Selasa, 31 Agustus 2010

BIAYA POLITIK DAN ARUS PERUBAHAN DALAM PILKADA BUPATI/WALIKOTA DI WILAYAH PROP JAMBI PROP JAMBI

(Cost Politik berbanding terbalik dengan Aspirasi masyarakat) 
By Syamsul Bahri, SE (syamsul_12@yahoo.co.id)


Pilkada  Bupati/Walikota di wilayah Prop Jambi  seperti Kota Sungaipenuh, Kabupaten Batang hari, Sarolangun, Tebo, Bungo, Muara Jambi, Tanjug Jabung Barat dan Timur akan melaksanakan pada tahun 2010-2011 merupakan ajang demokrasi untuk “Bumi sepucuk Jambi sembilan lurah”, sebuah pesta demokrasi, jika dilihat merupakan sebuah momentum proses regenerasi kepemimpinan Jambi yang sudah di mulai pada Pil”gub” Kada Jambi 2010
Dengan fakta politik saat ini dalam dinamika politik terutama dalam Pilkada  Bupati/Walikota di wilayah Prop Jambi tahun 2010, telah memunculkan banyakk tokoh local yang berada di local dan luar daerah yang memiliki pengalamam dan kepedulian terhadap kampung halaman, baik untuk Pimpinan maupun wakil Pimpinan Daerah, baik berasal politisi, pengusaha, birokrat, akademisi, baik yang berasal dari Incumbent atau tidak, baik yang mempergunakan perahu parpol, maupun yang menggunakan perahu rakyat atau Independent, namun gaung perahu saat ini semakin santer dan bergema dengan berbagai trik dan startegi, tanpa memperhatikan apa yang diinginkan masyarakat, bahkan kecenderungan membentur mekanisme  dan komitmen yang disepakati dan dibuat sendiri oleh masing-masing parpol.
Terkesan apa yang terjadi, untuk menyeleksi serta berkoalisi antar Parpol, terkesan mengabaikan azas dan flat form partai yang selama ini menjadi roh dan jiwa gerakan parpol secara nasional, jika dimungkin untuk berkoalisi, tentunya terjadi “koalisi semu”, yang kompak dalam rangka Pilkada  Bupati/Walikota di wilayah Prop Jambi saja, namun diyakinkan akan bercerai berai bahkan terpecah belah setelah masa bulan madu nantinya. Dengan melihat proses dan fakta sementara yang terjadi, pemilihan calon Bupati/walikota oleh parpol memiliki kecenderungan adalah (1). Take and give, baik financial maupun non financial; (2).komitmen kesepakatan untuk parpol bersakala 5 tahun  kedepan; (3). Mengabaikan flat form dan jiwa serta roh partai; (4). Menghianati komitmen dan kesepakatan yang dibuat sendiri, koalisi semu dan hanya terbatas pada proses untuk pemenangan, sehingga akan terpecah setelah itu, karena azas dan flat form yang sangat berbeda, bahkan visi dan misi sang “calon bupati/walikota” tidak begitu menjadi bagian persyaratan seleksi, namun lebih diutamakan transkasi untuk Parpol jangka waktu 5 tahun, sunggu ironis
Kondisi ini diperparah tarik ulur calon pedamping, kecenderungan apa yang terjadi di tingkat seleksi untuk calon pasangan Bupati/Walikota , akan lebih diperluas dalam kontek penentuan bacawabup/wawako, sehingga penggabungan 2 personal dengan jiwa yang berbeda dalam sebuah visi dan misi dalam satu pasangan terkesan terpaksa dan dipaksakan nantinya, walaupun visi dan misi merupakan visi dan misi calon pasangan Bupati/Walikota , namun sebagai bacawabup/wawako juga harus sealing pemahaman dan mengerti dalam aplikasinya, kalaupun bisa menyatu nantinya dalam waktu yang singkat sebuah hal yang sangat istimewa, sehingga tidak terkesan hanya untuk memenuhi kebutuhan administrative saja, sehingga secara tahapan proses penentuan calon pasangan Bupati/Walikota  dan bacawabup/wawako memberi kesan hanya sebuah ambisius kekuasaan, tidak melalui proses yang komprehensif, kondisi ini menjadi sebuah catatan bagi masyarakat pemilih.
Secara mekanisme pasangan calon pasangan Bupati/Walikota melalui proses pendaftaran ke KPU, tentunya dengan dukungan Partai Politik sesuai ketentuan kursi yang dimiliki atau melalui jalur perorangan dengan prosentase dukungan yang telah ditetapkan, mesin politik yang diserahkan ke calon melalui mekanisme dan prosedur yang telah ditentukan oleh Parpol, untuk melakukan konsolidasi dan sosialisasi dan kampanye pemenangan, namun pendayung perahu tsb masih berada di Kekuatan elit Parpol atau pengurus partai.
Dari semua tahapan dan kegiatan yang dilakukan, baik pra, proses, maupun saat pelaksanaan pencontrengan, semuanya dibutuhkan biaya atau cost politik yang mungkin dalam tahap pra (sosialisasi) beberapa calon pasangan Bupati/Walikota  menghabiskan dana ratusan juta rupiah, apalagi sampai pada saat pencontrengan, diperkirakan setiap pasangan dengan dukungan parpol setingkat “kapal pesiar” mungkin akan menghabiskan milyaran rupiah, apakah dana tersebut merupakan uang hilang atau uang habis, dan justru sangat tidak benar bahwa uang tersebut apakah cost politik dan/atau money politik merupakan uang habis, dari kajian ekonomi itu merupakan investasi jangka pendek selama 5 tahun yang spekulatif.
Dengan cost politik dan/atau money politik sebesar tersebut, yang secara hukum ekonomi tidak mungkin merupakan capital lose atau capital fligt, namun merupakan Capital Investation, sehingga disadari, bahwa masyarakat dan para individu masih memiliki hati nurani serta memiliki tanggung jawab moral untuk memperbaiki dan membangun Derah yang akan datang, yang terakumulasi dalam “arus perubahan”, secara hitungan matematika ekonomi, keinginan calon untuk membangun dan membawa arus perubahan berbanding terbalik dengan cost politik. Hal ini disadari oleh masyarakat bahwa dibanyak daerah, semakin besar biaya yang dikeluarkan calon dalam proses Pilkada  Bupati/Walikota di wilayah Prop Jambi semakin kecil perubahan positif yang didapat oleh masyarakat. Disadari atau tidak disadari bahwa cost politik adalah investasi bagi calon, setiap investasi tentu sudah memperhitungkan rugi laba, walaupun investasi financial dan non financial dalam Pilkada  Bupati/Walikota di wilayah Prop Jambi lebih cenderung investasi spekulasi dengan resiko yang cukup tinggi.
Fakta yang factual bahwa sistim dan mekanisme menggiring untuk jabatan public harus diperebutkan melalui uang yang kadang jumlahnya tidak masuk akal itu, maka konsekuensinya adalah terjadinya penyimpangan-penyimpangan di dalam dunia birokrasi. Hukum bisnis akan berlaku. Uang yang telah dikeluarkan sebelumnya untuk mendapatkan jabatan tersebut harus bisa kembali. Jika untuk menjadi caleg, bupati, wali kota dan seterusnya harus mengeluarkan uang, maka selesai menduduki jabatan itu, sejumlah uang tersebut harus kembali semuanya, dan bahkan harus lebih banyak lagi jumlahnya, agar bisa disebut beruntung. Sebagai akibatnya, sebagaimana yang banyak terjadi akhir-akhir ini, banyak pejabat dengan segala keterpaksaan dan dipaksa meringkuk dalam jeruji besi.
Memang merebut untuk sesuatu dalam rebutan itu biayanya sangat mahal, apalagi berebut kekuasaan di zaman sekarang. Tidak sedikit wilayah public, di negeri ini, yang menuntut beaya tinggi bagi calon pejabatnya. Mereka harus menyediakan modal besar. Rakyat pun juga tahu semua itu. Akhirnya jabatan itu di mata public juga tidak terlalu dianggap mulia dan terhormat. Hal itu disebabkan karena, mereka menjadi pejabat bukan karena prestasi yang mulia, semisal lebih pandai, lebih arif dan juga berakhlak mulia, melainkan sebatas karena ditopang oleh uang. Lantas dengan begitu, rakyat akan menganggap bahwa jabatan itu tidak lebih hanya sebatas permainan untuk mendapatkan kekuasaan dan uang belaka.
Masyarakat Jambi membutuhkan sebuah Perubahan yang merupakan arus yang sangat kuat di tengah-tengah masyarakat, baik di akar rumput maupun di level menengah ke atas, arus ini menjadi sesuatu yang akan dimanfaatkan oleh para Calon, dan isu ini merupakan factor penentu kemenangan dalam proses Pilkada  Bupati/Walikota di wilayah Prop Jambi nantinya, bahwa pemimpin Daerah yang akan datang, harus sesuai dengan keinginan dan kebutuhan Pembangunan globalisasi, maka masyarakat Kabupaten/kota mengingin terjadinya perubahan masa yang akan datang, dengan kriteria antara lain, memilki kemampuan Internasional dan Nasional serta Lokal, Arief dalam ekonomi dan Lingkungan, bisa memahami dan mendengarkan kebutuhan Masyarakat serta memenuhi kebutuhan masyarakat berdasarkan skala prioritas, Bebas KKN dan Berkepribadian sebagai panutan.
Mudahan-mudahan, Kabupaten/kota masa depan akan lebih baik, sipapun yang menjadi Pemimpin Kabupaten/kota dan mengusung arus perubahan akan membawa hal lebih baik, amin. 

Hindari kecelakaan demokrasi dalam pelaksanaan Pilkada Kabupaten/kota di Propinsi Jambi, sebagaimana telah terjadi kecelakaan Pilkada sebelumnya.