Kamis, 08 Oktober 2009

MENEROPONG KEPEMIMPINAN PROPINSI JAMBI SAMPAI TAHUN 2009

MENEROPONG KEPEMIMPINAN PROPINSI JAMBI
SAMPAI TAHUN 2009
Dari Indikator Indek Nilai Tukar Petani (NTP)
By Syamsul Bahri, SE Pemerhati Lingkungan, Conservationist, Dosen STIE-Sak Kerinci, syamsul_12@yahoo.co.id

Propinsi Jambi secara resmi menjadi Propinsi tahun 1958 berdasarkan Undang-undang No. 61 tahun 1958 tanggal 25 juni 1958, terletak antara 0º 45¹ 2º 45¹ LS dan 101º 0¹ - 104º 55 BT, ditengah pulau sumatera membujur sepanjang pantai timur sampai barat, dengan luas 53.435.72 Km², yang terdiri dari 98,82% daratan, 0,82% lautan dan 0,36% wilayah garis pantai, dalam artian sudah mengelola daerah sendiri selama ±51 tahun.

Dengan potensi Sumber Daya Alam yang melimpah, baik pertamabangan, perkebunan, kehutanan, pertanian dll, serta merupakan sebuah Propinsi di Pulau Sumatera yang kaya dan memiliki sumber Pendapatan Asli daerah yang memadai, bahkan merupakan salah satu Propinsi yang memiliki letak yang strategis kawasan segi tiga pertumbuhan Indonesia-Malaysia-Singapore (IMS-GT).

Hal itu seyogyannya membawa sebuah konsekwensi kehidupan sosial ekonomi masyarakat Jambi dengan komposisi Penduduk berdasarkan Pekerjaan, didominiasi oleh Petani sebanyak 76,2%, Perdagangan sebanyak 13,1 % dan Jasa kemasyarakatan sebanyak 10,8%, menuju sebuah kesejahteraan yang menjadi cita-cita negara dalam proses pembangunan, yang dimulai dari sebuah proses demokrasi politik, baik demokrasi Pemilihan Pimpinan Daerah era orde baru maupun pola Pilkada era Reformasi, dengan tujuan utama adalam mewjudkan kesejahteraan rakyat yang berkeadilan.

Dari data tersebut diatas, dengan melihat komposisi kewilayahan, jelas penduduk Jambi masih didominasi dengan sumber mata pencaharian Penduduk adalah petani dari kelompok holtikultura, pangan, perkebunan Rakyat, perikanan, peternakan, dalam artian kegiatan pertanian merupakan sumber penghidupan utama masyarakat Jambi.

Petani sebagai penduduk dominan, diwilayah yang kaya akan sumber kehidupan pertanian, setelah membaca kompas tanggal 5 oktober 2009, dengan judul ” Tingkat Kesejahteraan Petani di Jambi Terbawah” di web http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/10/05/03595030/Tingkat-Kesejahteraan-Petani-di-Jambi-terendah,

Dengan membaca berita tersebut sungguh sangat terkejut dan ironis bahwa, Indek Nilai Tukar Petani (NTP) di Jambi terbawah selama 10 bulan ini (sampai Agustus 2009), merupakan terendah secara nasional bersama dengan Propinsi Papua Barat, bahkan, Jambi beberapa kali menjadi provinsi yang memiliki NTP terendah secara nasional, yang membuat pertanyaan muncul dalam benak, data yang disampaikan itu objektif atau subjektif, apakah benar ? atau tidak ?, bahwa ” Tingkat Kesejahteraan Petani di Jambi Terbawah secara nasional ???, karena dari data dan potensi serta kegiatan pertanian yang dilakukan, sesuatu hal yang tidak mungkin terjadi.

Memang disadari bahwa pemaknaan dari NTP dibawah 100 tersebut berindikasikan
1. Biaya yang dikeluarkan petani lebih rendah dibandingkan dengan nilai yang diperolehnya.
2. NTP menunjukkan daya tukar produk pertanian dengan konsumsi barang dan jasa untuk biaya produksi.
3. Menandakan makin rendahnya daya beli petani.
4. Membandingkan tingkat kesejahteraan petani setiap propinsi yang mencerminkan tingkat keberhasilan kepemimpinan Propins/Kabupaten/kota dalam Pembangunan bidang Pertanian

Nilai Tukar Petani (NTP) adalah Rasio antara Indeks Harga yang diterima Petani dengan Indeks Harga yang dibayar untuk keperluan konsumsi rumah tangga serta keperluan produksi pertanian, yang dinyatakan dalam persen. NTP merupakan indikator yang digunakan untuk melihat tingkat kesejahteraan petani.

Melemah atau menurunya NTP petani Propinsi Jambi, dipengaruhi oleh produktivitas petani yang menurun, harga komodity rendah, harga faktor produksi yang tinggi, tentunya juga dipengaruhi infrastrukur terutama transportasi, Irigasi, SDM, dll, yang kian hari kian tidak terawat dan menyulitkan petani.

Melemahnya dan menurunya NTP disamping indikator rendahnya kesejahtereaan petani, juga berindikasi melemahnya pelaksanaan pembangunan untuk mendukung sektor pertanian, infrastruktur, dan multiefek dampak negatif dari NTP tersebut, semuanya merupakan kontribusi dari kepemimpinan Propinsi dan Kepemimpinan Kabupaten/kota dalam Propinsi Jambi.

Seyogyannya NTP Propinsi Jambi saat ini menjadi catatan penting bagi Bupati/walikota dan Gubernur Propinsi Jambi, sebagai sumbangan kolektif dalam penentuan NTP Propinsi Jambi di tingkat Nasional yang tercermin dari Indek NTP ini, apalagi para Bupati aktif, sebagai Incumbent yang telah dan sedang memerintah di masing-masing Kabupaten, ada yang baru satu periode dan ada yang akan mencapi 2 periode akan ikut ujian naik kelas dalam PIL”GUB”KADA Jambi.

Penulisan tulisan ini melihat dari sumber data yang ada, dan mengulas secara singkat dalam kontek Ilmiah

Selasa, 06 Oktober 2009

Tingkat Kesejahteraan Petani di Jambi Terbawah

EKONOMI KERAKYATAN
Tingkat Kesejahteraan Petani di Jambi Terbawah

Senin, 5 Oktober 2009 | 03:59 WIB

Jambi, Kompas - Tingkat kesejahteraan petani di Provinsi Jambi selama sepuluh bulan terakhir tercatat rendah. Pada Agustus lalu bahkan terendah secara nasional.

Rendahnya tingkat kesejahteraan itu terlihat dari nilai tukar petani (NTP) yang selalu berada di bawah indeks 100. Indeks di bawah 100 berarti biaya yang dikeluarkan petani lebih rendah dibandingkan dengan nilai yang diperolehnya. NTP menunjukkan daya tukar produk pertanian dengan konsumsi barang dan jasa untuk biaya produksi. NTP di bawah 100 juga menandakan makin rendahnya daya beli petani.

”NTP Provinsi Jambi pada Agustus 2009 mencapai 94,69,” ujar Dyan Pramono Effendi, akhir pekan lalu.

Ia melanjutkan, NTP pada Agustus lalu turun 1,25 persen dari bulan sebelumnya. Penurunan ini disebabkan turunnya indeks yang diterima petani 1,33 persen, khususnya pada subsektor tanaman pangan yang minus 3,7 persen.

Tingkat kesejahteraan petani di Jambi berada pada urutan terbawah, alias paling rendah dibandingkan dengan provinsi lain di Indonesia. Berdasarkan data BPS, nilai tukar petani pada 22 provinsi mengalami kenaikan dan 10 provinsi lainnya menurun, termasuk Jambi. Kenaikan NTP tertinggi terjadi di Sumatera Barat, sedangkan penurunan terendah dialami Papua Barat. Selain Jambi, provinsi lain yang tingkat kesejahteraannya rendah adalah Bangka Belitung, Jawa Barat, dan Jawa Tengah.

Pada Agustus lalu, ada lima subsektor yang mengalami penurunan, yaitu tanaman pangan, perkebunan rakyat, peternakan, dan perikanan. Indeks yang diterima petani pada subkelompok ini mengalami penurunan dibandingkan bulan sebelumnya.

Pengamat ekonomi dari Universitas Batanghari, Pantun Bukit, mengatakan, petani di Jambi terkendala oleh distribusi dan pemasaran hasil produk yang mereka hasilkan. Berbagai persoalan dialami mereka, seperti infrastruktur yang masih minim serta belum adanya proteksi harga jual di tingkat petani karena selalu jatuh saat panen.

Selama sepuluh bulan terakhir, nilai NTP selalu berada di bawah indeks 100. Bahkan, Jambi beberapa kali menjadi provinsi yang memiliki NTP terendah secara nasional.

September lalu, Kota Jambi mengalami inflasi sebesar 0,95 persen. Inflasi didorong oleh kenaikan indeks kelompok bahan makanan, makanan jadi, dan minuman, serta kelompok sandang dan kelompok transportasi.

Berdasarkan data BPS Jambi, kenaikan indeks harga terjadi pada bahan makanan sebesar 1,97 persen, kelompok makanan jadi dan minuman 0,41 persen, serta transportasi 1,17 persen.

Komoditas utama yang memberikan andil terhadap inflasi adalah cabai merah, gula pasir, angkutan udara, beras, tomat, tempa, dan ketupat. Adapun komoditas yang mengalami penurunan harga adalah telur ayam ras, minyak goreng, daging ayam ras, kelapa, dan bawang merah.

Pada kelompok bahan makanan, terdapat enam subkelompok yang mengalami inflasi, yaitu padi, umbu, ikan segar, kacang, buah, dan bumbu. Di kelompok makanan jadi, subkelompok yang mengalami inflasi adalah gula pasir, ketupat sayur, dan kopi bubuk. (ITA) http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/10/05/03595030/tingkat.kesejahteraan.petani.di.jambi.terbawah

Senin, 05 Oktober 2009

HUTAN ADAT HIANG KABUPATEN KERINCI POTENSI EKONOMI DALAM PERDAGANGAN KARBON


HUTAN ADAT HIANG KABUPATEN KERINCI
POTENSI EKONOMI DALAM PERDAGANGAN KARBON
(Bersama dengan Nilai – nilai Ekonomi dari TN Kerinci Seblat)
Sebagai Sumber PAD Kabupaten dan Propinsi
By Syamsul Bahri, SE. Conservationist di Jambi, Dosen STIE SAK Kerinci. Syamsul_@yahoo.co.id

 “Masa depan kita ada dimana? ”Pertanyaan tersebut dilontarkan oleh seorang guru besar emeritus FE-UI Prof. Dr. Emil Salim pada tanggal 15 April 2008 di Istana Isen Mulang, Palangka Raya (Kalteng), selanjutnya beliau sendiri yang menjawab bahwa “masa depan kita ada di hutan, dengan segala isinya, flora (hewan), fauna (tumbuhan), jasa lingkungan (air, udara, ekowisata), gudangnya ilmu pengetahuan dan sebagainya……!” Pada waktu itu Prof. Emil Salim sangat jelas menekankan akan arti pentingnya kelestarian dan kelangsungan berbagai fungsi dan manfaat hutan untuk generasi kini dan masa mendatang (Kalimantan Post, 30-06-09 11:10)

Statemen dan pernyataan Prof. Dr. Emil Salim , telah difahami dan disadari oleh masyarakat adat, antara lain masyarakat adat Hiang, berdasarkan Keputusan Bupati Kepala Daerah Tk II Kerinci dengan Keputusan No. 226 Tahun 1993, tanggal 7 Desember 1993, dikelola oleh masyarakat adat yang tergabung dalam masyarakat “Hutan Adat Ninek Limo Hiang Tinggi, Ninek Empat Betung Kuning, Muara Air Dua Kecamatan Setinjau Laut, (selanjutnya disebut Hutan Adat Adat Hiang) dikelola melalui organisasi Kelompok Kerja Hutan adat, yang terdiri dari perwakilan kelompok masyarakat tiga desa, petinggi serta pembantu dengan tugas dan wewenangnya yang sudah diatur dalam Keputusan Bupati

Pengelolaan hutan adat ini bertujuan dan berfungsi untuk perlindungan keanakeragaman hayati, memilihara sumber mata air dan tanah serta daerah tangkapan air, dan terciptanya peran serta masyarakat dalam upaya mendukung usaha-usaha pelestarian lingkungan hidup

Hutan adat Hiang, merupakan pengatur tata air dan kesuburan tanah, bagi masyarakat yang berada di muara/hilir, sehingga sumber air Hutan adapt ini, mengairi daerah-daerah yang berda di Kecamatan, berdasarkan analisa citra Satelit Tahun 2005, bahwa hutan adat ini mengairi sbb
1. Kecamatan Setinjau Laut seluas ± 80 % dari luas Kecamatan
2. Kecamatan Sungai Penuh seluas ±10 % dari luas Kecamatan
3. Kecamatan Danau Kerinci ± 30 % dari luas Kecamatan
4. Kecamatan Air Hangat Timur seluas ± 60 % dari luas Kecamatan

Berdasarkan Penelitian Sdr Syamsul Bahri, dengan judul ”Penilaian Ekonomi Sumber Daya Alam Hutan Adat Ninek Limo Hiang Tinggi, Ninek Empat Betung Kuning, Muara Air Dua, Kecamatan Setinjau laut Kabupaten Kerinci Hutan adat Hiang tahun 2005” memiliki Net Present Value (discount factor 12,5 % selama 10 Tahun) sebesar Rp221.492.769.368,29,-atau 97,62 %, atau Rp 22.149.276.937, setiap Tahun, dengan tidak mengeksploitasi hutan adat dalam bentuk kayu komersil yang bernilai secara ekonomi dengan Net Present Value (discount factor 12,5 % selama 10 Tahun) sebesar Rp5.392.067.753,09 atau 2,38 %


Sebagaimana diketahui Hutan adat Hiang dengan luas 858,95 ha, merupakan salah satu hutan yang dikelola oleh masyarakat adat dan mendapat penghargaan tertinggi oleh Pemerintah sebagai penghargaan Lingkungan Hidup, sesuai Surat Menteri negara Lingkungan Hidup No. B.2781/SES/LH/05/2005, tanggal 31 Mei 2005, tentang penganugrahan Kalpatarus dan Upacara Nasional Hari Lingkungan Hidup, yang berisikan antara lain Pemberian Kalpataru kepada Individu/ Kelompok yang dinilai menunjukan prestasi yang luar biasa dalam pelestarian lingkungan hidup tahun 2005, salah satu adalah masyarakat adat Hutan Adat Nenek Lima Hiang Tinggi, Nenek Empat Betung Kuning, Muara Air Dua Kecamatan Setinjau Laut

Pada Tahun 2012, akan diberlakukan akan dilakukan pembelian dan perdagangan karbon Di bawah kesepakatan Protokol Kyoto, negara industri maju penghasil emisi karbon dioksida diwajibkan membayar kompensasi kepada negara miskin dan atau berkembang atas oksigen yang dihasilkannya, kepada negara yang mempertahan dan melestarikan hutan, sehingga peluang Hutan Adat Hiang untuk meningkatkan nilai ekonomi langsung dengan tetap mempertahankan nilai ekonomi tidak langsung, akan dimungkin akan mendapat nilai penjualan karbon, apabila kawasan Hutan adat ini ditawarkan sebagai kawasan carbon trade, penjualan gas karbon jelas menguntungkan bagi masyarakat dan Pemerintah Pengelola Hutan Lestari, dibandingkan dengan eksploitasi hutan berupa penebangan pohon atau pertambangan, karena banyak keuntungan bila Pemerintah Kabupaten/kota/lembaga adat melibatkan diri dalam perdagangan karbon, selain bisa memperoleh devisa sebagai sumber PAD dan Pemberdayaan dan peningkatan ekonomi masyarakat juga sebagai sarana untuk melestarikan hutan dan lingkungan di daerah ini, apa lagi pengajuan tersebut bersama dengan pengajuan dengan beberapa kawasan hutan adat seperti hutan adat temedak dan lekuk 50 tumbi, dan kawasan TNKS wilayah Propinsi Jambi ( Kabupaten Kerinci, Merangin, Bungo)


TNKS sebagaimana diketahui sebuah kawasan konservasi yang terletak di 4 Propinsi yaitu Jambi, Sumatera Barat, Bengkulu dan Sumatera Selatan, serta menyebar di 13 Kabupaten, dengan luas keseluruhan 1.389.549,87 ha, yang selama ini keberadaannya seakan-akan menjadi factor penghambat pembangunan di daerah oleh banyak orang, apalagi saat Otonomi Daerah sekarang ini, karena keberadaannya sebagai penyangga kehidupan yang menyumbang kontribusi ekonomi tidak langsung sangat besar kurang disadari.

Adapun asumsi penilaian rupiah yang akan diperoleh Hutan adat Hiang dari luas ± 858,95 , dan 1 ha hutan primer akan menghasilkan 147 ton carbon, dengan harga $USD 9, dengan kurs dolar USD adalah Rp.9000 melalui perdagangan carbon mencapai 11 milyar rupiah/tahun.

Sedangkan TNKS wilayah Propinsi Jambi seluas ± 450.197 ha, dengan asumsi perhitungan yang sama Hutan adat Hiang serta asumsi kerusakan 8%, akan mendapat sumber PAD dengan komposisi sherring financial benefit bagi Kabupaten 60%, Propinsi (20%), dan devisa Pemerintah Pusat (20%) dari total nilai 2,5 triliun rupiah/tahun, dengan komposisi Kabupaten Kerinci 48%, Merangin 33% dan Bungo 19%

Tentunya untu meraih nilai tersebut, dibutuhkan komitmen Pemerintah Kabupaten/Propinsi dan DPRD untuk menjaga hutan dan melestarikan hutan, disamping dibutuhkan tenaga profesional yang memahami dan mengerti nilai konservasi dan nilai ekologi serta nilai ekonomi yang tentunya berada di linglungan Dinas kehutanan dan Bappeda di Kabupateh/kota dan Propinsi, untuk menyusun strategi dan perencanaan untuk meraih dana abadi tersebut.

Apabila terrealisasi, maka nilai ekonomi tersebut atau kompensasi itu semakin bermanfaat jika digunakan untuk kegiatan produksi seperti permodalan usaha bagi masyarakat setempat, tentunya dalam proses proses harus didukung dengan komitmen masyarakat dan pemerintah bersama DPRD Kabupaten/Kota dan Propinsi serta Pemerintah Pusat dalam menjaga dan melestarikan kawasan tersebut

Disamping memiliki nilai ekonomi langsung yang sangat tinggi, juga akan lebih penting nilai ekonomi tidak langsung semakin hari semakin besar, karena perdagangan karbon tersebut memberikan dampak lain dengan pemeliharaan hutan, maka akan banyak kawasan resapan air dan hutan menjadi lebat, pada gilirannya jelas akan mengurangi erosi, menahan banjir, serta bencana kebakaran hutan. Bahkan harapannya adalah mengurangi bencana asap yang sudah dirasakan beberapa tahun belakangan ini, dimana telah menimbulkan gangguan terhadap dunia pelayaran dunia penerbangan