Kamis, 08 April 2010

Seraut Kasih di Negeri Seberang

Ratusan kilo bahkan ribuan kilo jarak memisahkan puncak Krakatau di negara ku. Ku pandangi lagi sudut-sudut bahagian perbatasan negara yang tampak semakin remang dari penglihatan. Di atas kapal itu kaki-kaki ku tak henti bergerak kebelakang melawan arus kapal yg melaju meninggalkan raut rupa menara bangsa ku yang selalu disebut Monas itu. Tak percaya apa yang kulihat didepan pandangan, pucuk mentari pun telah menyembul di balik perbukitan hijau berkabut, menawarkan semburan jingga keemasan diselipi corak garis-garis awan putih yang indah tapi sedikit samar ya layaknya seperti raut wajah yang pucat.

Aku mulai lelah memandangi keindahan mentari senja itu yang membuat sekujur tubuh ku tertegun menikmati keindahannya. Layaknya seperti aku memandangi sesosok wanita cantik nan seksi berdiri dihadapan ku dengan senyuman manisnya dan untayain rambut nan panjang hitam diterpa tiupan angin. Ya memang aku telah terlupa pada apa yang kaki ku kejar tadi dibelakang kapal yg melaju kencang meninggalkan batas-batas negara ku. Kabut malam pun turun di atas temaram kapal. Ku pandangi disudut tempat ku berdiri yang remang seakan ak melihat sosok tubuh yang munggil, ku usapkan lagi bola mata ku seakan tidak percaya pada apa yang tersaji dihadapan ku. Ya benar kata ku dia adalah seorang mahkluk kecil, kata-kata itu ku ucapkan untuk meyakinkan hati ku yang sedikit peragu seperti kata-kata teman ku, aku adalah lelaki peragu. Tapi kali ini aku berhasil menepis keraguan ku yang aku katakan itu benar seperti apa yang aku lihat.

Langkah kaki ku tegapkan, menghampiri sosok mungil itu dalam beberapa detik aku berhasil menghampirinya. Tidak sengaja sapaan ku mengejutkan dia, mengambarkan sejuta ketakutan diwajahnya. Ku usap kepalanya yang terasa dinggin ditelapak tangan ku, ku tawarkan dia secangkir air yang dari tadi tidak aku minum, alih-alih sikap lembut ku untuk meyakinkan dia kalau ak bukan lah orang jahat yang harus dia takuti.

Dek tidak apa ucap ku lembut. Ada apa, kok kamu duduk sendiri disitu...

Tubuh munggil itu mulai bergerak mendengar pertanyaan ku yang tadi hanya kaku dan diam seperti seseorang yang lagi sujud menyembah pada sang ilahi memohon ampunan. Di bawah kilaun bintang dan hempasan rembulan yang seakan malu untuk menampakkan cahayanya, adek kecil itu menatap ku. Tidak pernah kubayangkan tatapanya cukup sayu dengan derasnya air mata tanpa dosa itu mengalir bercucuran memandang kearah ku. Kenapa? kok adek nangis... sahut ku, dia masih diam tidak sepatah pun pertanyaan ku dia jawab. Ku lihat awan malam pun semakin gelap, pertanda hujan akan datang atau badai sekali pun juga ikut menghampiri. Mari dek ikut dengan kakak kedalam, kita beli makanan ringgan agar kita tidak kelaparan malam ini.

Kali ini ajakan ku dia ikuti namun pertanyaan ku masih belum dia jawab. Perlahan ku angkat tubuhnya yang mungil, ku gendong masuk ke dalam ruangan kapal yang cuacanya hangat. Di dalam sana ku minta dia memilih makanan yang dia sukai, dia tetap diam dan tidak menunjuk apa yang dia mau. Ku coba tawari dia sepotong kue dan makan lah ini dek, dia hanya menggelengkan kepalanya. Segenap aku baru inggat kalau kesukaan anak-anak itu adalah coklat, aku pun berusaha mendapatkan kesukaan anak-anak kecil sebayanya, kutanyakan kepada pedagang yang berjualan di dalam kapal Pak jual coklat ga? Tidak mas jawab pedangang, berulangkali aku tanya kesemua pedangang hasilnya masih nihil.

Setelah lelah mencari, asa pun mulai pudar untuk mendapatkan sepotong coklat. Adek kecil itu menyapa ku, Kak katanya... sudah aku memang suka makan coklat tapi bukan itu yang bisa mengobati lapar ku. Suara itu akhirnya ku dengar dari mulut adek kecil ini tapi suara itu seakan lantunan lagu yang keras menghempas badai, seakan ada dendam yang membara bak gemuruh gelombang pantai yg sedang kami terjang. Sikap nya yang berubah di hadapan ku menimbulkan sejuta pertanyaan dalam benak ini, kenapa mata sayu itu yang bercucuran air mata tadi sekarang berubah merah layaknya orang yang lagi kehilangan kontrol emosionalnya.

Ah...Tidak peduli dengan kemarahannya, apa lagi hanya seorang anak kecil yang marah nanti juga ketawa lagi inggat ku. Tidak lama berselang sebutir air mata bergulir perlahan menuruni pipinya yang polos nan lembut itu. Pecah lagi satu tangisan sedih tanpa isakkan. Melihat tangisannya aku pun luruh dalam kesedihan. Kali ini aku bertanya lagi padanya kenapa kok nangis lagi? Namun ada yang tertinggal dari pertanyaan ku, biasanya aku memangil dia “dek” kenapa kali ini tidak. Ini menginggat ku bahwa aku belum mengetahui namanya siapa? Asalnya dari mana? Kemana tujuannya? Dan dia anak siapa? Dan dalam kapal ini apa dia bersama orang tuanya?

Dalam tangisan sedih itu aku beranikan diri menanyakan latar belakangnya. Dek kamu dari mana? Apa kamu bersama seseorang di dalam kapal ini dan ku tanyakan juga namanya. Dia hanya menjawab “Elang,” apa maksudnya dek?. Elang nama ku Kak, nama yang bagus. Aku Egora. Kemana arah yang hendak kamu tuju Elang, aku pangil namanya. Aku inggin menuju negeri seberang kak yang banyak diimpikan oleh masyarakat kita untuk mendapatkan kehidupan yang layak. Aku kaget mendengarnya. Jawabanya tidak seperti umurnya dan dia memandang ku. Kenapa kakak kaget dengan jawaban Elang katanya.

Elang di lahirkan untuk terbang kemana Elang mau kak...kenapa seperti itu tanya ku?
Elang sama dengan nama burung garuda kak yang memiliki kemiripan dengan burung Elang. Garuda yang selalu di hormati oleh ratusan juta rakyat kita. Apa dengan nama Elang kamu bisa masuk kenegara orang. Kenapa tidak sahutnya karena Elang selalu bebas terbang...aku lemparkan senyum ejekan dihadapanya atas apa yang dia katakan. Elang akan mendatangi negeri seberang dimana banyak orang-orang kita yang mencari kehidupan disana kak, Elang akan bercerita tentang kehidupan Elang kepada semua orang kita yang Elang jumpai nanti. Apa yang mau kamu ceritakan tanya ku lagi? Ya bercerita tentang perjalanan ku mengharunggi samudera sehingga Elang bisa datang dan ketemu mereka.
Sekedar cerita tidak ada yang peduli akan itu dalam pikiran ku.

Lihat banyak lagi anak-anak yang tidak memiliki orang tua, di-jual, menjadi pengemis bahkan di-gugurkan. Kakak jagan berpikiran seperti itu katanya tegas keluar dari mulutnya. Padahal aku tidak mengucapkan sepatah kata pun, dia dapat membaca pikiran ku. Sekarang kak harus tau kalau Elang masuk kekapal ini dengan cara membayar awak kapal dengan uang yang Elang dapat dari mengemis di pinggir pelabuhan. Ini lah cara Elang agar bisa kesana bertemu dengan kedua orang tua Elang yang dikabarkan merantau kesana.

Elang inggin merubah apa yang Elang rasakan kak, Elang tidak memiliki kasih sayang layaknya anak-anak yang disediakan susu oleh orang tuannya. Elang belum merasakan kecupan seorang ibu yang memejamkan mata Elang dalam pangkuan kasih sayangnya. Elang juga lapar kak ketika melihat anak-anak itu menguyah coklat yang dibeli ibunya. Elang juga inggin merasakan cubitan ibu kak yang meneriaki elang ketika elang pulang di senja hari. Elang juga inggin di ajari berburu oleh ayah elang kak sehingga elang menjadi lelaki sejati yang nanti bisa menjaga ibu dan ayah di hari tuannya.

Kali ini aku hanya terdiam mendengar celotehannya. Seraut wajah tua membayanggi pikiran ku yang aku panggil Mak, bukan ibu atau pun mama yang bisa dipangil oleh anak-anak lain sebaya ku. Yang berjualan jagung di atas kepalanya demi menghidupi ku waktu ayah pergi dari rumah. Mak juga menitipkan ku pada nenek kala dia menjadi buruh tani di kebun tetangga. Mak juga selalu membelikan ku setangkai permen ketika dia berangkat kekebun. Mak juga selalu bercerita dengan ku kalau nanti aku akan jadi orang yang dia banggakan ketika dia pergi ke warung bukde untuk berhutang.
Ini kali pertama aku meneteskan air mata lagi setelah sekian lama aku buang kesedihan itu karena sekarang aku berdiri disamping Mak seperti kata-katanya 20-thn yang lalu. Aku berhasil menjadi kebanggaannya.

Tidak terasa malam pun kian larut. Obrolan ku dengan Elang dihanyutkan kesedihan ombak, aku pun beranjak dari tempat duduk ku dan menggandeng tanggannya. Kami melihat pecahan-pecahan cahaya di tengah lautan yang dipantulkan oleh lampu kapal nelayan. Dari kejauhan kami telah melihat mercusuar negara tetangga mengitari kapal kami. Sekali lagi kutekatkan hati akan ku bawa Elang meraih mimpinya.



Malaysia 8 April 2010
Dori HaraKiri
(Egora Elang Efendi satu saat nanti nama ini akan dipersembahkan untuk sang-buah hati)