Kamis, 17 Juni 2010

PROP JAMBI MEMILIKI POTENSI BESAR DALAM SKEMA REED

(Konsultasi Publik Skema Redd di Masyarakat Penyangga TNBD)
(Oleh Syamsul Bahri, SE. Conservationist, pengajar di STIE-SAK Kerinci)

Propinsi Jambi sebagai sebuah Propinsi yang memiliki hutan yang cukup luas dari berbagaui status seperti Kawasan Hutan Produksi, Kawasan Hutan Lindung, Kawasan Hutan Pelestarian Alam, jika kita pedomani Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Jambi memiliki hutan  seluas 2.179.440 Ha atau 42,73 %  dari luas Propinsi Jambi 5.100.000 Ha, yang terbagi dalam 2 (satu) pemerintah kota dan 9 (sembilan) kabupaten. Luas kawasan hutan berdasarkan SK Gubernur Jambi Nomor : 108 Tahun 1999, dengan berbagai  tipe vegetasi yang lengkap dan berbagai pengelompokan hutan, yang menyebar di bagian timur dataran rendah dengan hutan mangrove, bagian tengah hutan tropika dataran rendah dan bagian baratnya hutan tropika dataran tinggi atau pegunungan

Bahkan Propinsi Jambi memiliki 4 Taman Nasional yaitu TN Kerinci Seblat, TN Bukit Dua Belas, TN Berbak, TN Bukit Tigapuluh, yang menjadi kebanggaan nasional dan Internasional serta merupakan aset bagi Pemerintah Prop jambi sebagai penyangga kehidupan yang memberikan subsidi ekologi berdimensi ekonomi bagi masyarakat Jambi.

Saat ini kondisi hutan tersebut tengah mengalami keterancamanan dari deforestasi dan degradasi hutan, secara global kegiatan deforestasi dan degradasi hutan menyumbang sekitar 18% terhadap emisi gas rumah kaca (green house Gases/GHGs) global. Sesuai data 18% kontribusi emisi tersebut, 75% di antaranya berasal dari deforestasi di negara berkembang, yang diperkirakan jika tidak ada upaya pencegahan akan mengalami peningkatan yang menimbulkan dampak langsung ke patani Petani antara lain kebingungan menghadapi iklim yang kian sulit diprediksi, kerawanan pangan dan dampak negatif lainnya terhadap kehidupan mahluk di planet bumi, sehingga Sub Sektor kehutanan di Indonesia dianggap sebagai salah satu penyumbang emisi yang cukup besar terhadap emisi gas rumah kaca, yang menempatkan Indonesia sebagai negara penghasil emisi terbesar ke-3 di dunia. Kondisi tersebut menyebabkan Indonesia salah satu negara dihadapkan pada tekanan agar bisa mengurangi laju emisi di negaranya.

Indonesia sebagai sebuah negara berada dalam tatanan global, memiliki komitmen yang tertuang dalam pernyataan ”Presiden SBY membuat komitmen untuk untuk menurunkan emisi sebesar 26 persen” dan sebagian besar berasal dari sector kehutanan, melalui intervensi kebijakan kebijakan (policy approaches and positive incentives) yang memungkinkan Indonesia mengurangi deforestasi dengan tetap menjamin keberlanjutan pembangunan nasionalnya.


Secara global kondisi pemanasan global harus diminimalkan melalui komitmen negara-negara baik negara maju dan negara berkembang, sehingga melalui Pertemuan Conferencee of the Parties 13 (COP-13) di Bali tahun 2007 menghasilkan keputusan tentang skema pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi (REDD) di negara berkembang. Melalui skema REDD, negara maju akan memberikan insentif kepada negara berkembang yang berhasil melestarikan hutan mereka. Sehingga hutan tersebut nantinya dapat digunakan sebagai daerah penyerapan karbon.

Sosialisasi Skema Redd in Developing Countries  (Reducing Emissions from Deforestation and Degradation in Developing Countries) atau Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi di Negara Berkembang, merupakan salah satu langkah yang terbagi atas 3 tahap: tahap persiapan, readiness phase, dan full implementation. Saat ini Indonesia sudah berada dalam tahap readiness phase (2009-2010). Termasuk di dalamnya tahap sosialisasi dan konsultasi publik tentang REDDI Readiness Activities lagi gencar-gencarnya dilakukan baik oleh Pemerinrtah, LSM dll


REDD adalah mekanisme internasional untuk memberikan insentif yang bersifat positif bagi negara berkembang yang berhasil mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, yang  merupakan salah satu kegiatan mitigasi perubahan iklim di sektor kehutanan, dan bersifat sukarela (voluntary) serta menghormati kedaulatan negara (sovereignty).

Mekanisme perdagangan karbon di sektor kehutanan dalam rangka mitigasi perubahan iklim dibawah UNFCCC/Kyoto Protocol yang melibatkan negara berkembang sampai saat ini baru terbatas pada A/R CDM (peningkatan kapasitas penyerapan/penyimpanan carbon melalui kegiatan tanam menanam). Sedangkan REDD baru dalam tahap persiapan
pelaksanaan pilot percobaan/demonstration activities dan dalam proses penyiapan perangkat hukum pelaksanaan REDD

Sepakat atau tidak sepakat, sudah semestinya Indonesia dapat meminimalkan kerusakan hutan yang antara lain dapat dilakukan melalui pengurangan deforestasi dan degradasi hutan, melaui skema REDD yang merupakan mekanisme internasional dapat mendukung upaya Indonesia dalam mencapai tujuan reformasi yang telah/sedang dilakukan di sektor kehutanan, baik melalui aliran dana, peningkatan kapasitas, maupun transfer teknologi.


Upaya tersebut memerlukan biaya yang di luar kemampuan dana domestik kebanyakan  negara berkembang, yang  opportunity costs (biaya untuk kompensasi bagi pemilik hutan atas nilai kegiatan yang paling menguntungkan), implementation costs (biaya yang diperlukan untuk perbaikan perencanaan dan pengelolaan), administrative costs (biaya operasional), dan transaction costs (biaya untuk penggalangan dana, negosiasi dengan partner, monitoring, approval), pendanaan tersebut baik melalui mekanisme.

Untuk sosialisasi Skema Redd tersebut melalui Konsultasi publik di Wilayah Taman Nasional Bukit Duabelas dilaksanakan oleh KK Warsi Jambi, di 2 Kecamatan sekitar Taman Nasional di Kantor Camat Air Hitam di Desa Jernih Kabupaten Sarolangun, pada tanggal 2 Juni 2010, dan di Kantor Camat Marosebo Ulu Kabupaten Batang Hari pada tanggal 8 Juni 2010, yang diikuti oleh tokoh masyarakat, pemuda, perangkat desa dll, konsultasi Publik tersebut dikaitkan dengan pengelolaan Taman Nasional Bukit Duabelas, pemberdayaan masyarakat di wilayah penyangga dan pengelolaan Hutan Desa.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar