan Kalpatarus dan Upacara Nasional Hari Lingkungan Hidup, yang berisikan antara lain Pemberian Kalpataru kepada Individu/ Kelompok yang dinilai menunjukan prestasi yang luar biasa dalam pelestarian lingkungan hidup tahun 2005, salah satu adalah masyarakat adat Hutan Adat Nenek Lima Hiang Tinggi, Nenek Empat Betung Kuning, Muara Air Dua Kecamatan Setinjau Laut
Pada Tahun 2012, akan diberlakukan akan dilakukan pembelian dan perdagangan karbon Di bawah kesepakatan Protokol Kyoto, negara industri maju penghasil emisi karbon dioksida diwajibkan membayar kompensasi kepada negara miskin dan atau berkembang atas oksigen yang dihasilkannya, kepada negara yang mempertahan dan melestarikan hutan, sehingga peluang Hutan Adat Hiang untuk meningkatkan nilai ekonomi langsung dengan tetap mempertahankan nilai ekonomi tidak langsung, akan dimungkin akan mendapat nilai penjualan karbon, apabila kawasan Hutan adat ini ditawarkan sebagai kawasan carbon trade, penjualan gas karbon jelas menguntungkan bagi masyarakat dan Pemerintah Pengelola Hutan Lestari, dibandingkan dengan eksploitasi hutan berupa penebangan pohon atau pertambangan, karena banyak keuntungan bila Pemerintah Kabupaten/kota/lembaga adat melibatkan diri dalam perdagangan karbon, selain bisa memperoleh devisa sebagai sumber PAD dan Pemberdayaan dan peningkatan ekonomi masyarakat juga sebagai sarana untuk melestarikan hutan dan lingkungan di daerah ini, apa lagi pengajuan tersebut bersama dengan pengajuan dengan beberapa kawasan hutan adat seperti hutan adat temedak dan lekuk 50 tumbi, dan kawasan TNKS wilayah Propinsi Jambi ( Kabupaten Kerinci, Merangin, Bungo)
TNKS sebagaimana diketahui sebuah kawasan konservasi yang terletak di 4 Propinsi yaitu Jambi, Sumatera Barat, Bengkulu dan Sumatera Selatan, serta menyebar di 13 Kabupaten, dengan luas keseluruhan 1.389.549,87 ha, yang selama ini keberadaannya seakan-akan menjadi factor penghambat pembangunan di daerah oleh banyak orang, apalagi saat Otonomi Daerah sekarang ini, karena keberadaannya sebagai penyangga kehidupan yang menyumbang kontribusi ekonomi tidak langsung sangat besar kurang disadari.
Adapun asumsi penilaian rupiah yang akan diperoleh Hutan adat Hiang dari luas ± 858,95 , dan 1 ha hutan primer akan menghasilkan 147 ton carbon, dengan harga $USD 9, dengan kurs dolar USD adalah Rp.9000 melalui perdagangan carbon mencapai 11 milyar rupiah/tahun.
Sedangkan TNKS wilayah Propinsi Jambi seluas ± 450.197 ha, dengan asumsi perhitungan yang sama Hutan adat Hiang serta asumsi kerusakan 8%, akan mendapat sumber PAD dengan komposisi sherring financial benefit bagi Kabupaten 60%, Propinsi (20%), dan devisa Pemerintah Pusat (20%) dari total nilai 2,5 triliun rupiah/tahun, dengan komposisi Kabupaten Kerinci 48%, Merangin 33% dan Bungo 19%
Tentunya untu meraih nilai tersebut, dibutuhkan komitmen Pemerintah Kabupaten/Propinsi dan DPRD untuk menjaga hutan dan melestarikan hutan, disamping dibutuhkan tenaga profesional yang memahami dan mengerti nilai konservasi dan nilai ekologi serta nilai ekonomi yang tentunya berada di linglungan Dinas kehutanan dan Bappeda di Kabupateh/kota dan Propinsi, untuk menyusun strategi dan perencanaan untuk meraih dana abadi tersebut.
Apabila terrealisasi, maka nilai ekonomi tersebut atau kompensasi itu semakin bermanfaat jika digunakan untuk kegiatan produksi seperti permodalan usaha bagi masyarakat setempat, tentunya dalam proses proses harus didukung dengan komitmen masyarakat dan pemerintah bersama DPRD Kabupaten/Kota dan Propinsi serta Pemerintah Pusat dalam menjaga dan melestarikan kawasan tersebut
Disamping memiliki nilai ekonomi langsung yang sangat tinggi, juga akan lebih penting nilai ekonomi tidak langsung semakin hari semakin besar, karena perdagangan karbon tersebut memberikan dampak lain dengan pemeliharaan hutan, maka akan banyak kawasan resapan air dan hutan menjadi lebat, pada gilirannya jelas akan mengurangi erosi, menahan banjir, serta bencana kebakaran hutan. Bahkan harapannya adalah mengurangi bencana asap yang sudah dirasakan beberapa tahun belakangan ini, dimana telah menimbulkan gangguan terhadap dunia pelayaran dunia penerbangan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar