Pada bulan Juni 2010 ini, sementara masih dianggap hari lahirnya Pancasila tanggal 1 Juni 1945, walaupun masih ada perdebatan terhadap keabsahan lahirnya Pancasila tersebut, namun terlepas dari itu perdebatan siastim ekonomi oleh para pakar juga cukup menghangat.
(By Syamsul Bahri,SE, Conservationis dan Dosen STIE-SAK Kerinci, syamsul_12@yahoo.co.id)
Pemilihan Presiden secara demorasi yang Jurdil, dan luber telah dilaksanakan pada tanggal 8 Juli 2009, secara quick count telah memunculkan pemimpin Indonesia tahun 2009-2014, terlepas semua pernik dan permasalahan yang muncul, ada baiknya kita mencoba merenungkan dan memperhatikan materi Kampanye para Ca”wa”pres pada Pilpres tahun 2009 ini, bahkan termasuk Pilgubkada dan Pilbupkada dengan berbagai jargon kampanye, yang berintikan fokus pada tatanan “ekonomi karakyatan”, yang mengklaim bahwa pasangan cagub, cabup sangat peduli dengan rakyat, pada hal “ekonomi karakyatan” secara prinsip belum jelas pemahaman dan pengertiannnya, kalaupun orientasi ekonomi untuk rakyat, jelas semua tatanan ekonomi dunia bertujuan untuk rakyat, baik itu liberal, sosialis.
Kalau menyimak dasar hukum untuk “perekonomian nasional”, yang telah dirumuskan Pendiri Negara “Bung Hatta” dalam sebuah konsep tentang Sistem Ekonomi Indonesia, waktu itu beliau belum memberikan nama “sistim ekonomi Indonesia”, dimana basik dan orientasi aktivitas ekonomi harus disatukan dalam organisasi koperasi sebagai bangun usaha yang sesuai dengan asas kekeluargaan, yang berazaskan prinsip demokrasi ekonomi, yaitu produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua, sedangkan pengelolaannya dipimpin dan diawasi oleh anggota masyarakat sendiri.
Konsep Sistem Ekonomi ini inilah yang kemudian dituangkan dalam UUD 1945 sebagai dasar sistem perekonomian nasional, dengan Pilar yang sejalan dengan agenda reformasi yang telah dituangkan dalam UUD 1945 pasal 33 tersebut yang diuraikan (1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan, (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara, dan (3) Bumi dan air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Dari uraian diatas, bahwa “kedaulatan ekonomi” dalam “demokrasi ekonomi”, di mana produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua di bawah pimpinan atau pemilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan bukan kemakmuran perorang. Oleh sebab itu, perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan, dengan bentuk usaha yang sesuai dengan prinsip tersebut adalah koperasi.
Apa yang terjadi selama ini mulai sejak Orde sebelumnya sampai sekarang, masih tingginya tingkat pengangguran, kemiskinan, ketimpangan ekonomi, dan kerusakan ekologis (lingkungan). Hal ini terjadi dalam kerangka dominasi jaringan modal internasional terhadap penguasaan faktor-faktor produksi (mineral/pertambangan dan perbankan) dan keterjebakan ekonomi Indonesia pada utang luar negeri (debt-trap), sehingga memunculkan pola hubungan (antarpelaku) ekonomi yang tidak seimbang dan cenderung eksploitatif-sub-ordinatif, baik dalam lingkup domestik maupun internasional.
Pernyataan diatas, didukung oleh fakta dan data antara lain (1) Privatisasi BUMN (Indosat, Telkom, Semen Gresik) dan aset strategis (mineral tambang, migas, air, dan hutan) nasional telah mengakibatkan beralihnya penguasaan tampuk produksi dari negara (rakyat) ke penguasaan asing; (2) Korporasi besar (MNC) menguasai dan mengelola SDA startegis di berbagai daerah dengan kontraprestasi yang sangat minimal terhadap daerah tersebut, yang berdampak pada kerusakan lingkunan alam dan sosial, kemiskinan masyarakat dari kekayaan negara seperti hutan, sungai, ikan, dan kebun; (3) Pekerja masih berada pada kondisi kesejahteraan yang rendah, sebagian besar hasil produksi (penjualan) dinikmati oleh top management, pemegang saham (shareholder-asing), dan elit perkotaan yang bisnisnya dibiayai dari dukungan dana perusahaan (iklan); (4) Meluas dan menguatnya kepemilikan asing dan dominasi korporasi berakibat besarnya aliran uang ke luar (negative net transfer). Aliran uang keluar ini bersumber dari hak sosial ekonomi pekerja, eksploitasi aset (SDA) di daerah, dan aset strategis (BUMN) nasional yang mengalir ke pemegang saham (shareholder) asing, di tambah lagi dengan beban bunga dan pokok utang luar negeri yang dibayar per tahun dengan APBN, hal ini sangat bertentangan dengan UUD 1945;
Peranan rakyat dalam kedaulatan ekonomi (sesuai UUD 1945) untuk penguasaan faktor-faktor produksi sangat minimal, bahkan peranannya berangsur-angsur kian terpinggirkan seiring arus globalisasi ekonomi yang telah merombak model produksi menjadi wujudnya yang kian kapitalistik-liberal dewasa ini
Dan memang disadari banyak pihak persoalan negara seperti ini tidak bisa diselesaikan dalam waktu sesingkatnya dalam satu atau dua periode Presiden, sehingga hampir semua ca(wa)pres mengusung tema kampanye “ekonomi kerakyatan”, saat ini laris manis, diasongkan sebagai ”produk unggulan” dijadikannya sebagai ”tameng” atau ”topeng” bukti keindonesiaan, bahkan sebagai “peluru politis”, namun apa yang diamanatkan dalam UUD 1945 sebagai sistim ekonomi Nasional bernama “ekonomi Karakyatan” ?
Pada prinsip dasar dari ekonomi tersebut roh dan jiwanya adalah “Pancasila dan UUD 1945”, kenapa bernama ekonomi “kerakyatan atau ekonomi rakyat”, pada hal nama yang telah dimunculkan ekonom Prof Emil Salim adalah “Ekonomi Pancasila” di sebuah forum pada tahun 1966 yang diperkuat oleh Prof Mubyarto.
Memang istilah yang paling tepat dan sekaligus mengingatkan kita kepada Pancasila sebagai dasar negara, adalah “ekonomi pancasila”, karena ekonomi Pancasila adalah ideologi dan ilmu serta sistem ekonomi jati diri Indonesia yang mengacu pada sistem nilai dan sistem sosial-budaya bangsa Indonesia yang berlandaskan etika dan falsafah Pancasila, diproses dan digali berdasarkan fakta kehidupan ekonomi masyarakat (real-economic life) rakyat Indonesia, sedangkan “ekonomi Kerakyatan” adalah bagian “Ekonomi Pancasila”, adalah sistem ekonomi yang berpihak pada rakyat, dalam arti mengedepankan serta memprioritas kepentingan rakyat.
Mudah-mudahan, dengan terpilihnya Pemimpin Nasional hasil Pilpres 2009, apa yang diamanatkan oleh “ekonomi Pancasila” dapat secara bertahap dikembalikan ke pada situasi yang diharapkan, seperti (1) Penguasaan tampuk Produksi (aset strategis-hajat hidup orang banyak) dari pengusaaan asing kembali ke negara (rakyat); (2) Pengelolaan aset yang tetap memperhatikan lingkungan, sosial, memberikan dampak positif dan multyflier efect positif pada peningkatan kesejahteraan raktyat; (3) Peningkatan daya beli dan kesejahteraan Pekerja, tidak hanya dinikmati oleh para top manager, pemilik saham; (4) Meminimalkan kepemilikan asing, (5) mengurangi beban bunga dan pokok hutang, (6) menjadikan petani sebagai bagian dalam penentuan harga dll, dengan demikian yang diharapkan terentasnya tingkat pengangguran, kemiskinan, ketimpangan ekonomi, dan kerusakan ekologis (lingkungan) di Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar