Jumat, 04 Juni 2010

Bencana: Antara Mimpi Dan Realiti Kerinci

Menjelang pemilihan letak ibu kota Kabupaten Kerinci, berbagai wacana digulirkan. Namun disebalik maraknya perbincangan tersebut isu tentang kesejahteraan dan peningkatan ekonomi masih lagi dalam perdebatan yang belum menemukan titik klimaksnya. Hal seperi ini tentunya bukanlah satu perdebatan yang mudah untuk diselesaikan. Akan tetapi Adam Smith pada abad ke 17 telah lebih dahu membahas permasalahan tersebut yang dituangkan dalam karyanya The Wealth Of The Nation, bahwa semua aktor pemerintah memiliki motivasi yang sama ingin berbuat baik bagi negara dan masyarakat.

Namun apa jadinya ketika harapan itu jauh dari yang diharapkan oleh masyarakat? Sedihnya, ketika figur seorang pemimpin yang dipilih langsung oleh rakyat tidak dapat memenuhi keinginan rakyat, kekecewaan pun lahir ditengah-tegah harapan perubahan. Begitulah paling tidak yang terjadi di Kabupaten Kerinci, dinamika perubahan yang diharapkan meredup seketika dalam kesedihan dan bencana kekecewaan.

Paling tidak ada tiga alasan. Pertama,bencana ini dilatarbelakangi oleh belum tumbuhnya Good will atau keinginan yang baik dari seorang pemimpin untuk melakukan perubahan. Masyarakat mengharapakan pemimpin yang dipilih memiliki kepedulian terhadap keberlangsungan hidup mereka dan membenahi sumber-sumber pendapatan rakyat dan pendapatan pemerintah. Namun, dalam kenyataanya antara nilai harapan dan kenyataan masih jauh dimata rakyat ini menyebabkan terabainya amanah yang diberikan rakyat kepada sang pemimpin. Hal ini dapat menimbulkan rasa kekecewaan yang mendalam, rasa kecewa tersebut pada akhirnya dapat mendorong penentangan oleh rakyat kepada pemerintah yang berkuasa.

Kedua, bencana tersebut dikarenakan tidak terimplementasinya janji politik seorang pemimpin yang dipilih. Janji yang dokoar-koarkan oleh seorang kandidat ketika mencalonkan diri menjadi pemimpin secara tidak langsung telah menjadi kontrak politik antara pemimpin dan rakyat. Idealnya janji politik mustilah diupayakan sepenuh hati untuk dapat dipenuhi. Namun sayangnya seorang pemimpin yang dipilih tidak memiliki langkah strategis untuk memenuhi janjinya. Malah yang terjadi adalah kongkalikong politik antar elit politik yang berkuasa di Kerinci.

Hal ini disebabkan oleh tidak adanya komitmen elit untuk menjalankan kewajibannya sebagai pemimpin masyarakat, yang pada akhirnya hanya menciptakan mimpi palsu. Tegasnya janji politik hanya bersifat sementara seringkali, mereka yang berambisi untuk jadi pemimpin bukan terdorong oleh niat untuk memajukan suatu daerah tetapi lebih berorentasikan tahta dan mengamankan posisi pribadi dengan menumpuk harta benda yang melimpah.

Mimpi Tanpa Realiti


Tidak terwujudnya realitas dan mimpi-mimpi yang telah dibangun oleh kepala daerah ketika menjadi calon dalam pilkada, sangat berhubungan dengan gambaran realitas di atas. Bila merujuk pada banyak sumber tertulis, janji-janji dan mimpi-mimpi palsu yang dibangun oleh para calon kepala daerah sebelum dan pasca pemilihan sangat erat kaintannya dengan “tidak berkapabilitinya” pemimpin yang menang.

Ketiga, bencana tersebut juga sangat mungkin terjadi karena  Crisis Of Leadership (krisis kepemimpinan). Krisis kepemimpinan yang berkait dengan krisis legitimasi yang ditandai dengan government malfunction (kegagalan pemerintah). Kedua proses ini menurut Weber dalam bukunya theory of economic and social organisation (1947), diliputi “pemimpin” yang semakin dibelenggu oleh dikotomi ketidak yakinan, krisis visi yang radikal: dimana sektor karisma seorang pemimpin tidak mampu menawarkan sebuah solusi dari krisis tersebut.

Sementara, itu pemimpin hanya berperan sekadar atau sebatas legalitas sebagai pemimpin yang hanya duduk dalam jabatan pemerintah. Dalam jangka panjang kondisi yang seperti ini akan menimbulkan sikap skeptis rakyat terhadap pemimpin, khususnya dalam peningkatan kesejahteraan dan perkembangan daerah.  


Musti Berbenah Diri


Maka tampak jelas, bahwa selama periode kepimpinan kepala daerah yang sekarang tidak memperlihatkan satu perubahan yang nyata untuk masyarakat, ini lebih dikarenakan oleh lemahnya pola berfikir, bertindak dan berprilaku sebagai Civil Cervant yang memiliki fungsi sebagai pelayan masyarakat.

Hal seperti ini musti lah dirubah oleh kepala daerah Kerinci untuk menghindari ketidak percayaan masyarakat terhadap pemimpin. Jika sikap ketidak percayaan muncul dikalangan masyarakat ini akan menyebabkan melemahya pemerintahan lokal dan nilai-nilai politik.

Karenanya, yang diperlukan oleh pemerintah Kerinci saat ini, tidak lain adalah berbenah diri dengan memanfaatkan potensi sumber daya manusia yang sedia ada. Tanpa memanfaatkan sumber daya manusia ini, Kerinci akan selalu menjadi daerah yang tertingal dan dianggap sepele oleh daerah lain yang semakin menunjukan perkembang. Apa jadinya, bila maysarakat Kerinci hanya dininabobokkan dengan mimpi, pada hakikatnya pemimpin yang diharapkan masih jauh dari harapan?



Dori Efendi (Mahasiswa S-2 Ilmu Politik Universitas Kebangsaan Malaysia, Sekretaris Umum Persatuan Pelajar Indonesia Se-Malaysia dan Ketua Departemen Hubugan Luar-Negeri Ikatan Mahsiswa Jambi Malaysia)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar